Sabtu, 16 April 2011

usul fiqih

المشقة تجلب التيسير, الرخص لا تناط بالمعاصى dan الرخص لا تناط باالشك
Oleh. Ach. Fauzi Has
I. pendahuluan
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari berbagai permasalahan-permasalahan, baik itu menyangkut pendidikan, politik, sosial, dan syariat. Pemakalah yakin bahwa tidak semua manusia bisa mengatasi permasalah-permasalahan tersebut, oleh karena itu untuk mempermudah mengatasinya untuk kalangan umat islam, maka tercetuslah beberapa kaidah-kaidah. Dan itu semua masih berada dalam ruang lingkup literatur-literaturn al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu sebelum masuk pada pembahasan penulis sedikit akan menjelaskan tentang kaidah terlebih dahulu. Apa itu kaidah? Secara bahasa kaidah bermakna pokok. Sedangkan secara istilah ahli fiqih adalah hukum yang bersifat umum (menyeluruh) yang teraplikasi pada seluruh bagiannya atau sebagian besarnya agar dapat diketahui hukum-hukumnya.
Dalam fiqih islam terdapat banyak kaidah, namun pada makalah yang sangat sederhana ini pemakalah akan mencoba menjelaskan mengenai kaidah المشقة تجلب التيسير, الرخص لا تناط بالمعاصى dan الرخص لا تناط باالشك. Tentang pengertiannya, dasar/dalil serta contoh aplikasi dari kaidah tersebut.

II. Pembahasan
A. المشقة تجلب التيسير
Kesulitan membawa kemudahan
1. Arti
المشقة Menurut bahasa adalah al-shu’ûbah, al-mihnah, al-‘anã’ yaitu kepayahan, kesulitan, kerepotan, kelelahan, kesukaran, seperti terdapat dalam QS. al-Nahl ayat 7:
          
“dan ia memikul beban-bebanmu kesuatu negeri yang kamu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran)”
التيسير Menurut bahasa adalah kemudahan, keringanan. Seprti di dalam hadits nabi yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari dan al-muslim disebutkan:
إن الدين يسر
Agama itu mudah, tidak memberatkan. Yusrun lawan kata dari kata ‘usrun.

Maka dari sini kaidah ini secara etimologi mempunyai pengertian bahwa sebuah kesulitan akan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.
Adapun secara termenologi para ulama’, maka kaidah ini berarti hukum-hukum syar’i yang dalam prakteknya menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta kerumitan bagi seorang mukallaf (orang yang diberi beban syar’i) maka syariat islam meringankannya agar bisa dilakukan dengan mudah dan ringan.
2. Dalil/dasar
a) Dalil Al-Quran al-Karîm
1) Allah SWT. Berfirman:
.......         .....
“Allah SWT. menginginkan bagi kalian kemudahan dan tidak menginginkan bagi kalian kesulitan.” (QS. al-Baqarah: 185)
2) Allah SWT. Berfirman:
      
“Allah SWT. Tidak membebani seorang jiwa kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. al-Baqarah: 286)
3) Allah SWT. Berfirman:
        
            ...
“Ya Tuhan kami, janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami, Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya....” (QS. al-Baqarah: 286)
4) Allah SWT. Berfirman:

     .....
“Allah menginginkan untuk meringankan atas kalian.”(QS. an-Nisa’:28)
5) Allah SWT. Berfirman:
       .....
“Allah SWT. Tidak hendak menyulitkan kalian.....” (QS. al-Ma’idah: 6)
6) Allah SWT. Berfirman:
....        ....
“Dan Allah SWT. Sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...” (QS. al-hajj: 78)

b) Dalil al-Sunnah
1) Hadits Abu Umamah
عن أبي أمامة قال قال النبي صلى الله عليه وسلم إني لم أبعث باليهودية ولا بالنصرانية ولكني بعثت بالحنيفية السمحة
Dari abu umamah berkata: Rasulullah bersabda: “Saya tidak diutus dengan membawa agama Yahudi dan Nashrani namun saya diutus membawa agama yang lurus lagi mudah.” (HR. Ahmad )
2) Hadits Abu Hurairah:

