1. Riwayat Hidup Ibn Jama’ah
Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah al-Kinany. Ia lahir di Hamwa, Mesir, pada malam Sabtu, tanggal 4 Rabi’ul Akhir, 639 H./ 1241 M., dan wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin, tanggal 21 Jumadil ‘Ula tahun 733 H./1333 M., dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian usianya 64 tahun 1 bulan 1 hari. Pendidikan awal yang diperoleh Ibn Jama’ah berasal dari ayahnya sendiri, yaitu Ibrahim Sa’ad Allah ibn Jama’ah (596-675 H.),seorang ulama besar ahli fiqih dan sufi. Selain kepada ayahnya, Ibn Jama’ah juga berguru kepada sejumlah ulama. Ketika berada di Hammah, ia berguru kepada Syaikh as-Syuyukh ibn Izzun, dan ketika di Damaskus, ia berguru kepada Abi al-Yasr, Ibn Abd Allah, Ibn al-Azraq, Ibn Ilaq ad-Dimasyqi. Selanjutnya ketika ia di Kairo, ia berguru kepada Taqy ad-Din ibn Razim, Jamal ad-Din ibn Malik, Rasyid at-Tahar, Ibn Abi Umar, At-Taj al-Qasthalani, Al-Majd ibn Daqiq al-‘Id, Ibn Abi Musalamah, Makki ibn ‘Illan, Isma’il al-‘Iraqi, Al-Mushthafa, Al-Bazaraiy dan lain-lain.[1] Berkat didikan dan pengembaraan dalam menuntut ilmu tersebut, Ibn Jama’ah kemudian menjadi seorang ahli hukum, ahli pendidikan, juru dakwah, penyair, ahli tafsir, ahli hadits dan sejumlah keahlian dalam bidang lainnya. Namun demikian Ibn Jama’ah tampak lebih menonjol dan dikenal sebagai ahli hukum, yakni sebagai hakim. Hal ini disebabkan karena dalam sebagian masa hidupnya dihabiskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai hakim di Syam dan Mesir. Sedangkan propesinya sebagai pendidik, terjadi ketika ia bertugas mengajar di beberapa lembaga pendidikan seperti di Qimyariyah, sebuah lembaga pendidikan yang di bangun oleh Ibn Thulun di Damasyqus dalam waktu yang cukup lama.[2] Dilihat dari masa hidupnya, Ibn Jama’ah hidup pada masa Dinasti Ayyubiyah. Dinasti Ayyubiyah dengan pimpinanya Shalahuddin Al-Ayyubi menggantikan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1174 M. dinasti Ayyubiyah diketahui telah membawa angin segar bagi pertumbuhan dan perkembangan paham sunni, terutama dalm bidang fiqh Syafi’iyah. Sedangkan pada masa Dinasti Fatimiyah yang dikembangkan adalah paham Syi’ah. Dia mempunyai pengaruh besar tehadap ilmu-ilmu agama dan mempunyai sejumlah pengikut serta murid-murid yang banyak jumlahnya. Sejumlah ulama yang menjadi muridnya Ibnu Jama’ah antara lain Kammal bin Hummam, Ibnu Quzail, Syams al-Din al-Qayati, Muhib al-Din al-Aqsara’I dan Ibnu Hajar. Ibnu Jama’ah banyak bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat, senang bercanda, akan tetapi tidak menyukai bergunjing meskipun bergurau.[3] Pada masa Ibn Jama’ah telah muncul berbagai lembaga pendidikan. diantaranya adalah: (1) Kuttab, yaitu lembaga pendidikan dasar yang dibangun untuk memberikan kemampuan membaca dan menulis. (2) Pendidikan istana, yaitu lembaga pendidikan yang di khususkan untuk anak-anak pejabat dan keluarga istana. Kurikulum yang di buat tersendiri yang didasarkan pada kemampuan anak didik dan kehendak orang tua anak. (3) Kedai atau toko kitab yang fungsinya sebagai tempat untuk menjual kitab serta tempat berdiskusi diantara pelajar. (4) Rumah para ulama, yaitu tempat yang sengaja disediakan oleh para ulama untuk mendidik para siswa. (5) Rumah sakit yang di kembangkan selain untuk kepentingan medis juga untuk mendidik tenaga-tenaga yang akan bertugas sebagai perawat dan juga sebagai tempat pengobatan. (6) Perpustakaan yang berfungsi selain tempat menyimpan buku-buku diperlukan juga untuk keperluan diskusi dan melakukan penelitian. Diantara perpustakaan yang cukup besar adalah Dar al-Hikmah. (7) Masjid yang berfungsi selain tempat melakukan ibadah shalat, juga sebagai kegiatan pendidikan dan social. Selain itu, pada masa Ibn Jama’ah juga telah berkembang lembaga pendidikan madrasah. Menurut Michael Stanton, Madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Nizham al-Muluk yang didirikan oleh Wazir Nizhamiyah pada tahun 1064 M. Sementara itu Richaerd Bulliet berpendapat bahwa madrasah yang pertama kali dibangun adalah Madrasah Bayhaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqy pada tahun 400 H./1009 M. bahkan menurut Bullet ada 39 Madrasah yang berkembang di Persia, Iran yang dibangun dua abad sebelum Madrasah Nizham al-Muluk. Dengan demikian, pada masa Ibn Jama’ah lembaga pendidikan telah berkembang pesat dan telah mengambil bentuk yang bermacam-macam. Suasana inilah yang membantu mendorong Ibn Jama’ah menjadi seorang ulama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan.
