BAB II
STRUKTUR HADIS
A. Sanad
1. Pengertian
Sanad menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu yang dijadikan sebagai sandaran, dikatakan demikian karena suatu hadis bersandar kepadanya . Sedangkan pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis, banyak ulama yang mengemukakannya, diantaranya ialah:
- As Suyuti dalam bukunya Tadrib ar Rawi, hal 41 , menulis:
الاِخْبَارُ عَنْ طَرِيْقِ الْمَتَنِ
“Berita tentang jalan matan”
- Mahmud at Tahhan, mengemukakan sanad adalah :
سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةِ اِلىَ الْمَتْنِ
“Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai kepada matan hadis.”
Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dhaifnya suatu hadis. Jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, taqwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan mempunyai daya ingat yang kuat, sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih. Begitupun sebaliknya, andaikan salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadis tersebut dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
2. Contoh Sanad
حدثنا عبد الله بن يوسف قا ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه قرأ فى المغرب الطور. (رواه البخاري)
Artinya:
“memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-Bukhori)
Dari contoh hadis di atas jika diteliti, maka yang dimaksud dengan sanad adalah dimulai dari haddatsana Abdullah bin Yusuf hingga pada lafadz ‘An biihi qaala, yang menyambungkan kepada Rasulullah SAW. Agar lebih jelas berikut ini diterangkan dalam bentuk denah periwayatan hadits di atas .
B. Matan
1. Pengertian
Kata matan menurut bahasa berarti ما ارتفع وصلب من الارض yang berarti tanah yang tinggi dan keras,namun ada pula yang mengartikan kata matan dengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan. sedangkan arti matan menurut istilah ada banyak pendapat yang dikemukakan para ahli dibidangnya, diantaranya:
- Menurut Muhammad At Tahhan
ما ينتهى اليه السند من الكلام
“suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
- Menurut Ath Thibbi
الفاظ الحديث التى تتقوم بها معاني
“lafadz hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”
Jadi pada dasarnya sanad itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan dalam sebuah hadis amatlah penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya berita dari Nabi atau berita dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang lainnya,
2. Contoh matan
عن أم المؤمنين عا ئشة رضى الله عنها قالت : قال رسول الله , من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. (رواه متفق عليه)
“warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)
Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai dengan من أحدث hingga lafadz فهو رد atau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد “barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’.”
C. Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari (رواه البخاري) yang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
D. Tabaqat al-Ruwwat
Secara bahasa kata tabaqat diartikan; kaum yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut istilah tabaqat ialah ;
قوم تقاربوا في السن والاسناد أوفي الا سناد
“Kaum yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja”
Tabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu generasi atau satu masa dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam periwayatan saja.menurut Ibnu Hajar Al-Asaqalani, Tabaqat Al Ruwwah sejak masa sahabat sampai pada akhir periwayatan ada 12 tabaqat yaitu sebagai berikut:
a. Sahabat dengan berbagai tingkatannya.
b. Tabi’in senior seperti Sa’id bin Al-Musayyab
c. Tabi’in pertengahan seperti Al-Hasan dan Ibnu Sirin
d. Tabi’in dekat pertengahan seperti Az-Zuhri dan Qatadah
e. Tabi’in yunior seperti Al-A’masy
f. Tabi’in yunior tetapi tidak bertemu seorang sahabat seperti Ibnu Juraij
g. Tabi’i Tabi’in senior seperti Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri
h. Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Uyaynah dan Ibnu Ulayyah
i. Tabi’i Tabi’in yunior seperti Abu Dawud Ath-Thayalisi dan Asy-Syafi’i
j. Murid Tabi’i Tabi’in senior seperti Ahmad bin Hambal
k. Murid Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Adz-Dzuhali dan Al-Bukhori
l. Murid Tabi’i Tabi’in yunior seperti At-Tirmidzi
Di antara faedah mengetahui tabaqat al-ruwwah ini adalah menghindarkan kesamaan antara dua nama atau beberapa nama yang sama atau hampir sama. Selain itu faedahnya juga yaitu untuk mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suatu hadis. Sebab suatu hadis tidak dapat ditentukan sebagai hadis muttasil atau mursal, kalau tidak mengetahui apakah tabi’in yang meriwayatkan hadis dari seorang sahabat itu hidup segenerasi atau tidak. untuk memudahkan pemahaman tentang tabaqat al-ruwwah berikut ini akan dipaparkan denah thabaqat al-ruwwah menurut Al-Atsqalani:
TABAQAT AL-RUWWAH
MENURUT IBNU HAJAR AL-ATSQALANI
E. Hadis ‘Ali dan Nazil
1. Pengertian
Dari segi bahasa ‘Ali ialah bentuk isim fa’il dari kata العلو = sesuatu yang tinggi , antonym dari lafadz النزول = rendah dan turun. An-Nazil berasal dari kata An-Nuzul. Tinggi dan rendah dapat berlaku pada suatu tempat atau pada status dan kedudukan. Sedangkan pengertian hadits ‘Ali menurut para ahli hadis ialah;
ما قل عدد رواته الى الرسول صلى الله عليه وسلم بالنسبة لسند اخر
“suatu hadis yang sedikit jumlah para perawinya sampai kepada Rasulallah SAW. Dibandingkan dengan sanad lain”
Sedangkan pengertian hadis Nazil menurut ahli hadis ialah;
ما كثر عدد رواته الى الرسول صلى الله عليه وسلم بالنسبة لسند اخر
“suatu hadis yang banyak jumlah para perawinya sampai kepada Rasulallah SAW. Dibandingkan dengan sanad lain”
Dari pengertian diatas jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hadis ‘Ali ialah hadis yang jumlah perawinya lebih sedikit, sedangkan yang dimaksud dengan hadis Nazil ialah hadis yang jumlah periwayatnya lebih banyak. Misalnya sanad suatu hadis mencapai 9 orang sementara sanad hadis lainnya hanya 7 atau 5 orang, tentu yang sanadnya hanya 7 atau 5 itu yang disebut dengan hadis ‘Ali dan hadis yang sanadanya mencapai 9 orang yang disebut dengan hadis Nazil.
2. Macam-Macam Hadis ‘Ali
Hadis ‘Ali dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:
a. ‘Ali mutlak, yaitu hadis yang lebih dekat para perawinya dalam sanad dengan Rasulullah karena lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan sanad lain pada hadis yang sama. ‘Ali mutlak ini yang paling tinggi diantara macam-macam ‘Ali apabila memiliki sanad yang shahih.
b. ‘Ali Nisbi, yaitu hadis yang dekat atau sedikit jumlah perawinya dalam sanad dengan sesuatu tertentu:
1) Dekat dengna salah seorang Imam Hadis.
2) Dekat dengan salah seorang pengarang kitab induk hadis yang dapat dipedomani. Dalam hal ini ada beberapa macam:
a) Muwafaqah, yaitu jika melalui sanad Syaikh (guru) salah seorang penghimpun hadis kedalam kitab hadis lebih dekat atau lebih sedikit dari pada melalui sanad penghimpun tersebut.
b) Badal, yaitu jika melalui sanad Syaikhnya Syaikh (gurunya guru) salah seorang penghimpun kitab hadis lebih dekat atau lebih sedikit dari pada melalui sanad penghimpun tersebut.
c) Musawah, yaitu adanya persamaan jumlah isnad dari seorang perawi sampai akhir dengan isnad salah seorang penghimpun hadis ke dalam buku hadis.
d) Mushafahah, yaitu persamaan jumlah para perawi dalam sanad dari seorang perawi sampai akhir dengan isnad murid salah seorang penghimpun kitab hadis. Dinamakan mushafahah karena pada umumnya kedua belah pihak antara perawi sebuah hadis dengan murid salah seorang penghimpun hadis tersebut berjabat tangan.
3) ‘Ali karena sebagian perawi meninggal terlebih dahulu. Terkadang didapatkan dua isnad yang sama jumlah para perawi dalam sanad, tetapi salah satu sanad terdapat sebagian perawi yang meninggal terlebih dahulu maka ia di hukumi ‘Ali.