عن أبي هريرة قال قام أعرابي فبال في المسجد بتناوله الناس فقال لهم النبي صلى الله عليه وسلم دعوه وهريقوا على بوله سجلا من ماء أو ذ نوبا من ماء بإنما بعثتم ميسرين ولم تبعثوا معسرين
Dari Abu Hurairah berkata: “ada seorang arab badui yang kencing di masjid, lalu para sahabat memarahinya, maka Rasulullah bersabda: “biarkan dia, tuangkan saja pada kencingnya air satu timba, sesungguhnya kalian diutus untuk membawa kemudahan dan bukan diutus untuk menyulitkan.” (HR. Bukhari 220, Muslim)
3) Hadits Aisyah:
عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت ما خير رسول الله عليه وسلم بين امرين إلا أخذ ايسرهما مالم يكن إثما بإن كان إثما كان أبعد الناس منه
Dari Aisyah berkata: “tidaklah Rasulullah diberi piliha untuk memilih antara dua perkara kecuali beliau akan memilih yang paling mudah, selagi hal tersebut bukan perbuatan dosa. Namun jika itu perbuatan dosa maka Rasulullah adalah orang yang paling jauh darinya” (HR. Bukhari 3560, Muslim 2327)
Makna kaidah tersebut di atas adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitana dan kesukaran bagi mukallah (subjek hukum), maka syari’at meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Kalau kita cermati tentang sebab-sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan keringanan syar’i adalah
1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh mengqashar dan menjama’ shalat, tidak berpuasa pada bulan ramadhan namun harus mengganti pada bulan lainnya, mengusap sepatu tiga hari tiga malam sedankan kalau tidak safar hanya boleh sehari semalam, meninggalkan shalat jum’at, boleh makan bangkai.
2. Keadaan sakit. Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit menggunakan air, shalat fardhu sambil duduk atau berbaring, tidak berpuasa pada bulan ramadhan namun harus mengganti setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. misalnya, bolehnya mengucapkan kalimat kufur dengan syarat hatinya masih teguh di atas keimanan, sebagaimana kisah Amar bin Yasir yang dipaksa kufur dengan siksaan yang sangat berat, maka beliau mengucapkan kalimat kufur namun hatinya tetap teguh di atas keimanannya. Sebagaimana firrman Allah SWT:
             •           
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl: 106)
4. Lupa (al-nisyãn). Misalnya, seorang lupa makan dan minum pada waktu puasa tidak batal puasanya, lupa membayar hutang tidak diberi sanksi, juga tidak berdosa orang yang lupa tidak shalat sampai keluar waktunya, hanya saja kalau dia ingat maka wajib melaksanakannya saat itu juga.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
عن أنس بن مالك قال قال نبي الله صلى الله عليه وسلم من نسي صلاة أو نام عنها بكفارتها أن يصليها اذا ذكلرها
Dari Anas berkata: Rasulullah bersabda: “barang siapa lupa shalat atau ketiduran belum mengerjakannya, maka kafarahnya adalah mengerjakannya saat dia ingat.” (HR. Bukhari 597, Muslim 684)
5. Ketidaktahuan (al-jahl). Miasalnya, orang baru masuk islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka tidak ada dosa atasnya dan tidak ada hukuman akhirat.
6. Sulit menghindarinya (umum al-balwa).
Dalam keadaan-keadaan tertentu, manusia sulit sekali menghindari yang pada dasarnya adalah tidak boleh, maka hal itu bisa diberi keringanan karena kesulitan tersebut. Misalnya, kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati, sekedar yang dibutuhkan dalam pengobatan, percikan air yang mengenai sarung untuk shalat. tidak dinajiskannya kucing karena binatang ini sering bergaul dengan manusia, keluar masuk rumah dan lainnya, maka seandainya dinajiskan maka akan sangat memberatkan.
7. Kekurangan
Ada beberapa kekurangan yang terdapat pada seseorang, baik kekurangan dalam fisik, akal ataupun lainnya, maka semua kekurangan tersebut bisa menjadi sebab mendapatkan keringanan. Misalnya, orang yang kurang fisiknya maka tidak wajib jihad, contohnya orang yang buta atau pincang yang parah. Adapun kekurangan umur atau belum baligh dan kurang akal, maka orang yang belum baligh dan kurang waras tidak diberi kewajiban syar’i.
Al-masyaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin musyaqqah tetapi bagi si B tidak terasa musyaqqah. Akan tetapi ada setandar umum yang sesungguhnya bukan musyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu pada musim dingin, atau terasa berat saum pada musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalani hukuman. Musyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Sebab bila dibolehkan keringanan dalam musyaqqah tersebut akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah.
Yang dikehendaki dengan kaidah tersebut bahwa kiat dalam melaksankan ibadah itu tidak ifrat(melampaui batas) dan tafrit (kurang dari batas). oleh karena itu, para ulama’ membagi musyaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Al-masyaqqh al-‘Azhimah (kesulitan yang sangat berat), seperti kehawatiran akan hilangnya jiwa dan atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.
2. Al-Masyaqqah al-mutawassithah (kesulitan pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Masyqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila muasyaqqah lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ. Inilah yang dimaksud bahwa masyaqqah itu bersifat individual.
3. Al-Masyaqqah al-khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa cape’ waktu thawaf dan sa’i, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Musyaqqah seperti ini bisa ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yangtercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada musyaqqah yang ringan ini.
Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya musyaqqah setidaknya ada tujuh macam.
1. Tahfif isqath/rukhshah isqat, yaitu yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak wajib shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atu nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu (istitha‘ah).
2. Tahfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat qashar dua rakaat yang asalnya empat rakaat.
3. Tahfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian, seperti wudhu dan/atau mandi wajib diganti dengan tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib diganti dengan duduk karena sakit.
4. Tahfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, seperti jama’ taqdim di arafah; mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun); mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama’ taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
5. Tahfifi ta’khir, yaitu dengan cara diakhirkan, seprti shalat jama’ ta’khir di Musdhalifah, qadha’ saum Ramadhan bagi yang sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
6. Tahfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhshah, seperti makan dan minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak membawa kematian.
7. Tahfif tahyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.
Aplikasi contoh:
a. Pada dasarnya bangkai adalah haram, namun kalau seseorang dalam keadaan terpaksa maka diperbolehkan baginya makan bangkai tersebut bahkan mungkin menjadi wajib.
b. Asuransi konvensional itu hukumnya haram, karena mengandung unsur kedhaliman, riba serta lainnya. Namun pada zaman sekarang ini sitem asuransi ini hampir ada di semua sektor kehidupan, misalnya kalau masuk terminalharus membayar peron yang disitu mesti ada sebagian uangnya untuk PT. Asuransi dan lainnya, maka diperbolehkan membayar peron tersebut meskipun mengandung unsur asuransi karena akan sulit sekali menghindarinya.