1. Karakteristik pemikiran Ibnu Jama’ah
Karakteristik pemikiran pendidikan Islam yang berkembang sangat beragam. Keberagaman ini dipengaruhi oleh konstruksosial politik dan keagamaan yang berkembang sehingga antara cirri khas sebuah pemikiran atau literature dengan keadaan social ketika itu memiliki korelasi yang signifikan. Disamping itu, situasi dan pngalaman pribadi seseorang juga turut mempengaruhi corak literature tersebut. Hasan langgulung menggolongkan literature kependidikan Islam ke beberapa corak: v Corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifikasi fiqh, tafsir dan hadits. Corak ini diwakili oleh Ibn Hazm dengan karyanya al-Mufashal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-nihal. v Corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Contohnya adalah Abdullah bin al-Muqaffa dalam karyanya Risalat al-Shahabah. v Corak pemikiran pendidikan Islam filosofis. Sebagai contoh adalah corak pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah, dan para filosof. Beberapa filosof yang menyediakan konsep pendidikanya dengan model ini seperti al-Kindi, al-Faraby, Ibn Sina, Al-Ghozali dll. v Corak pemikiran pendidikan Islam yang berdiri sendiri dan berlainan dari beberapa corak diatas, tetapi tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan al-Hadits. Corak yang terakhir ini terlihat pada karya Muhammad bin Sahnun dan Burhanuddin Azzarnuzy dalam karyanya Ta’limul Muta’alim.[4] Jika mengacu dengan klasifikasi corak diatas, pemikiran pendidikan Ibn Jama’ah dalam karyanya dapat digolongkan pada corak yang terakhir. Hal ini didasarkan atas kandungan dalm kitab tersebut yang tidak memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqh, sastra, dan filsafat. Namun semata-mata untuk memberi petunjuk praktis bagi siapa saja yang terlibat dalam proses pendidikan. Selain itu Ibn Jama’ah mempunyai banyak kesamaan dengan Azzarnuzy yang mana masing-masing membahas secara khusus ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan sejumlah ulama. Pemikiran lain dalam konsep pendidikan Ibn Jama’ah adalah mengetengahkan nilai-nilai estetika yang bernafaskan sufistik. Pemikiran ini merupakan wacana umum bagi literature-literature kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghozali. Terbukti bahwa konsep Ibn jama’ah ternyata banyak kesamaan dengan konsep al-Ghozali. [5]
1. Konsep Pendidikan Ibnu Jama’ah
Konsep pendidikan yang dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam karyanya Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Dalam buku tersebut beliau mengemukakan tentang keutamaan ilmu pengetahuan dan orang yang mencarinya. Keseluruhan konsep pendidikan Ibnu Jama’ah ini dapat dikamukakan sebagai berikut :
1.Konsep Guru/Ulama
Menurut Ibnu Jama’ah bahwa ulama sebagai mikrokosmos manusia dan secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi makhluk terbaik (khair al-bariyah). Atas dasar ini, maka derajat seorang alim berada setingkat dibawah derajat Nabi. Hal ini didasarkan pada alasan karena para ulama adalah orang yang paling takwa dan takut kepada Allah SWT. Dari konsep tentang seorang alim tersebut, Ibnu Jama’ah membawa konsep tentang guru. Untuk itu Ibnu Jama’ah menawarkan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menjadi seorang guru. Kriteria pendidik tersebut meliputi 6 hal. Pertama, menjaga akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan. Kedua, tidak menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya. Ketiga, mengetahui situasi social kemasyarakatan. Keempat, kasih saying dan sabar. Kelima, adil dalam memperlakukan peserta didik. Keenam, menolong dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari keenam kriteria tersebut, yang menarik adalah kriteria tentang tidak bolehnya profesi guru dijadikan sebagai usaha mendapatkan keuntungan materil, suatu konsep yang di masa sekarang tampak kurang relevan, karena salah satu ciri kerja professional adalah pekerjaan dimana orang yang melakukannya menggantungkan kehidupan di atas profesinya itu. Namun Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai konsekuensi logis dari konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Ibnu Jama’ah pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal itu dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Secara umum kriteria-kriteria tersebut diatas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya.