4) ‘Ali karena lebih dahulu mendengar. Misalnya dua orang perawi sama-sama mendengar suuatu hadis dari seorang Syaikh. Tetapi salah satunya telah mendengar sejak 60 tahun yang lalu sementara perawi yang satu lagi telah mendengar sejak 40 tahun yang lalu, jumlah perawi dalam sanad sama. Sanad pertama ‘Ali karena lebih dahulu mendengar.
3. Macam-Macam Nazil
Hadis Nazil dibagi menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut:
a. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada Nabi.
b. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada salah seorang Imam Hadis
c. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada satu kitab hadis yang teranggap
d. Sanad yang di dalamnya ada rawi yang menerima dari seorang Syaikh yang kemudian meninggal, juga dari rawi lain yang menerima dari Syaikh itu.
e. Sanad yang di dalamnya ada rawi yang mendengar dari seorang Syaikh, kemudian (belakangan) rawi itu menerima dari rawi lain yang juga mendengar dari Syaikh itu.
Mayoritas ulama menilai hadis ‘Ali lebih utama dari pada hadis Nazil, karena ia lebih jauh dari kemungkinan-kemungkinan cacat. Tujuan ulama mutaqaddimin mengetahui Isnad ‘Ali yang dekat dengan Rasulullah, karena sangat dimungkinkan sedikit kesalahan dibandingkan yang Nazil.
4. Contoh Hadis
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه ووالده وولده والناس أجمعين
F. Riwayah Al-Kabir ‘An Ash-Shaghir
Yang dimaksud dengan Riwayah al-kabir ‘an ash-shaghir, ialah periwayatan hadis dari seorang rawi yang lebih tua usianya atau lebih banyak ilmunya dari rawi yang lebih rendah usianya atau yang lebih sedikit ilmunya yang diperoleh dari seorang guru.
BAB III
SANAD HADIS
A. Riwayatu Al-Akabir An Al-Ashoghir
Kabir artinya yang besar, orang besar,yang kedudukannya tinggi. Shaghir artinya yang kecil orang kecil, orang yang rendah
Riwayatu Al-Akabir An Al-Ashoghir [رواية لأكابير عن الأصاغير] adalah periwayatan hadith seorang rawi yang lebih tinggi usianya atau lebih banyak ilmunya dari rawi yang lebih rendah usianya atau lebih sedikit ilmunya yang diperoleh dari seorang guru
رواية الشخص عمن هو دونه في السن والطبقة او في العلم والحفظ
Orang besar yang dikehendaki di sini adalah:
1) Orang yang lebih tua umurnya dari rawi,dan lebih dahulu tabaqatnya
2) Orang yang lebih tinggi derajatnya tentang ilmu dah hafalannya
3) Orang yang lebih tua umurnya serta lebih tinggi derajatnya tentang ilmu dan hafalannya
4) Guru bila dibandingkan dengan seorang murid
5) Sahabat Nabi bila dibandingkan dengan tabii’n
6) Tabi’in bila dibandingkan dengan tabiut tabii’n
7) Bapak bila dibandingkan anaknya
Contoh Riwayatu Al-Akabir An Al-Ashoghir:
Sabdah Rasulullah tentang al-Jassad [dajjal] yang dalam hadith tersebut Nabi memperoleh cerita dari Tamim ad-Dary ujarnya:
أتدرون لم جمعتكم قالوا الله ورسوله أعلم قال إني والله ما جمعتكم لرغبة ولا لرهبة ولكن جمعتكم لأن تميما الداري كان رجلا نصرانيا فجاء فبايع وأسلم وحدثني حديثا وافق الذي كنت أحدثكم عن مسيح الدجال ......
Tahukah mengapa kalian saya kumpulkan ? hanya Allah dan Rasullnya yang tahu sahut mereka demi Allah saya kumpulkan kamu bukan untuk mengambil rekan dan menakut nakuti tetapi ku kumpulkan sekalian karena Tamim ad-Dary konon ia adalah seorang nasrani lalu datang meminta biat [masuk islam] dan menceritakan kepadaku sesuatu cerita yang persis dengan apa yang saya ceritakan kepadamu tentang masihi ad-Dajjal…..
Termasuk dalam pengertian Riwayatu Al-Akabir An Al-Ashoghir adalah
1. Riwayatu as-Shahabat an-at tabiin
2. Riwayatu al-Aba’ ani’ al-Abna
3. Riwayatu at-Tabiin ani’t tabiin
Faedah mengetahui Riwayatu Al-Akabir An Al-Ashoghir adalah untuk menghindari persangkaan bahwa pada sanadnya terjadi pemutar balikan rawi, dan untuk menjauhkan persangkaan kebanyakan orang bahwa sang guru itu tentu lebih pintar dari muridnya padahal tidak tentu demikian
Nabi Muhammad saw. Telah memerintahkan agar kita selalu menempatkan seseorang pada suatu kedudukannya yang sesuai dengan kecakapannya, sebagaimana sabdahnya:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم أَنْ نُنَزِّلَ النَاسَ مَنَا زِلَهُمْ
Rasulullah saw. Telah memerintahkan kepada kita agar kita tempatkan seseorang pada kedudukannya. [HR Abu Daud]
B. Riwayatu Al-Aba’ Ani’ Al-Abna
Adalah suatu hadith dimana dalam sanad hadithnya terdapat seorang ayah yang meriwayatkan hadith dari anaknya
أن يوجد في سند الحديث أب يروي الحديث عن إبنه
Contoh
Seperti Hadith yang bersanadkan al-fadl ke al-Abas bapaknya
حديث رواه العباس بن عبدالمطالب عن ابنه الفضل ان رسول الله صلى الله عليه وسلم جمع بين الصلاتين بالمزذلفة
Hadith yang diriwayatkan oleh musas dari atha’ dari ibnu abbas bin abdul muthalib dari putranya al-Fadl berkata
حدثنا شعبة عن مشاش عن عطاء عن ابن عباس عن الفضل بن عباس ان رسول الله صلي الله عليه وسلم امر ضعفه بني هاشم ان ينفروا من جمع بليل {رواه النساء}
Faedah mengetahui Riwayatu al-Aba’ ani’ al-Abna adalah untuk menghindari persanggkaan bahwa pada sanadnya terjadi pemutar balikan rawi
C. Riwayatu Al-Abna’ An Al-Aba’
Adalah suatu hadith dimana dalam sanad hadith nya terdapat seorang anak yag meriwayatkan hadith dari bapaknya
ان يوجد في سند الحديث اب يروي الحديث عن إبنه فقط او عن ابيه عن جده
Contoh:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْفَقِيهُ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ ، حَدَّثَنَا عَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ ، عَنْ مَطَرٍ ، عَنْ عَمْرِ بْنِ شُعَيْبٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ جَدِّهِ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، أَنَّهُ قَالَ : فِي الْمَوَاضِحِ خَمْسٌ خَمْسٌ مِنَ الإِبِلِ ، وَالأَصَابِعُ كُلُّهَا سَوَاءٌ عَشْرٌ عَشْرٌ مِنَ الإِبِلِ أَوَّلَ الشِّجَاجِ
وَعَن الأَشْعَث بْنُ سُلَيْم ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : أَقْبَلْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ مِنْ عَرَفَاتٍ إِلَى الْمُزْدَلِفَةِ فَلَمْ يَكُنْ يَفْتُرُ ، مِنَ التَّكْبِيرِ وَالتَّهْلِيلِ ، حَتَّى أَتَيْنَا الْمُزْدَلِفَةَ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ ، أَوْ أَمَرَ إِنْسَانًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى بِنَا الْمَغْرِبَ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيْنَا ، فَقَالَ : الصَّلاَةُ فَصَلَّى بِنَا الْعِشَاءَ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ دَعَا بِعَشَائِهِ .
رواه مُسَدَّد
Faedah Riwayatu Al-Ana’ An Al-Aba’ adalah untuk mengetahui nama abun wa jaddun apabila keduanya belum jelas kedudukannya, dan untuk memperjelas keduanya apakah jaddun abiihi aw jaddu ibnihi .