B. الرخص لا تناط بالمعاصى
Keringanan itu tidak di kaitkan dengan kemaksiatan
1. Arti
Rukhshah menurut etimologi adalah yusrun dan suhulah (mudah). Sedangkan menurut terminologi adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil aslinya karena ada udzur yang menuntutnya dikerjakan seperti itu.
Manath menurut etimologi adalah berhubungan, berkaitan, dan berkumpul.
Maksiat sinonim dari kata ishyan yang berarti melanggar syariat dengan sengaja.
Berdasarkan ketiga komponen kata yang membentuk kaidah tersebut di atas, ulama mengartikannya dengan “adanya keharusan memperhatikan dan meneliti dengan cermat suatu pekerjaan atau perbuatan yang karenanya rukhshah akan dilakukan. Sebab apabila perbuatan tersebut dilarang maka mengambil hukum rukhshah juga dilarang. Begitu juga dengan kebalikannya.” Berdasarkan pengertian tersebut, alangkah jauhnya perbedaan antara orang yang bepergian dengan niat melakukan maksiat dan orang yang bermaksiat di tengah perjalanan, kaitannya dengan boleh dan tidaknya mengambil rukhshah bagi keduanya.
2. Dasar/ dalil
Firman Allah dalam surat al-baqarah 173:
إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melaupai batas, maka tidak ada dosa baginya.”
Aplikasi dari kaidah ini dalam furuiyahnya yang berkaitan dengan melakukan rukhshah :
a) Larangan maelakukan rukhshah bagi orang yang nonton bola yang hadir di stadion.
b) Larangan melakukan rukhshah bagi orang yang melakukan perjalanan untuk nonton konser musik dangdut, band, rock, dan lain sebagainya.