2.Peserta Didik
Menurut Ibnu Jama’ah peserta yang baik adalah peserta didik yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan untuk memilih, memutuskan dan mengusahakan tindakan-tindakan belajar secara mandiri, baik yang berkaitan dengan aspek fisik, pikiran, sikap maupun perbuatan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peserta didik telah melewati masa kanak-kanak yang dalam tradisi pendidikan islam biasanya belajar di kuttab. Ibnu jama’ah sangat mendorong para siswa agar mengembangkan kemampuan akalnya. Menurut Ibnu Jama’ah bahwa akal merupakan anugerah dari Tuhan yang sangat istimewa dan berharga, dan oleh karenanya patut disyukuri dengan jalan memanfaatkannya secra optimal. Atas dasar ini, maka IbnuJama’ah menganjurkan agar seiap peserta didik mengembangkan daya inteleknya guna menemukan kebenaran-kebenaran yang ada dalam kajian apapun, termasuk dalam kajian keimanan atau ibadah. Dengan menggunakan akal tersebut, setiap siswa akan menemukan hikmah dari setiap bidang kajian ilmu yang dipelajarinya. Sejalan dengan pemikiran tersebut diatas, Ibnu Jama’ah telah memberikan petunjuk dan doringan yang sangat jelas bagi peserta didik, yaitu agar tekun dan benar-benar giat dalam mengasah kecerdasan akalnya, serta menyediakan waktu-waktu tertentu untuk mengembangkan daya inteleknya itu.
3.Materi Pelajaran/Kurikulum
Materi pelajaran yang dikemukakan Ibnu Jama’ah terkait dengan tujuan belajar, yaitu semata-mata menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, dan tidak untuk kepentingan mencari dunia atau materi. Sejalan dengan tujuan tersebut diatas, maka materi pelajran yang diajarkan harus dikaitkan dengan etika dan nilai-nilai spiritualitas. Dengan demikian, ruang lingkup epistimologi persoalan yang dikaji oleh pesrta didik menjadi meluas, yaitu meliputi epistimologi kajian keagamaan dan epistimologi diluar wilayah keagamaan (sekuler). Namum demikian wilayah kajian sekuler tersebut harus senantiasa mengacu kepada tata nilai religi. Namum demikian, Ibnu Jama’ah lebih menitikberatkan pada kajian materi keagamaan. Hal ini antara lain terlihat pada pandangannya mengenai urutan matrei yang dikaji sangat menampakkan materi-materi keagamaan. Urutan mata pelajaran yang dikemukakan Ibnu Jama’ah adalah pelajaran Al-quran, tafsir, hadits, ulum al-hadits, ushul al-fiqh, nahwu dan shorof. Setelah itu dilanjutkan dengan pengembangan-pengembangan bidang lain dengan tetap mengacu kepada kurikulum diatas. Menurut Ibnu jama’ah, bahwa kurikulum yang penting dan mulya haruslah didahulukan dengan kurikulum lainnya. Ini artinya bahwa pesrta didik dapat melakukan kajian terhadap kurikulum diatas secara sistematik.[6] Ibnu Jama’ah memprioritaskan kurikulum Al-Qur’an daripada yang lainya. Mengedepankan kurikulum ini agaknya tepat. Karena sebagaimana pendapat Muhammad Faisal Ali Sa’ud, kurikulum Al-Qur’an merupakan cirri yang membedakan antara kurikulum pendidikan Islam dengan pendidikan lainya. Sudah seharusnya kurikulum pendidikan Islam disusun sesuai dengan Al-Qur’an Al-Karim, dan ditambah dengan Al-Hadits untuk melengkapinya.[7]
4.Metode Pembelajaran
Konsep Ibnu Jama’ah tentang metode pembelajaran banyak ditekankan pada hafalan ketimbang dengan metode lain. Metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan pada akal untuk mendayagunakan secara maksimal proses berfikir, akan tetapi, hafalan sesungguhnya menantang kemampuan akal untuk selalu aktif dan konsentrasi dengan pengetahuan yang didapat. Selain metode ini, beliau juga menekankan tentang pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong kreativitas para siswa, menurut beliau kegiatan belajar tidak digantungkan sepenuhnya kepada pendidik, untuk itu perlu diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan dapat mengembangkan daya kreasi dan daya intelek peserta didik.
5.Lingkungan Pendidikan
Para ahli pendidikan sosial umumnya berpendapat bahwa perbaikan lingkungan merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan. Sejalan dengan hal diatas Ibnu Jama’ah memberikan perhatian yang besar terhadap lingkungan. Menurutnya bahwa lingkungan yang baik adalah lingkungan yang didalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan bebas, tetapi pergaulan yang ada batas-batasnya. Lingkungan memiliki peranan dalam pembentukan keberhasilan pendidikan. Keduanya menginginkan adanya lingkungan yang kondusif untuk kegiatan belajar mengajar, yaitu kondisi lingkungan yang mencerminkan nuansa etis dan agamis.[8]
1. Pandangan Pakar Pendidikan Muslim tentang imbalan dan sanksi
Pandangan Al-Ghazali
Menurut al-Ghazali hendaknya para guru memberikan nasehat kepada siswanya dengan kelembutan. Guru di tuntut berperan sabagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji hasil usaha muridnya, berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama didepan teman-temannya. Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menylahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya. Beliau juga mengingatkan bahwasanya menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut beliau menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya. ¨
Pandangan Ibnu Khaldun
Ibn Khaldun mengemukakan masalah imbalan dan sanksi di dalam bukunya al-Muqaddimah, beliau tidak menyebutkan selain seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.[9] ¨
Pandangan Ibnu Jama’ah
Pemberian imbalan lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap pendidikan anak dari pada pemberian sanksi. Sanjungan dan pujian guru dapat mendorong siswanya untuk meraih keberhasilan dan prestasi yang lebih baik. Ibnu Jama’ah lebih memprioritaskan imbalan, anggapan baik, pujian dan sanjungan. Hal ini perlu dijelaskan oleh guru bahwa pujian itu disebabkan oleh upaya dan keunggulan siswa tersebut, sehingga siswa dapat memahaminya. Ibnu Jama’ah sangat menghindar dari penerapan sanksi yang dapat menodai kemuliaan manusia dan merendahkan martabatnya. Jadi sanksi itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku serta pengendaliannya dengan kasih sayang. Sanksi perlu diberikan dengan landasan pendidikan yang baik dan ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan kebencian dan kemarahan. Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa sanksi kependidikan dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan tersebut. 1) Melarang perbuatan itu didepan siswa yang melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya. 2) Jika anak tidak menghentikan, guru dapat melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misal dengan isyarat. 3) Jika anak tidak juga menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas dan keras, agar yang dia dan teman-temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu. 4) Jika anak tidak kunjung menhentikannya, guru dapat mengusirnya dan tidak memperdulikannya.[10]
1. Karya Tulis Ibn Jama’ah
Karya-karya Ibn Jama’ah pada garis besarnya terbagi kepada masalah pendidikan, astronomi, ulumul hadits, ulum at-tafsir, Ilmu fiqh dan Ushul al-Fiqh. Kitab Tadzkirat as-Sami’wa al-Mutakallimin fi Adab al-Alim wa al-Muta’ilim merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab Usthurulah merupakan kitab yang membahas masalah astrologi. Kitab al-Munhil al-Rawy fi Ulum al-Hadits al-Nabawy merupakan ringkasan dari kitab ilmu hadits yang ditulis Ibn as-Shalah. Dalam kitab ini, Ibn Jama’ah menambahkan beberapa cacatan dan mengurutkan beberapa pembahasan. Kitab ini selesai ditulis pada bulan Sya’ban tahun 687 H. di Damaskus. Selain kitab-kitab di atas, Ibnu Jama’ah juga menulis beberapa kitab lainnya, yaitu Idlah ad-Dalil fi Qath’I Hujaj ahl-Ta’wil, at-Tibyan li Muhhimat Al-Qur’an, Tajnid al-Ajnad wa Jihat al-Jihad, Tahrir al-Ahkam fi Tadhir Jasys al-Islam, al-Tanzih fi Ibthal al-Hujaj at-Tasybih, Tanqih al-Munazharat fi Tashhih al-Mukhabarah, Hujai as-Suluk fi Muhadat al-Muluk, at-Tha’ah fi Fadhilat as-Shalat al-Jama’ah, Ghurr at-Tibyan fi Tafsir A-Qur’an, al-Fawaid al-Ghazirat al-Mustanbihat min Ahadits Barirah, al-Fawaid al-Laihat min Surat Al-Fatihah, Kasyf al-Ghimmat fi Ahkam Ahl ad-Dimmah, kasyf al-Ma’any an al-Mutasyabih min al-Matsany, Mustamid al-Ajnad fi Alat al-Jihad, ar-Radd ‘ala al-Musyabbahah fi Qaulih Ta’ala ar-Rahman ‘ala al-Arsy Istawa’ al-Masalik fi ilmu al-Manasik, al-Mukhtashar fi Ulum al-Hadits, al- Muqradh fi Fawaid Takrir al- Qashash, dan lain-lain.[11]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah al-Kinany. Ia lahir di Hamwa, Mesir, pada malam Sabtu, tanggal 4 Rabi’ul Akhir, 639 H./ 1241 M., dan wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin, tanggal 21 Jumadil ‘Ula tahun 733 H./1333 M., dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian usianya 64 tahun 1 bulan 1 hari. Konsep pendidikan yang dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam karyanya Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Dalam buku tersebut beliau mengemukakan tentang keutamaan ilmu pengetahuan dan orang yang mencarinya. Keseluruhan konsep pendidikan Ibnu Jama’ah ini dapat dikamukakan sebagai berikut : 1.Konsep Guru/Ulama 2.Peserta Didik 3.Materi Pelajaran/Kurikulum 4.Metode Pembelajaran 5.Lingkungan Pendidikan Karya-karya Ibn Jama’ah pada garis besarnya terbagi kepada masalah pendidikan, astronomi, ulumul hadits, ulum at-tafsir, Ilmu fiqh dan Ushul al-Fiqh. Kitab Tadzkirat as-Sami’wa al-Mutakallimin fi Adab al-Alim wa al-Muta’ilim merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab Usthurulah merupakan kitab yang membahas masalah astrologi. Kitab al-Munhil al-Rawy fi Ulum al-Hadits al-Nabawy merupakan ringkasan dari kitab ilmu hadits yang ditulis Ibn as-Shalah. Dalam kitab ini, Ibn Jama’ah menambahkan beberapa cacatan dan mengurutkan beberapa pembahasan. Kitab ini selesai ditulis pada bulan Sya’ban tahun 687 H. di Damaskus.
Daftar pustaka
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta (Raja Grafindo Persada , 2001)
Mustofa Abdullah, Pakar-pakar Fiqh sepanjang sejarah, Yogyakarta(LKPSM, 2001) Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada :2004)
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta (Kalam Mulia, 1994)
Nizar, Samsul, sejarah pergolakan pemikiran pendidikan islam,(Ciputat, Ciputat Press Group:2005)
As’ad Aliy, Bimbingan bagi penuntut ilmu pengetahuan (Kudus, Menara Kudus:1978) http://em-aziez.blogspot.com/2007/12/ibnu-jamaah.html http://kitaabun.com/shopping3/product_info.php?products_id=982&osCsid=b0d
________________________________________
[1]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta (Raja Grafindo Persada , 2001)h.111-112
[2] Abdullah Mustofa, Pakar-pakar Fiqh sepanjang sejarah, Yogyakarta(LKPSM, 2001) [3] http://kitaabun.com/shopping3/product_info.php?products_id=982&osCsid=b0d
[4] Suwendi, M.ag, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada :2004)h.44-46
[5] ………………….h.48-49
[6] Abuddin Nata, ………………….h.115-120
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta (Kalam Mulia, 1994)h.65
[8] http://em-aziez.blogspot.com/2007/12/ibnu-jamaah.html
[9] Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah. yang dikutip dari Fathiyyah Hasan Sulaiman, Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan, Jakarta: Minaret, 1991 hlm. 97-98
[10] http://em-aziez.blogspot.com/2007/12/ibnu-jamaah.html
[11] Abuddin Nata, ………………………………h.113-115
0 komentar:
Posting Komentar