D. Riwayatu Al-Aqran Wa Al-Mudabbaj
Riayatu al-aqran adalah seorang rawi meriwayatkan sebuah hadith dari kawan-kawanya yang sebaya umurnya ,atau yang seperguruan yaitu sama-sama belajar dari guru yang sama
Contoh:
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذِ بْنِ مُعَاذٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَفْصٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كُنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - أَخْذُهُنَّ مِنْ رُءُوسِهِنَّ حَتَّى يَكُونَ كَالْوَفْرَةِ
Faedah mengetahui riwayatu al-aqran adalah agar jangan dikira bahwa pada hadith tersebut terdapat kelebihan sanad
Mudabbaj adalah apabila masing-masing mereka yang seteman atau sebaya umurnya atau seperguruan saling meriwayatkan
Contoh:
Abu Bakar as-Sidq meriwayatkan hadith dari Umar r.a. kemudian Umar r.a. meriwayatkan hadith dari Abu Bakar r.a
Faedah mengetahui mudabbaj adalah untuk menghindari adanya persanggkaan bahwa penyebutan dua orang rawi yang sekawan tersebut adalah karena silab
BAB IV
BEBERAPA MUKHARRIJUL HADIS, BIOGRAFI DAN KITAB KARANGANNYA
A) Imam Malik
1. Biografi Singkat Imam Malik
Imam Malik merupakan pendiri madzhab maliki, beliau adalah mujtahid bssar dalam islam yang ahli di bidang fikih dan hadits, nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik Bin Anas Bin Malik Bin Abi Amir Bin Amr Bin Haris Bin Gaiman Bin Kutail Bin Amr Bin Haris al- Asbahi .
menurut subkhi al- sholih yang dikutip oleh Dr. Abd. Majid Khon, beliau tinggal di Madinah mulai dari lahir hingga waktu wafatnya, ia dilahirkan di kota madinah 96 H, dalam satu riwayat, ia dalam kandungan ibunya selama 3 tahun dan dilahirkan dalam keluarga dan masyarakat yang banyak mengenal hadits. Namun dalam kitab Ulum Al- Hadits Wa Mustholahuhu Imam Malik lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179H.
Beliau tidak meninggalkan kota Madinah kecuali hanya pergi hajji, ia menjadii seorang periwayat hadits yang mashur.dalam hal penerimaan hadits ia hanya menerima hadits dari orang- orang yang memang ahli hadits dan orang terpercaya, ia pun menerima hadits yang matannya tidak bertentangan dengan al-Quran, ia hanya meriwayatkan hadits yang makruf dan mensyaratkan juga matan hadis itu sejalan dengan amalan Penduduk Madinah. dan ia pernah masuk penjara karena syi`ah menjadikan fatwanya pendorong dalam menentang kekuasaan Abbasyiah di Madinah, beliau juga tidak ikut campur dalam urusan politik.
2. Guru Imam Malik, Muridnya Dan Karangannya
Guru sekaligus menjadi sumber penerimaan hadits Imam Malik adalah Naïf` Bin Abi Nuaim, Ibnu Shihab Al-Zuhri , Abul Zinad, Hasyim Bin Urwa, Yahya Bin Said Al-Ansari, Dan Muhammad Bin Munkadir,Gurunya Yang Lain Adalah Abd Rahman Bin Hurmuz. Sedangkan muridnya adalah al- Syaibani, Imam Syafi`I, Yahya Bin Yahya Al-Andalusi, Abd Rahman Bin Kasim Di Mesir, Asad al- Furat al – Tunisi, diantara karangannya adalah al Muwatta` . Dalam kitab Ulum Al- Hadits Wa Mustholahuhu yang menjadi gurunya imam malik bukannlah ibnu shihab al- Zuhri, melainkan adalah al-Zuhri.
B) Imam Ahmad Bin Hambal
1. Biografi Ahmad Bin Hambal
Nama lengkapnya adalah ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Ibn Hilal Ibn Asad al- Syaibani Abu Abdillah al-Marwazi al- Baghdadi . beliau lebih banyak mencari ilmu di bagdad kemudian mengembara keberbagai kota untuk menuntut ilmu figh dan hadist seperti ke Negara syam, hijaz, yaman, dll, sehingga banyak pengetahuannya tentang asar sahabat dan tabi’in, ia miliki sifat wara’ dhobit dan sempurna, ia merupakan anak yang ke enam belas, dan ayahnya wafat pada waktu beliau berusia 30 tahun.
Ibnu Hibban mengatakan bahwa Imam Ahmad adalah orang ahli Fiqh, hafizh, dan teguh pendiriannya, selalu wara’ dan beribadah sekalipun dicambuk dalam peristiwa Mihnah (ujian kemahlukan al-quran) dia sebagai Imam yang diteladani dan menjadi tempat perlindungan. Beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H pada bulan rabi` al- awwal. dan beliau wafat pada tahun 241 H, pada umur 77 tahun, tempatnya di Bagdad.
2. Beberapa Gurunya dan Karangannya.
Diantara guru beliau dalam Ilmu Hadist adalah sufyan Bin Uyainah, Yahya Bin Sa’id Al-Qattan, Asy Syafi’i, Dan Yazid Bin Harun Ibn Wadi. sedangkan muridnya Adalah Bukhori, Muslim, Abu Daud, Asy Syafi’i, Yahya Ibn Mu’in Dan Dua Putranya Abdullah Bin Salih.
Sedangkan karangannya adalah al-illah, az-zuhud, al-tafsir, al-nasikh wa al-mansukh, al-fadail as-sohabah, asy-asy’ribah dll. dintara karyanya yang besar adalah Musnad Imam Ahmad yang memberisikan 30.000 buah hadist dan 10.000 buah hadist secara berulang-ulang
C) Imam Bukhori
1. Biogrfi Imam Bukhori
Beliu adalah ulama` besar dalam Hadits, ia bernama Abu Abdullah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Mughirah Ibnu Bardizbah, ia dilahirkan di bukhoro setelah sholat jum`at 13 syawwal, 194 H . Sewaktu kecil mata beliau buta, pada suatu malam ibu beliau melihat Nabi Ibrahim Al- Khahil Alaihissalam yang mengatakan ‘hai fulanah sesunnguhnya Allah telah mengembalikan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdo`a,’’ ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya .
Ayahnya yang bernama ismail adalah ulama` besar dibidang hadits, riwayat hidupnya ditulis oleh ibnu hibban dalam kitab al- shigah begitu juga putranya, imam bukhori menulis riwayatnya dalam al- tarikh al-kabir .kecerdasannya mulai tampak sejak kecil, daya hafalannya sangat kuat, jiwanya cemerlang,di usia sepuluh tahun beliau beliau sudah banyak menghafal hadits ,imam bukhori telah melakukan pengembaaan ke berbagai negeri, dan hampir seluruh negeri islam ia singgahi, beliau berkata ‘’saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, Basrah empat kali, dan saya bemukim di hijaz selama enam bulan, dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya pergi ke kuffah dan Baghdad untuk menemui ulama` hadits’’, ditengah malam beliau biasa bangun malam dan menyalakan lampu dan menulis setiap yang terlintas di benaknya, kemudian lampunya dimatikan lagi, hal ini beliau kerjakan kurang lebih 20 kali setiap malam. dia wafat pada malam Idul Fitri,tahun 256 H, dalam usia ke 62 tahun kurang 13 hari.
2. Guru Imam Bukhori
Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, Imam Bukhori bertemu dengan guru-guru terkemuka yang dapat dipercaya, beliau mengatakan ‘’aku menulis hadits dari 1080 guru yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan’’diantara para gurunya adalah, Ali Bin Al-Madini, Ahmad Bin Hanbal, Yahya Bin Ma`In, Mhammad Bin Yusuf Al- Firyabi, Maki Bn Ibrahim Al-Balkhi, Muhammad Bin Yusuf Al- Baikandi, Dan Ibnu Rahawaih, jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalm kitab shahihnya sebanyak 289 guru .
3. Karyanya Imam Bukhori
karya beliau diantaranya: Tawarikh al- Tsalasah al- kabir, Adabul Mufrad, al-Tarikhal- Shoghir, al-Tarikh al-Ausat, Kitabul al- wuhdan, , Kitab al- kuna, Kitab al-Dhu`Afa .
D) Imam Muslim
1. Biografi Imam Muslim
Imam Muslim dilahirkan di naizabur pada tahun 204 H atau 819 masehi, ia bernama lengkap Imam Abu Al- Husain Muslim Bin Al Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An Naizaburi, dia belajar sejak kecil dikota kelahiranya pada ulama` ternama pada masa itu, kemudian dia rihlah ke Baghdad pada pertama kalinya untuk mencari ilmu, dia bertemu para imam ahli hadits, dan ia menghafalkannya dipertengahan perjalannannya ke hijaz, irak, syam, mesir dan lai-lain.
Beliau bukanlah orang yang fanatik terhadap pendapatnya sendiri, dia selalu tersenyum sebagai ulama` yang mencari kebenaran, dia tidak merasa terhina dan rendah apabila menerima kebenaran yang datang dari orang lain. imam muslim wafat pada ahad sore pada tanggal 25 rajab, 261 H . Semoga Allah memberikan rahmat dan diterima disisinya.
2. Guru Imam Muslim Dan Karangannya
Beliau berpetualang menjadi aktifitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah urutanyang benar sebuah hadits,misalnya ke hijaz, irak, syam, mesir, dan Negara Negara lainnya. Guru beliau di antaranya yahya bin yahya dan ishak bin rahuwaiyyah, Muhammad bin mahran dan aba ghassan, di hijaz beliau belajar kepada said bin Mansur dan aba mas `ab, dimesir beliau berguru kepada amr bin sawad dan harmalah bin yahya di Irak ia berguru kepada ahmad bn hanbal, abdillah, dan muslamah dan ulama` ahli hadits lainya . sedangkan karyanya, diantaranya: Tabaqat Al- Tabi`In, Kitab Al-Ilal, Awham Al- Muhadditsin, Al- A`Lal, Al- Muhadramin, Al- Musnad Al- Kabir Ala Asmai Al- Rijal, Dan Kitab Jami` Al-Kabir Al-Abwab, Dan Kitab Shohih Muslim .
E) Abu Dawud
1. Biografi Imam Abu Dawud
Imam Abu Daud lahir diSijistan Basrah pada tahun 202H. saat itu diberi nama lengkap Sulaiman Bin Al-Asy’as Bin Ishak Bin Basir Bin Syidad Bin Imron Al-Azdi Al-Sijistani, Abu Daud remaja banyak melakukan rihlah ilmiyah diantaranya hijaz, syam, mesir, irak, jazirah arab, kaurasan, naizabur dan basrah. sebelum belajar hadist secara intensif, beliau banyak dibekali ilmu al-quran serta ilmu-ilmu islam lainya oleh keluarganya, karena keluarganya adalah keluarga yang taat beragama, ketekunan yang luar biasa dalam mengkaji ilmu membuahkan hasail yang sepadan, ai benar-benar menjadi Ahli Hadist yang reputasinya diakui oleh kalangan ulama` hadist dan ulama` lain di basrah.
2. Guru-Gurunya Imam Abu Daud Dan Karangannya.
Diantara ulama` hadist yang pernah menjadi gurunya adalah Ahmad Bin Hambal, Yahya Bin Ma’in, Kutaubah Bin Said Al-Saqofi, Usman Bin Muhammad Bin Abi Saibah, Abdullah Bin Maslamah Bin Al-Qo’nabi, Muzaddat Bin Musarhad Al-Asadi, Muisa Bin Ismail Al-Tamimi dan masih banyak lagi yang lainya.
Diantara karangan beliau adalah: Al-Marosil, Al-Nasah Wa Al-Mansukh, Masail Al-Imam Ahmad, Al-Zuhd, Ijabad As-Solawat Al-‘AjjuRi, As’ilah Ahmad Bin Hambal, Tasmiyah Al-Ahwan, Qaul Qadr, Al-Ba’as Wa Al-Nusur, Al-Masail Allati Halafa ‘Alaihi Al-Imam Ahmad, Dalail Al-Nubuwwat, Sunan Abu Daud. kitab ini merupakan karyanya yang paling popular. Beliau wafat pada tahun 275h tepatnya 16 syawal dan beliau dimamkan disamping makam sufyan al-tsauri.
F) Imam Tirmidzi.
1. Biografi Imam Tirmidzi
Imam Tirmidzi adalah seorang ahli hadist yang nama aslinya adalah Abu Isa Muhammad Bin Musa Bin Addahhak Al-Sulami Al-Tirmidzi bulan Dzulhijjah 200 H, beliau salah seorang ulma` besar ahli hadist yang dilahirkan di kota Tirmiz, sejak kecil ia belajar ilmu hadist dan hadist. dia pergi ke pusat peradaban islam khususnya di bidang pendidikan seperti Irak, Kota Hijaz, Khurasan. Dalam perjalanannya beliau menuntut ilmu seta mengumpulkan hadist setalajh itu ia hidup sebagai tuna nitra, dan beberapa tahun kemudian beliau wafat tepatnya 13 rajab thn 279h dalam usia 70 tahun.
2. Guru Imam Tirmidzi Dan Karangannya
Diantara guru Imam Tirmidzi adaah Imam Buhori, Muslim, Abu Daud, Qutaibah Bin Said, Ishak Bin Musa, Mahmud Bin Ghillan, Said Bin Abdurrahman, Muhammad Bin Basar, Ali Bin Hajar, Ahmad Bin Muni’, Muhammad Bin Al-Musanna. Diantara karyanya adalah: Al-Jami’(Kitab Yang Terkenal Dengan Sebutan Sunan Al-Tirmidzi, Dalam Kitab Ini Ia Mengklasifikasikan Kualitas Hadits Menjadi Shahih, Hasan, Dan Dho`If), Kitab Illat,Kitab Tarikh, Syamail Al-Nabawiyah, Asma` Al-Shohabah, Kitab Zuhud, Dan Kitab Al-Asma Wa Al-Kuna.
G) Imam Al-Nasa’i
1. Biografi Imam Al-Nasa’i
Nama lengkap dari Imam Al-Nasa’i Adalah Abu Abdurrahman Ahmad Bin Ali Bin Syuib Bin Ali Bin Sinan Bin Bahr Al-Khurosani Al-Qodi. Beliau lahir di daerah nasa’ pada tahun 215 H. Beliau tumbuh dan berkembang disana dan berhasil menghafal al-quran di madrasah yang ada di desa kelahirannya, serta banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama` di daerahnya.waktu remaja beliau mulai gemar melakakukan lawatan ilmiyah ke berbagai penjuru dunia untuk menuntut ilmu keagamaan terutama dalam ilmu hadist, sebelum usianya genap 15 tahun bekiau sudah mengenbara ke berbagai wilyah islam seperti Mesir, Hijaz, Irak, Syam, Khurasan.
2. Guru Dan Murid Imam Nasa’i, Dan Karangannya
Diantara guru beliau yang tercatat dalam sejarah antara lain Kutaibah Bin Said, Ishak Bin Ibrahim, Ishak Bin Rahawaih, Al-Harits Bin Miskin, Ali Bin Kasyram, Imam Abu Daud Dan Imam Abu Isa Al-Tirmidzi. Di antara karangannya adalah:
Al-Sunan Al-Kubra, Al-Sunan Al-Sughra, Al-Khasais, Fadoilu Al-Sahabah Dan Al-Manasik.
Beliau wafat pada hari senin 13 safar tuhun 303H, tempatnya di Negara palestina dan akhirnya beliau di makamkan di Bait Al-Maqdis.
H) Ibnu Majah
1.Biografi Imam Ibnu Ibnu Majah
Nama Imam Ibnu Majah adalah al hafidz Abu Abdullah Muhammad Bin Yazid Al- Qazwini, Ia Dilahirkan Pada Tahun 209 H Di Qazwin, beliau belajar ilmu di berbagai kota, diantaranya Irak, Hijaz, Mesir, Syam, dan lain-lain dan ia banyak bertemu orang tua yang menjadi gurunya, misalnya Muhammad Bin Abdillah Bin Namir.