C. الرخص لا تناط باالشك
Keringanan itu tidak di kaitkan dengan keraguan
1. Arti
Syak menurut etimologi adalah kemungkinan terjadinya dua perkara atau lebih tanpa diketahui manakah di anatara keduanya yang lebih utama.
Syak adalah salah satu dari sifat bodoh, bahkan lebih khusus dari kebodohan itu sendiri. Sebab adanya sifat bodoh tentang sesuatu itu adakalanya tidak mengetahui objek bahasan dari sudut pandang manapun. Berbeda dengan syak. Karena itu benar sekali apabila dikatakan bahwasanya setiap keraguan adalah karena kebodohan, bukan sebaliknya.
Maka arti dari kaidah الرخص لا تناط باالشك adalah ketiadaan hubungan melakukan rukhshah dengan perbuatan yang masih diragukan keabsahannya.
Contoh:
a. Wajibnya menyempurnkan rakaat shalat bagi orang yang ragu tentang diperbolehkannya dia mengkoshar shalat.
b. Larangan mencukupkan mengusap muzah bagi orang yang ragu tentang di perbolehkannya dia mengambil rukhshah.




III. Simpulan
kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Yang dimaksud adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitana dan kesukaran bagi mukallah (subjek hukum), maka syari’at meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Sebab-sebab seseorang mendapatkan keringan adalah Safar, sakit, terpaksa, lupa, bodoh, sulit menghindarinya, dan kekurangan.
Musyaqqah ada tiga tingkatan: Al-masyaqqh al-‘Azhimah, Al-Masyaqqah al-mutawassithah, Al-Masyaqqah al-khafifah.
Rukhshah tidak dikaitkan dengan kemaksiatan dan keraguan.





IV. Daftar Pustaka
Al-Burnu, Muhammad shiddiq bin Ahmad, 1404 H/1983 M. Al-wajiz fi idhah al-qawa’id al-fiqhiyah,cet. I. Beirut. Muassasah al-Risalah.
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, 2009. Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami, Pustaka Al-Furqan.
Prof. H. A. Djazuli, 2007. Kidah-kaidah fiqih, cet. II, Jakarta: kencana.
Imam Jaluddin al-Suyuti, 2001, al-asbah wa al-nazhair fi qawa’id wa furu fiqh al-syafi’iyah, Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah.
Izzudin bin salam, qawa’id al-ahkam fi mashaleh al-anam, Juz II. tt. Dar al-jail.
Muhammad al-Ruki, qawa’id al-fiqh al-islami, cet. I. Beirut: Dar al-qalam.
Abdullah bin Said Muhammad ubbadi, 1410 H. Idhahul Qawa’id al-Fiqhiyah, surabaya: sl-hidayah.
Muhammad Yasin bin Isa al-Padani. 1999. Al-Fawaid al-janiyah, beirut: Dar al-Fikr.
Abdul Hamid Hakim, tt. Al-sullam. Al-maktabah al-sa’diyah putra : jakarta.
Muhammad Hamid Usman. 2000, Al-Qomus Al-Mubin, Qahirah: Darul Hadis.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons