درء المفاسد أولى على جلب المصالح
Mencegah kurasakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan.
Pendahuluan
Manusia diciptakan Allah dibekali dengan fitrah. Dengan fitrahnya, manusia tertarik untuk melakukan kebaikan dan menolak segala keburukan. Secara naluri manusia juga menginginkan hal- hal yang bernilai maslahah dan menghindari segala hal yang berbau mafsadah (kerusakan). Ini termasuk salah satu nilai universal yang aksiomatik dan tidak dapat di bantah lagi.
Hanya saja, implementasi nilai tersebut dalam sisi partikuler individual rentan untuk menimbulkan konflik. Realitanya, hanya kebenaran yang bersifat universal dan global saja yang menjadi kesepakatan masyarakat manusia. Sedang dalam permasalahan yang sifatnya parsial, hampir dapat dikatakan tidak pernah ada kesatuan kata. Ketika manusia dibiarkan secara bebas mencapai mashlahah sesuai dengan persepsi dan kebutuhan masing – masing, kedamaian dan equilibrium (keberaturan dan kesimbangan hidup) yang dicitakan sulit untuk digapai. Dari sini, akhirnya muncul kesadaran akan kebutuhan terhadap satu aturan untuk mengikis dan mengantisipasi segala implikasi dari pelaksanaan jalb al-mashalih wa dar’ almafasid. Dari sini pula muncul pertanyaan bila jalb al- mashalih berkumpul dengan dar’al-mafasid mana yang didahulukan. Nah, sekarang saatnya penulis makalah akan mengulas jawaban pertanyaan tersebut, semoga jawaban yang kami ulas dapat menambah pengetahuan bagi kita khususnya dan bagi khayalah umum pada umumnya.
Pembahasan
Arti kaidah
Maslahah dalam bahasa Arab merupakan derivasi (turunan kata) dari akar kata shalah yang mengandung makna bermanfaat. Maslahah dapat juga berposisi sebagai bentuk tunggal dari kata plural Mashalih.
Menurut ar-Razi dalam al-Mashul ada dua definisi yang dikemukakan ulama dalam memahami arti maslahah. Satu pendapat mengatakan, maslahah adalah sesuatu yang mendatangkan hukum yang sesuai untuk manusia baik dengan menciptakan maupun menetapkan. Maksud dari menciptakan adalah mendatangkan manfaat, sedang maksud dari menetapkan adalah mencegah kerugian ( madharat). Pendapat kedua mengatakan, maslahah adalah sesuatu yang sesuai dengan perbuatan orang-orang yang mempunyai kecerdasan hati (al-uqala) menurut kebiasaan. Artinya, bila hal tersebut kita ajukan kepada orang-orang yang mempunyai penilaian sehat tentu mereka akan menerima dan setuju. Menurut ‘Izz ad Din ibn ‘Abd as-Salam, maslahah adalah kenikmatan dan kebahagiaan serta segala jalan menuju kepada kenikmatan dan kebahagiaan tersebut. Sebaliknya, mafsadah adalah sebentuk pekerjaan yang bila dilakukan akan dicap buruk, menuai cercaan, dan ancaman neraka sebagai balasannya.
Dasar kaidah
Adapun dasar kaidah diatas bersumber pada firman Allah dalam surat Al-an’am QS. 108 yang berbunyi :
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْم .الأية
Artinya :
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. )Qs. Al-anam, 108)
Secara garis besar ayat diatas menegaskan bahwa memaki sembahan-sembahan yang mereka ( orang-orang musrik) sembah selain Allah merupakan bentuk maslahah bagi orang-orang islam, terbukti dengan memaki tersebut bisa membuat hina terhadap tuhan-tuhan mereka, akan tetapi disisi lain bisa mendatangkan mafsadah yang lebih besar yaitu orang – orang musyrik nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa sepengetahuan dari orang-orang islam.
Penjelasan kaidah
Sub kaidah ini berlaku dalam segala permasalahan yang di dalamnya terdapat percampuran antara unsur mashlahah dan mafsadah. Jadi bila mashlahah dan mafsadah berkumpul, maka yang lebih diutamakan adalah menolak mafsadah. Sebab, Nabi saw. Sebagai pemegang otoritas hukum (syari’) memiliki perhatian lebih besar pada hal – hal yang dilarang (manhiyyat) dari pada yang diperintahkan (ma’murat). Sebab, dalam manhiyyat terdapat unsur - unsur yang dapat merusak dan menghilangkan hikmah larangan itu sendiri, tidak demikian halnya dalam ma’murat. . Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa, hal – hal yang dilarang dan membahayakan lebih utama untuk ditangkal, daripada berusaha meraih kebaikan dengan mengerjakan perintah – perintah agama, sementara di sisi lain kita membiarkan terjadinya kerusakan hal ini sesuai hadits al- Nasa’I dan Ibnu Majah:
إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ
Artinya: Jika aku perintahkan kamu sekalian akan satu perkara, maka kerjakanlah ia semampumu. Dan jikalau aku melarang suatu hal, maka jahuilah ia.
Karena itulah, tandas al- Suyuthi, umat islam dalam beberapa jenis kewajiban diberi keringanan hukum disebabkan adanya kesulitan – kesulitan ringan, seperti sakit atau udzur – udzur yang lain, sehingga kewajiban berdiri dalam shalat dapat digantikan dengan duduk, berbaring , atau, isyarat, sesuai kadar udzur yang diderita.
Secara lebih khusus, Muhammad Shidqi menyatakan bahwa kaidah ini berlaku dalam segala hal dimana hukum haram dimenangkan daripada hukum halal, sesuai kaidah ; إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام . sebab, tandas Shidqi, ketika hukum haram diperiotaskan (untuk ditangkal), maka secara otomatis akan mencegah timbulnya mafsadah. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan sinergis antara kaidah “إذا اجتمع الحلال” dengan kaidah “ dar’ al-mufasid” ini. Berkaitan dengan keterkaitan dua kaidah tersebut, Muhammad Shidqi mengajukan satu bukti, dimana jika terjadi pertentangan antara dalil yang mengharamkan dan dalil yang menghalalkan, maka yang dimenangkan pasti dalil yang mengharamkan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum haram lebih ditekankan, demi menanggulangi timbulnya mafsadah dari obyek yang diharamkan.
Contoh kaidah
1. Berlebih – lebihan (muballaghah) saat menghirup air ke lubang hidung (istinsyaq) atau saat berkumur (madhmadlah) hukumnya adalah sunah. Tapi muballaghah itu bisa menjadi makruh bila dilakukan di waktu berpuasa. Sebab, dengan muballaghah, kemungkinan aka ada air yang masuk ke dalam perut sehingga orang yang berpuasa menjadi batal. Nah, kemakruhan muballaghah saat berpuasa itu merupakan upaya mencegah batalnya puasa (mafsadah), walaupun hukum asal muballaghah adalah sunah (mashlahah). Sesuai kaidah “dar; al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al- mashalih”.
2. Diperbolehkannya meninggalkan shalat jumat atau shalat jamaah (takhalluf) karena faktor sakit atau takut di perjalanan menuju masjid. Shalat jumat dan jamaah jelas merupakan mashlahah yang mengandung pahala besar, tapi bila penyakit menjadi semakin parah atau keamanan jiwa terancam (mafsadah), maka mencegah hal- hal yang tidak diinginkan tersebut lebih diutamakan.
3. Seseorang tidak diperbolehkan untuk membuat jendela yang dengannya dapat melihat wanita tetangganya, melainkan dia diharuskan untuk menutupnya.
4. Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk membuat sesuatu dari harta miliknya yang dapat membahayakan dan merugikan tetangganya, seperti membuat pembuangan air kotor atau comberan yang membahayakan tembok tetangganya.
5. Seseorang dilarang membuat tempat pembakaran roti dirumahnya yang membuat tetangganya tidak betah tinggal dirumahnya, karena bau dan asap yang berasal dari tempat pembakaran roti itu.
6. Penggusuran dan relokasi PKL (pedagang kaki lima) yang dilkukan oleh pemerintah merupakan bentuk mafsadah (kerusakan) karena dapat menutup peluang usaha dan keuntungan meski bagi pemerintah hal tersebut bisa menarik mashlahah demi kenyamanan dan keindahan tata kota.
Pengecualian Kaidah “ درء المفاسد أولى على جلب المصالح”
Al-Suyuthi dalam al-Asybah wa al-Nazhair menambahkan satu poin penting seputar pengecualian sub kaidah ini. Menurutnya, terkadang maslahah harus dijaga ketika bercampur dengan mafsadah. Dalam hal ini, maslahah yang harus lebih diutamakan daripada mafsadah tersebut adalah maslahah yang memiliki kadar lebih dominan dibandingkan mafsadah-nya. Contohnya seperti shalat yang tidak memenuhi sebagian syarat – syaratnya. Seperti syarat suci dari hadats, menutup aurat, atau menghadap kiblat. Dalam kacamata syariat, hilangnya tiga syarat ini dinilai sebagai mafsadah (dalam tanda petik). Dengan tidak terpenuhi syarat ini berarti tidak dapat memenuhi syarat pengagungan terhadap Tuhan secara sempurna. Kesucian, tertutupnya aurat, dan menghadap kiblat adalah pengejawantahan dari pengagungan seseorang hamba kepada Tuhannya. Namun ketika hal-hal ini tidak dapat dilakukan, maka bukan berarti kewajiban shalat menjadi gugur. Seseorang tetap diwajibkan shalat walaupun tidak dapat memenuhi syarat-syarat tersebut. Alasannya, karena maslahah, dalam hal ini adalah shalat, lebih mendapatkan prioritas untuk dijaga dibandingkan mafsadah kurang sempurnanya symbol pengagungan tersebut.
Permasalahan lain dimana unsur maslahah lebih diprioritaskan daripada mafsadah, antara lain dapat dilihat dalam contoh-contoh dibawah ini:
1. Kebohongan yang bertujuan untuk mendamaikan dua pihak yang berseteru. Kebohongan dapat dilakukan, jika ia dianggap sebagai jalan terakhir atau cara paling efektif untuk mendamaikan keduanya. Kebohongan yang pada hakikatnya adalah mafsadah, namun karena ia mengandung maslahah yang lebih besar berupa perdamaian, maka berbohong lebih diutamakan. Hal yang sama berlaku pada pertikaian antar suami istri; sang suami boleh (bahkan lebih utama) berbohong demi menjaga keharmonisan keluarga mereka.
2. Seseorang yang memanah atau menembak seekor burung dan berhasil melukainya hingga terjatuh ke tanah dan mati, maka burung ini halal dimakan, walaupun terdapat kemungkinan bahwa burung itu mati disebabkan kejatuhannya. Sebab, jatuhnya burung yang menjadi penyebab kematiannya adalah hal yang tidak bisa dihindari, sehingga hukum memakannya ditolerir (ma’fuw anhu).
Catatan Penyimpul
Dalam catatan akhirnya, al-Suyuthi memberi kesimpulan bahwa sub kaidah ini hakikatnya senada dengan kaidah al-dlarar la yuzalu bi al-dlarar, dimana menitik beratkan upaya menghindari mafsadah yang lebih besar dengan menanggung mafsadah yang lebih ringan (irtikab akhaff al- dlararayn).
Daftar pustaka
Abu an-Nur Zuhair Muhammad, Ushul al-fiqh, kairo, al-Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats.
Syaukani, Muhammad Abn ‘Ali ibn Muhammad as-, Irsyad al- fuhul, Beirut, Dar al- Fikr
Sulamy, ‘Izz ad-Din Abd as- Salam as-, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirut , Dar al- Kutub al-Ilmiyyah,cet ke-1,1999
Suyuthi, Jalal al-Din Abd al-Rahman al-, al-Asybah wa al-Nazhair, Beirut: Dar al- kitab al-Arabi, cet 1V, 1998 H
Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad al-, al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-Fiqh al-kulliyyah, Beirut: Muassah al- Risalah, 1983 M
إذا زال المانع عاد الممنوع
Apabila yang melarang telah hilang, maka yang dilarang kembali
Pendahuluan
Dalam perjalanan menapaki kehidupan, seseorang hamba dikaruniai hak untuk berfikir dan merencanakan hal-hal pada masa datang. Dengan kata lain, hamba dianugerahi hak untuk memilih cita-citanya. Namun karena ia hanyalah seorang hamba ia tidak mampu memaksakan kehendak-Nya yang sudah digariskan oleh-Nya. Sehingga perjalanan untuk meraih cita-cita tak selamanya akan mencapai kesuksesan, dan terganjal oleh sebuah aral yang menghalanginya. Begitupun dalam perjalanan sebuah hukum tak selamanya selalu eksis sepanjang masa. Nah, dalam hal ini penulis akan memberikan penjelasan kaidah , dimana Kaedah ini memberikan manfaat hukum yang berlawanan dengan manfaat hukum yang diberikan oleh kaedah sebelumnya, yaitu “Apa yang diperbolehkan karena udzur, batal dengan hilangnya udzur itu.”
Hal ini karena kaedah sebelumnya memberikan manfaat hukum apa yang diperbolehkan karena adanya sebab, kemudian sebab itu hilang. Sedangkan kaedah yang sedang kita bicarakan ini memberikan manfaat hukum atas apa yang melarang terjadinya sesuatu karena ada sebab yang melarangnya, kemudian sebab yang melarang itu hilang, maka yang dilarang kembali kepada hukum aslinya ketika yang melarang itu telah hilang.
Arti kaidah
Penghalang (mani’) adalah sesuatu yang dengan kemunculannya dalam pandangan syara’-dapat menghalangi wujudnya hukum tertentu yang disebut mani’ li al-hukmi’ atau dapat menjadikan hukum sebab akibat dianggap tidak berlaku yang dikenal dengan mani’ li al-sabab, seperti keterangan yang disebutkan dalam disiplin ilmu ushul fiqh.
Contoh mani lil al-hukmi adalah status menjadi bapak yang dapat mencegah (mani’) hukum eksekusi atasnya karena membunuh anaknya. Dan untuk contoh mani’ al- Sabab adalah jumlah hutang yang sampai dapat mengurangi harta yang telah melewati batas wajib zakat. Nishab dalam hal ini, merupakan sebab atas diwajibkannya membayar zakat. Kemudian kewajiban membayar zakat bisa hilang disebabkan hutang dalam jumlah yang sampai mengurangi kadar nishab.zakat.
Adapun yang dikehendaki dengan lafadz عاد pada kaidah diatas adalah bermakna ظهر dan حصل yang artinya jelas dan hasil, hal ini supaya mencakup suatu permasalahan dimana permasalahan tersebut yang asalnya di larang sebab ada mani’ kemudian hilanglah mani’ itu.
Penjelasan kaidah
Sub kaidah ini menerangkan bahwa jika tidak didapat hukum-apa saja bentuknya-karena adanya sesuatu yang melarang terjadinya, maka apabila yang melarang ini telah hilang, hukumnya dapat ditetapkan. Sebagai ilustrasi, ada seseorang memberikan wasiat kepada ahli warisnya, maka wasiat ini tidak dapat dilaksanakan karena orang yang menerima wasiat adalah ahli warisnya. Apabila sebab yang melarang ini telah hilang dari orang yang yang diberikan wasiat dan ahli warisnya, maka wasiat itu dapat dilaksanakan. Karena orang yang diwasiati yaitu saudara dari orang yang memberikan wasiat sudah bukan menjadi ahli warisnya lagi disebabkan lahirnya anak orang yang memberikan wasiat. Sebab, anak itu menghalangi orang yang yang diwasiati (pamannya) dari mendapatkan warisan, sehingga wasiat itu menjadi sah dan dapat dilaksanakan, karena orang yang menerimanya bukan termasuk ahli waris.
Contoh kaidah
a. Perselisihan yang terjadi berdasarkan materi nomor 1647 dari Majallah Al- adliyyah, melarang klaim kepemilikannya. Akan tetapi apabila perselisihan itu telah hilang dengan adanya pembenaran dari lawannya atau dengan pengingkaran hakim, maka klaim (dakwaan itu) kembali didengar. Materi nomor 1653 dari Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah menyatakan, bahwa perselisihan akan menjadi selesai dengan adanya pembenaran dari lawan (orang yang berselisih dengannya). Misalnya, seseorang mendakwa fulan (terdakwa) memiliki hutang seribu kepadanya, kemudian dia mengaku bahwa uang seribu itu adalah bantuan, dan itu dibenarkan oleh fulan, maka selesailah perselisihan itu.
Dalam penjelasan materi itu disebutkan, “ Dinyatakan dalam kitab “ Radd Al-Mukhtar”, “ketahuilah bahwa perselisihan menjadi selesai dengan dibenarkan dakwaan itu oleh lawannya dan juga dengan pengingkaran hakim.”
Dinyatakan juga dalam materi nomor 1657 dari Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah, “ perselisihan dicabut (menjadi selesai) dengan pengingkaran hakim. Misalnya, seseorang mengaku harta yang berada di tangan orang lain dengan mengatakan bahwa harta itu miliknya, lalu orang yang didakwa mengingkarinya dan dia mengatakan bahwa harta itu milik sifulan, dan dia telah membeli darinya. Kemudian orang yang mengaku membawa bukti atas dakwaannya dan harta itu dihukumi miliknya, maka harta itu dikembalikan kepada penjualnya dan diminta uangnya, karena perselisihan yang terjadi antara pengakuannya yang pertama bahwa harta itu milik penjual dan dia meminta kembali uangnya, telah menyelesaikan perselisihan itu dengan diingkarinya pengakuan oleh hakim.
b. Apabila orang yang diberi sesuatu telah melakukan penambahan pada sesuatu itu, maka penambahan itu menghalangi orang yang memberi untuk meminta kembali pemberiannya. Akan tetapi apabila penambahan itu telah hilang , maka orang yang memberi memiliki hak memintanya kembali.
c. Apabila pembeli mendapatkan cacat lama pada barang yang dibelinya, maka dia dapat mengembalikannya kepada penjualnya. Akan tetapi apabila terjadi cacat lain ketika barang itu ada di pembeli, maka dia tidak dapat mengembalikannya karena cacat yang terjadi itu. Namun apabila cacat yang baru itu telah hilang , maka pembeli masih memiliki hak untuk mengembalikannya.
d. Apabila seorang istri menikah lagi dan hak pengasuhannya gugur, maka apabila dia dithalak ba’in (talak ketiga) oleh suami barunya, maka hak mengasuh anak kembali lagi kepadanya, karena hilangnya sesuatu yang menghalanginya.
e. Negara kita banyak sekali para ibu-ibu yang ditinggal suaminya dan mereka rela meninggalkan anaknya keluar negeri demi uang yang mereka cari untuk kehidupan anaknya. Memang sih, sebenarnya orang tualah yang berkewajiban untuk merawat anaknya, berhubung karena ada udzur syar’i (mencari uang) maka tuntutan orang tua untuk merawat anak menjadi gugur disebabkan berpergiannya itu, sehingga bila orang tuanya kembali lagi ke tanah airnya dan kebutuhan untuk anaknya sudah terpenuhi maka dia berkewajiban kembali untuk merawat anaknya lagi.
Kesimpulan
Sebenarnya pada intinya kaidah ini adalah kaidah Aghlabiyyah (kaidah umum) yang menerangkan bahwa jika tidak didapat hukum-apa saja bentuknya-karena adanya sesuatu yang melarang terjadinya, maka apabila yang melarang ini telah hilang, maka hukumnya dapat ditetapkan. bahkan jumhurul ulama’ fiqh seperti syafiiyyah, hanafiyyah, dan malikiyyah mereka sempat menggunakan kaidah umum ini ketika dihadapkan dalam permasalahan ketika orang tua ada udzur syar’i seperti dia berpergian untuk haji, atau berpergian yang jauh dari tempat tinggalnya, dan pada waktu itu juga anaknya yang masih kecil yang membutuhkan pengasuhan orang tua, maka dalam kasus seperti ini orang tua tidak ada tuntutan untuk merawat anaknya, namun bila sudah kembali ketempat tinggalnya maka dia berkewajiban kembali untuk merawatnya anaknya lagi.
Daftar pustaka
Zydan Dr. Abdul Karim , Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Ar-Risalah, Beirut, cet V, 2001.
Anshari Abi Zakaria al-, dalam Ghayah al- Wushul, Maktabah Usaha keluarga, Semarang.
Rustam baz, Syarh Al-majallah, Beirut;
Zarqa’ Syaikh Ahmad ibn Syaikh Az-, Syarh Al- Qawaid Al-fiqhiyyah.al-Maktabah al Syamilah, Dar-al-Qalam.
0 komentar:
Posting Komentar