Dia tumbuh sebagai orang yang mencintai ilmu pengetahuan terutama hadits dan periwayatannya, dia juga pernah ke basrah untuk mendapatkan hadits dari ulama` setempat, ia juga belajar kepada murid malik dan al- lais, dan akhirnya ibnu majah menjadi imam hadits terkemuka. dan ia wafat pada bulan ramadhan tahun 273 H.
2. Guru dan Muridnya, beserta Karangannya
Ibnu Majah belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar Bin Abi Syaiban, Muhammad Bin Abdullah Bin Namir, Hisyam Bin Ammar, Muhammad Bin Rumh, Ahmad Bin Al-Azhar, Basyir Bin Adam, dan lainnya. Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Muhammad Bin Isa Al-Abhari, Abu Al-Hasan Al-Qattan, Sulaiman Bin Yazid Al- Qazwani, Ibnu Sibawaih, Ishaq Bin Muhammad dan ulama` lainnya. Sedangkan karangannya antara lain tafsir, Al-Hadits, Tarikh, dan paling masyhhur adalah Kitab Sunan.
I) Imam al- Darimi
1. Biografi Imam al- Darimi
Beliu Adalah al-Hafizh Abdullah bin abdu al- rahman bin fadhil bin bahram bin abdu al- samad, dan nasabnya beliau pada darim bin malik dari bani tamim al- samarqandi , ia dilahirkan pada tahun 181 H, atau bertepatan pada tahun 797 m. dan beliau wafat pada hari tarwiyyah 255 H, setelah solat ashar dan di kuburkan hari jum`at hari arafah pada umur 75 tahun.
2.Guru-Guru dan Murid serta Karyanya beliau.
Termasuk gurunya adalah : Yazid Bin harun, ya`li bin ubaid, ja`far bin aun, usman bin umar bin faris. Dan diantara yang menjadi muridnya adalah Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Abdu bin humaid . Adapun karya beliau adalah sunan aal-darimi, tsulutsyiat, al- musnad. menurut hitungan Dr. Mustafa Dip Al- Bugha terdapat sebanyak 3375 hadits dari sunan al- darimi termasuk hadits yang termaktub dalam muqaddimah.
BAB V
HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A. Dialektika Perdebatan Hadits Dan Kehujjahannya.
Di dalam al-Quran, ada beberapa kandungannya yang bersifat ijmaly (global) dan umum, namun adapula kandungan al-Quran yang bersifat tafshily (terperinci). Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman hidup manusia. Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan otoritas untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran itu. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat teknis ritu, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan, tetapi juga langsung amalan praktis.
Para ulama telah sepakat bahwa Hadits atau al-Sunnah al-Nabawiyah wajib ditaati sebagaimana posisi al-Quran di dalam pengambilan suatu hukum syariat (itsbat al-Hukum), al-Sunnah adalah sumber kedua dalam Syariat Islam , dalil hal tersebut banyak sekali terdapat dalam al-Quran, ijma’, dan Filsafat (pemikiran para ulama’) .
Allah berfirman dalam Surat an-Nahl ayat 44;
••
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Ayat tersebut merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan al Quran itu. Bahkan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dan surat an-Nisa’ ayat 80, Allah memberi penegasan atas kewajiban ummat Islam untuk mentaati dan mengikuti segala apa yang dikemukakan oleh Rasulullah.
• •
Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr 7).
•
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’ 80).
Kebanyakan ulama Hadits menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, Hadits itu terbagi menjadi 2 yaitu; Hadits mutawatir dan Hadits ahad. Namun menurut versi yang dikemukakan kalangan Hanafiyah, Hadits itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad .
Semua ulama telah sepakat akan kehujjahan Hadits Mutawatir, namun mereka berselisih pendapat dalam hal kehujjahan Hadits ahad, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Mayoritas umat Islam telah sepakat untuk menerima Hadits sebagai landasan (dasar) hukum Islam, namun terdapat pula golongan minoritas yang menolak Hadits sebagai sumber syari’at setelah al-Quran. Mereka berasumsi bahwa cukuplah al-Quran saja sebagai dasar tasyri’ .
Mereka memperkuat argument mereka dengan firman Allah dalam Surat An-Nahl 89 yang berbunyi;
•
Artinya : Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Menurut mereka, ayat tersebut sangatlah jelas menunjukkan bahwa al-Quran itu telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan penjelasan dengan sangatlah gamblang dan jelas, hingga tidak memerlukan lagi yang lain, seperti Hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di dalam al-Quran masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
Argument selanjutnya yaitu andaikata Hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasulullah Saw. memerintahkan untuk menulisnya sehingga para Sahabat dan Tabi’in segera mengumpulkannya dalam dewan Hadits, demi untuk memelihara agar tidak hilang dan dilupakan orang. Hal demikian itu supaya diterima kaum muslimin secara qath’iy. Sebab dalil yang dzonny tidak sah dijadikan landasan dalam berhujjah.
Namun pendapat tersebut dianggap kurang kuat, dan kemudian dimentahkan oleh pendapat para Jumhur Ulama’;
1. Al-Quran memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah yang masih global (umum) dan hanya sebagian nashnya yang telah diterangkan dengan jelas, dan sebagian yang lain diterangkan oleh Rasulullah Saw. Karena memang beliau diutus oleh Allah untuk menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum yang ada di dalam al-Quran. Oleh karena itu, maka penjelasan Rasulullah Saw tentang hukum-hukum itu sama urgennya dan sama halnya dengan penjelasan al-Quran itu sendiri.
2. Tidak adanya perintah menulis Hadits dan melarang menulisnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Hadits Shahih, tidak menunjukkan ketiadaan kehujjahan Hadits.
Bahkan kemaslahatan yang lebih sesuai di saat itu adalah untuk menulis al-Quran dan mendewankannya, untuk menjaga agar jangan sampai hilang dan bercampur dengan sesuatu. Kehujjahan itu tidak terletak hanya pada tertulisnya Hadits saja, tetapi juga terdapat pada ke-mutawatir-annya, pengambilannya dari orang adil lagi terpercaya dan diberitakan oleh orang-orang yang kuat hafalannya. Pemindahan dengan cara demikian bukan berarti kurang sah daripada pemindahan dari tulisan.
B. Fungsi Hadits Terhadap Al Quran.
Hadits ataupun kata lainnya as-Sunnah dan al-Quran mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Keduanya merupakan sumber hukum Islam, namun posisi as-Sunah adalah yang kedua setelah al-Quran. Hadits sebagai penafsir al-Quran, penyingkap rahasia-rahasia al-Quran, penjelas atas maksud-maksud yang dikehendaki Allah dari perintah-perintah dan hukum-hukum-Nya yang ada di dalam al-Quran.
Dari segi dilalah al-Ahkam, ada 4 fungsi Hadits terhadap al-Quran;
1. Hadits (sunnah) sebagai penjelas apa-apa yang dimaksudkan al Quran, adapun penjelasan itu ada 4 macam yaitu:
a) Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam al Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh Hadits yang berbunyi;
صلّوا كما رأيتمونى أصلّى
Artinya:
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat aku shalat.”
b) Mentaqyid yang mutlaq, contohnya adalah Hadits-Hadits yang menjelaskan pengertian dari kata اليد dalam firman Allah surat al Maaidah: 38 yaitu:
والسارق والسارقة فا قطعوا أيديهما
Ayat tersebut menjelaskan maksud dari kata al yad adalah tangan kanan, dan pemotongannya dari pergelangan tangan, bukan dari siku.
c) Mengkhususkan (mentakhsis) yang umum, contohnya seperti Hadits yang menerangkan maksud dari kata الظلم dalam surat al An’am 82 yaitu:
الذين امنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم
Yang dimaksud dari kata al-Dzulmu adalah syirik, karena sebagian Sahabat memahami secara umumnya sehingga mereka berkata “siapa dari kita yang tidak dzolim”, kemudian Nabi SAW bersabda:
ليس ذلك إنما هو الشرك (رواه أحمد والبخارى)
d) Penjelas yang samar, contohnya adalah Hadits yang menjelaskan maksud dari kata الخيطين dalam surat al Baqoroh 187 yaitu:
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود من الفجر
Sebagian Sahabat memahami bahwa itu adalah tali yang putih dan hitam. Maka Nabi bersabda:
هما بياض النهار وسواد الليل
2. Hadits (as-Sunnah) sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh al Quran, dalam hal ini kedua-duanya menjadi sumber hukum dan berfungsi sebagai penguat (al-ta’kid).
Contoh hadits yang berbunyi;
إنّ الله يملي للظالم فإذا أخذه لم يفلته (رواه الشيخان عن ابن موسى الاشعرى)
Menguatkan Ayat al-Quran yang berbunyi;
وكذالك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة
Demikian juga Hadits-Hadits yang menunjukkan akan kewajiban shalat, zakat, haji, berbuat baik, ihsan, memaafkan dll.
3. Hadits (as-Sunnah) sebagai petunjuk atas suatu hukum yang tidak ada di dalam al Quran. Misalnya hadits yang melarang mempoligami antara seorang wanita dengan bibinya baik dari ibu atau ayah.
4. Hadits (as-Sunnah) sebagai penghapus (nasikh) hukum yang ditetapkan al Quran, (Hal ini menurut pendapat yang membolehkan penasakhan al Quran dengan as-Sunah) .
Contoh :
لاوصية لوارث (رواه الترميذي)
Hadits di atas menasikh hukum wasiat bagi orang tua, kerabat (ahli waris) yang ditetapkan oleh al Quran surat al Baqoroh 180 yaitu:
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت ان ترك خيراً الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقين
BAB VI
SEJARAH HADIS PRAKODIFIKASI
A. Hadist pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadits.
Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:
1. Cara Rasulullah menyampaikan hadist
Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rosulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz)
2. Keadaan para sahabat dalam meneriama dan menguasai hadist
Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.
Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.
3. Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW
Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor ;
a. para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang.
b. karena adanya larangan menulis hadis nabi.
Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda:
لا تكتبوا عني شيٌا الا القران ومن كتب شيُا فليمحه
Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim )
Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.
4. Aktifitas menulis hadist
Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rosulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rosulullah.
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:
لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.
” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry).
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda
اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق
” tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
a. Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
b. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
c. Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.
B. Hadist Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in
1. Hadist pada masa sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah periode setelah wafatnya Rasulullah Saw., yang biasa kita kenal dengan masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H. sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.
Sahabat dan Periwayatan Hadist
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya:
عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّه
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku ” (H.R Malik).
Perlu diketahui oleh kita, walaupun ini bukan pembahasan dalam makalah ini, tapi untuk sekedar informasi untuk teman-teman bahwa hadist ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul saw
a. Abu Bakar
Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad dari siti ‘Aisyah ra., ia berkata:” Ayahku telah mengumpulkan hadist dari Nabi Saw. sejumlah lima ratus hadist, setiap malam ia mengulang-ulang beberapa kali…, setelah itu ia membakarnya.
b. Umar bin khatab
Umar bin Khatab ra. Pernah ingin mengumpulkan dan menulis hadist, beliau bermusyawarah dengan para sahabat Rasul lainya dan mereka menyetujui ide tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Namun, rupanya Allah belum menghendaki. Kemudian ia berkata:” Aku ingin menulis sunnah, setelah itu aku ingat kaum sebelum kamu sekalian menulis kitab, mereka memfokuskan pada tulisan itu, kemudian ia meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur kkitab Allah (al-Quran) dengan yang lain selamanaya.
Masih banyak sahabat-sahabat lain yang bersikap penuh kehati-hatian, diantaranya Ustman bin ‘Affan, Ali bin Abu Thalib, abu Musa dll, penulis tidak akan menjelaskan itu semua dalam makalah yang singat ini.
2. Hadits pada masa tabi’in
Tabi’in telah belajar kepada para sahabat, sehingga ia banyak mengetahui hadist Rasulullah dari para guru-guru mereka (sahabat), disamping itu mereka mengetahui para sahabat tentang keengganan menulis hadist dan sahabat memperbolehkannya, sehingga karakter tersebut diwariskan kepada para tabi’in besar, sehingga masa ini belum ada hadist yang terkodifikasikan.
BAB VII
KODIFIKASI HADIS
A. Keadaan Al-Hadits Pada Abad II
Setelah agama islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya Al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukandalam dewan hadits.Urgensiaini menggerakkan hati khalifah ‘Umar bin 'Abdul Aziz --- seorang khalifah bani ‘Umaiyah yang menjabat khaliafah antara tahun 99 sampai tahun 101 hijriah --- untuk manulis dan membukukan (mendewankan) Al-Hadits. Dan pada masa ini dikenal dengan ashru al-Tadwin ( masa pembukuan ).
Menurut Fatchur Rahman motif utama khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berinisiatif untuk mendewankan Al-Hadits adalah :
a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Al-Hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau khawatir hilang dan lenyapnya Al-Hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum didewankannya dalam dewan hadits.
b. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Al-Hadits dari hadits-hadits maudlu’ yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan idiologi golongannya dan mempertahankan mazhabnya, yang sejak tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib r.a.
c. Alasan tidak terdewannya Al-Hadits secara resmi di zaman Rasulullah saw. Dan Khulafaur Rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-Quran, telah hilang, disebabkan Al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mush-haf dan telah merata di seluruh pelosok. Ia telah di hafal di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu orang.
d. Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara oarang-orang muslim, yang kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama ahli hadits, maka saat itu juga konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.
Untuk menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya Al-Hadits dan memelihara Al-Hadits dari bercampuranya dengan hadits-hadits palsu, ‘Umar bin Abdul Aziz mengintruksikan pada seluruh pejabat dan ‘ulama yang memegang kekuasaan di wilayah keuasaannya untuk mengumpulkan Al-Hadits. Intruksi itu berbunyi:
أنظروا إلى حد يث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاجمعوا
“Telitilah hadits Rasulullah saw kemudian kumpulkan !”
Beliau menginstruksikan kepada walikota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (117 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’iy wanita, ‘Amrah binti abdu al-Rahman.
أكتب إلي بما ثبت عند ك من حد يث رسول الله صلى الله عليه وسلم بحد يث عمرة فإني خشيت دروس العلم وذهابه.
“Tulislah hadits untukku, hadits Rasulullah saw. Yang ada padamu dan hadits ‘Amrah (binti Abdul Rahman). Sebab aku takut hilangnya dan punahnya ilmu.” (riwayat Ad-Darimi)
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya sendiri maupun pada ‘Amrah, tabi’i wanita yang banyak meriwayatkan hadist Aisyah r.a.Juga beliau mengintruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri seorang Imam dan Ulama besar di Hijaz dan Syam(124 H). Beliau mengumpulkan hadist-hadist dan kemudian ditulisnya dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masin-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. Itulah sebabnya para ahli tarikh dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihablah orang yang mula-mula mendewankan hadist secara resmi atas perintah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pendewanan hadist yang ke dua yang disponsori oleh khalifah-khalifah bani Abbasiyah. Bangunlah ulam-ulama hadist dalam periode ini:
1. Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij(wafat 150 H) sebagai pendewan hadist di Mekah,
2. Maumar bin Rasyid (wafat 153 H) sebagai pendewan di Yaman,
3. Abu Amar Abdul Rahman Al-Auza’i (wafat 156 H) sebagai pendewan hadist di Syam,
4. Muhammad bin Ishaq (wafat 151 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,
5. Imam Malik bin Anas (179 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,
6. Sa’id bin Abi Urubah (wafat tahun 151) sebagai pendewan hadist di Bashrah,
7. Rabi’ bin Subaih (wafat tahun 160) sebagai pendewan hadist di Bashrah,
8. Hammad bin Abi Salamah (wafat 176 H) sebagai pendewan hadist di Bashrah.
9. Abu Abdullah Sufyan As-Tsauri (wafat 161 H) sebagai pendewan hadist di Kufah,
10. Abdullah bin Mubarak (wafat tahun 181 H) sebagai pendewan di Khurasãn,
11. Husyaim bin Basyir (wafat tahun 188 H) sebagai pendewan di Wasit,
12. Jarir bin Abdul Hamid (wafat tahun 188 H)sebagai pendewan di Raih,
13. Al-Lais bin Sa’ad (wafat tahun 175 H) sebagai pendewan di Mesir.
B. Pereode Penyaringan Al-hadist (Abad III)
Dipermulaan abad ke III para ahli hadist berusaha menyisihkan Al-Hadist dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Mereaka berusaha membukukan hadist Rasulullah semata-mata. Untuk tujuan yang mulia ini mereka mulai menyusun kitab-kitab musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Bangunlah ulama-ulama ahli hadist seperti: Musa Al-Abbasi, Musyaddad Al-Basri, As’ad bin Musa dan Nuaim bin Muhammad Al-Ghazai menyusun kitab-kitab musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hambal. Kendatipun kitab-kitab hadist permulaan abad ke III ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa namun masih mempunyai kelemahan yakni tidak atau belum menyisihkan hadist-hadist dhaif, termasuk juga hadits maudlu’ yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang bermaksuk hendak menodai agama islam.
Karena adanya beberapa kelemahan kitab-kitab hadits tersebut, bergeraklah ulama-ulama hadits pertengahan abad ketiga untuk menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits itu apakah shahih atau dha’if. Para rawi hadits tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki kejujurannya, kehafalannya.
Pada pertengahan abad ini, mulai muncul kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih, pada perkembangannya dikenal dengan “kutubu al-sittah” yaitu:
1. Shahih al-Bukhari atau jami’u al-shahih. Karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.)
2. Shahih al-Muslim, karya Al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261 H.)
3. Sunan Abu Dawud , karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq al-Sajastani (202-275 H.)
4. Sunan al-Tirmidzi, karangan Abu Isa Muhammad bin ISA bin surah al-Tirmidzi (200-279 H.)
5. Sunan al-Nasa’i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa’iy (215-302 H.)
6. Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah (207-273 H.)
C. Pereode Penghafalan Al-Hadits (Abad IV)
Kalau pada abad pertama, kedua, dan ketiga, al-hadits berturut-turut mengalami periwayatan, penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in dan al-hadits yang telah didewankan oleh ulama mutaqaddimin ( ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama muta-akhkhirin (ulama abad keempat dan seterusnya).
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah terdewan itu, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal sampai beratus-ratus ribu hadits. Sejak pereode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar keahlian al-hakim, al-hafidh .
Abad keempat ini merupakan abad pemisah antara ulama mutaqaddimin, yang dalam menyusun hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau para tabi’in penghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama muta-akhkhirin yang dalam usahanya dalam menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Tetapi dalam abad IV ini masih terdapat ulama-ulam hadits yang mempunyai kesanggupan dan kemampuan untuk menghimpun hadits atas usaha sendiri, tidak mengutip dari kitab-kitab hadits yang sudah ada sebelumnya, miskipun jumlahnya tidak banyak, di antaranya adalah:
1. Al-Hakim Beliau banyak karangannya, antara lain: Al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain.
2. Ad-Daruqutni (wafat tahun 385 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-Ilzâmât.
3. Ibnu Hibban (wafat tahun 354 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-Musnad al-Shahih atau al-Anwa’ wa al-Taqâsîm.
D. Pereode Mengklasifiksikan Dan Mensistematisasikan Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad v dan seterusnya)
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah di tujukan untuk mengklasifikasikan Al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarah-kan (menguraikan dengan luas) dan meng-ikhtishar-kan (meringkas) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Juga pada abad V ini dikenal dengan Ashru al-Jami’ wa al-Tartib ( masa menghimpun dan menertibkan susunanya)
E. Metode Pembukuan Hadits
Metode pembukuan hadits pada awal mulanya masih bercampur antara hadits Nabi dengan perkataan para sahabat dan fatwa tabi’in. Dan di antra kitab-kitab yang muncul pada masa itu adalah:
1. Al-Muwaththa’yang ditulis oleh Imam Malik,
2. Al-Mushannafoleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani,
3. As-Sunnahditulis oleh Abd bin Mansur,
4. Al-Mushannafdihimpun oleh Abu Bakar bin Syaibah, dan
5. Al-Musnad Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab hadits di atas ini tidak sampai kepada kita kecuali Al-Muwaththa’yang ditulis oleh Imam Malik dan Al-Musnad Asy-Syafi’iyang ditulis oleh Imam Asy-Syafi’i.
Dalam beberapa masa penulisan dan pembukuan hadits, ada beberapa macam kitab hadits yang dikemukakan oleh ulama hadits.
1. Al-ajza’/ al-juz, adalah kitab hadits yang menghimpun hadits pada satu topik masalah saja. Misalnya kitab al-faraid, oleh Zaid bin Tsabit (11-12 H/611/655 M). Metode ini termasuk paling awal digunakan dalam mengelompokkan hadits.
2. Al-atraf adalah kitab yang menghimpun hadits hanya pada awal matannya saja, tanpa menyebutkan matan hadits seutuhnya. Misalnya kitab Atraf As-Sunnah, oleh Ibnu Asakir al-Dimasyqi (w. 571 H)
3. Al-mustadrak, adalah kitab hadits yang menghimpun tertentu yang memenuhi syarat hadits yang ditulis oleh imam terdahulu, tetapi belum dicantumkan dalam kitabnya, misalnya kitab al-mustadrak ‘ala as-shahihain, oleh Al-Hakim al-Naisaburi.
4. Al-mustakhraj, adalah kitab yang menghimpun hadits yang diambil dari salah satu kitab hadits dengan menggunkan sanad yang berbeda dengan sanad hadits yang dirujuknya.Misalnya kitab al-mustakhraj, oleh muhammad bin ya’qub as-saibani an-naisaburi
5. Al-jami’ adalah kitab yang menghimpun 8 pokok masalah (akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi, akhlaq, serta perbuatan baik dan tercela). Misalnya: Al-Jami’ al-Musnad as-Sahih al-Mukhtashar min Umurirrosulillah SAW Waayyamihi.
6. Al-musnad adalah hadits yang penyusunannya didasarkan atas urutan nama sahabat yang meriwaytkan hadits. Misalnya Al-Musnad Ibnu Hambal
7. Al-mu’jam adalah kitab hadits yang merupakan kamus besar yang di dalamnya memuat hadits berdasrkan nama sahabat, quru atau qabilah, atau menurut tempat hadits didapatkan yang diurutkan secara al-fabetis. Misalnya kitab Al-Mu;jam al-Kabir, Al-Mu’jam al-Wasit, Al-Mu’jam al-Shaghiroleh Imam at-Tabrani
8. As-sunan adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih yang di dalamnya bercampur hadits-hadits shahih, hasan, dan do’if, dengan memberi penjelasan pada hadits itu. Misalnya kitab Sunan at-Tirmdzi, Sunan Abi Daud, Sunan Nas’i dan lain-lain.
Selain beberapa metode pembukuan di atas, dengan bahasa yang berbeda para muhadditsin berusaha menghimpun dan menyusun kitab-kitab hadits menggunakan beberapa bentuk seperti: takhrij, tashnif dan ikhtishar.
1. Takhrij
Istilah takhrij yang menurut lazimnya dalam penggunaan fi’il madlinya memakai kata akhraja, mempunyai tiga pengertian yakni:
a. suatu usaha mencari sanad hadits yang terdapat dalam sebuah kitab hadits karya orang lain menyimpang dari sanad hadits yang terdapat dalam kitab hadits karya orang lain tersebut. Umpamanya seseorang mengambil sebuah hadits dari kitab shahih bukhari, kemudian ia berusaha mencari sanad hadits tersebut yang tidak sama dengan sanad yang telah ditetapkan oleh bukhari dalam shahihnya. Namun sanad yang berbeda itu akhirnya dapat bertemu dengan sanad bukhari yang akhir. Usaha mukharrij (orang yang mentakhrijkan) tersebut akhirnya dihimpun dalam sebuah kitab, dan kitaab yangdemikian inilah yang disebut kitab mustakhraj. Misalnya:
1) Mustakhraj Abu Nu’aim,karya Abu Nu’aim, adalah salah satu kitab takhrij hadits shahih bukhari.
2) Takhrij Ahmad bin Hamdan, adalah salah satu kitab mustakhraj shahih muslim.
b. Suatu penjelasan dari penyusun hadits bahwa hadits yang dinukilnya terdapat dalam kitab hadits yang telah disebut nama penyusunnya, misalnya kalau penyusun hadits mengakhiri pada nukilan haditsnya dengan istilah akhrajahu al-bukhari, artinya ialah bahwa hadits yang dinukil oleh penyusun terdapat di dalam kitab shahih bukhari.
c. Suatu usaha menyusun hadits untuk mencari derajat, sanad dan rawi hadits yang diterangkan oleh pengarang suatu kitab. Misalnya:
1) Takhrij Ahadisi Al-Kasysyaf, karya Jamaluddin al-Hanafi, adalah suatu kitab yang mengusahakan dan menerangkan derajat hadits yang terdapat dalam kitab tafsir Al-Kasysyaf, yang oleh pengarang tafsir tersebut tidak dijelaskan tentang shahih, hasan atau lain sebagainya.
2) Al-Mughni ‘An Hamli Al-Asfar,karya Abdu al-Rahim al-Iraqi, adalah kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Ghazali.
2. Tashnif
Tashnif, ialah usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadits (kitab hadits) dengan membubuhi keterangan mengenai kalimat yang sulit-sulit dan memberikan interpretasi sekadarnya. Kalau dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-ayat al-Quran atau dengan ilmu-ilmu yang lain, maka usaha semacam ini disebut men-syarah-kan, misalnya:
a. Shahihu Al-Bukhari Bi Syarhi Al-Kirmani, oleh Muhammad ibn Yusuf al-Kirmani, merupakan salah satu syarah kitab bukhari.
b. Al-Ikmal, oleh Al-Qadli ‘Iyadl, adalah salah satu di antara sekian banyak kitab syarah shahih muslim.
3. Ikhtishar
Ikhtishar, adalah suatu usaha untuk meringkaskan kitab-kitab hadits. Yang diperingkas, biasanya, ialah sanadnya dan hadits-hadits yang telah berulang-ulang disebutkan oleh pengarangnya semula, tidak perlu ditulis kembali. Di antara mukhtashar-mukhtshar shahih bukhari ialah kitab:
a. Mukhtashar Al-Bukharikarya Abu al-Abbas al-Qurthubi, dan
b. Mukhtashar Abu Jamrah, karya Ibnu Abi Jamrah.
Dan di antara mukhtashar shahih muslim ialah:
a. Mukhtashar Al-Balisy,karya Najmuddin al-Balisy, dan
b. Mukhtashar Al-Taukhi, karya Najmuddin al-Taukhi.
Perbedaan antara kitab mustakhraj dengan kitab mukhtashar ialah, bahwa kitab mustakhraj itu tidak perlu adanya penyesuaian lafadh dengan kitab yang ditakhrijkan, bahkan kadang-kadang ditemui adanya perbedaan lafadh dan kadang-kadang juga terdapat perubahan yang sangat menonjol sehingga mengakibatkan perbedaan arti. Sedangkan di dalam kitab mukhtashar tidak boleh ada tambahan (lafadh dari penyusun sendiri) yang sebenarnya tidak ada dalam kitab yang diikhtisharkan.
Kebanyakan para muhaditsin dalm menyusun kitab haditsnya memakai dua sistem:
Pertama: sistem bab—demi—bab
Di dalam sistem ini penyusun berusaha menghimpun hadits-hadits yang sejenis isinya dalam satu bab, kemudian hadits yang berisikan masalah-masalah sejenis yang lain, dikumpulkan dalam bab yang lain pula.
Adalah lebih praktis lagi kalau penyusun memberikan ciri-ciri pada susunannya hadits tersebut dalam satu lapangan tertentu dari cabang ilmu agama, seperti kitab:
a. Bulughu al-Maram, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani
b. Umdatu al-Ahkam, karya Abdu al-Ghani al-Maqdisi, adalah dua buah kitab yang mengandung hukum-hukum.
c. Riyadlu al-Shalihin, karya Imam al-Nawawi, adalah kumpulan kitab hadits targhib dan tarhib (anjuran berbuat baik dan pencelaan berbuat noda). Kendatipun dalam kitab ini juga dicantumkan juga hadits-hadits mengenai hukum, namun dalam pembahasannya bertendensi targhib dan tarhib.
d. Tuhfatu al-Dzakirin, karya Al-Syaukani adalah merupakan hadits doa yang cukup luas isinya.
Kedua: sistem musnad
Di dalam sistem ini penyusun mengatur secara sistematis (tertib) mulai dari nama-nama sahabata yang lebih utama beserta seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta haditsnya, dan akhirnya deretan nama-nama sahabat yang lebih rendah derajatanya beserta hadits-haditsnya. Misalnya dalam kitab tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a. dengan menyebut seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan nama ‘Umar r.a. dengan mencantumkan hadits yang beliau riwayatkan, dan seterusnya nama-nama sahabat yang lebih rendah daripada Abu Bakar dan ‘Umar r.a. dengan seluruh haditsnya.
Dapat pula dimasukkan dalam sistem ini ialah jika penyusun mendahulukan hadits-hadits dari qabilah yang lebih tinggi martabatnya kemudian hadits-hadits dari qabilah-qabilah yang lebih rendah derajatnya daripada yang pertama. Umpamanyan hadits-hadits dari qabilah Bani Hasyim dicantumkan lebih dahulu, kemudian disusul dengan hadits-hadits dari qabilah yang bernasab dekat kepada nabi muhammad saw. Dan akhirnya hadits-hadits dari qabilah yang bernasab jauh kepada beliau.
BAB IX
PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS SANAD
A. Hadits Shahih
1. Definisi Hadits Shahih
Kata Shahih (الصحيخ) dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim (السقيم) = orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit).
a. Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.
b. rawi-rawinya adil adalah perangai yang senantiasa menunjukkan pribadi yang taqwa dan muru`ah. yang dimaksud adil di sini ialah adil dalam meriwayatkan hadist, yaitu orang yang mukallaf, yang selamat dari fasik dan sifat-sifat yang rendah. oleh karena itu, orang kafir, fasiq, gila, dan orang yang tidak pernah dikenal, tidak masuk orang yang adil. sedangkan, orang perempuan, budak dan anak yang sudah mumazziz bias digolongkan orang yang adil apabila memenuhi kateria tersebut. keadilan seorang perawi menurut ibnu’s-sam’any, harus memnuhi empat syarat:
1) selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
2) menjahui dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3) tidak malakukan perkara-perkara yang berbau mubah yang dapat menggugurkan imam kepada kadar dan mengkibatkan penyesalan.
4) tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan syara’.
Pengarang al-irsyad menta’rifkan perkataan “adil” itu adalah berpegang teguh kepada pedoman adab-adab syara’. baik yerhadap perintah yang harus dilakukan, maupun larangan yang harus ditinggalkan,
c. rawi-Rawinya sempurna kedhabitannya
Yang dimaksud dengan dhabit ialah orang yang kuat ingatannya, artinya bahwa ingatannya lebih banyak dari pada lupanya. dan kebenaran lebih banyak dari pada kasalahannya. kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatanya itu sanggup dibuktikan kapan dan dimana saja.maka orang tersebut disebut orang yang dlabithu’ sh-shadri.
d. Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya)
e. Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
2. Syarat-Syaratnya
Melalui definisi di atas dapat diketahui bahwa syarat-syarat keshahihan yang wajib terpenuhi sehingga ia menjadi hadits yang Shahîh ada lima:
a. Sanadnya bersambung
b. Para periwayatnya ‘Adil
c. Para periwayatnya Dlâbith
d. Tidak terdapat ‘illat
e. Tidak terdapat Syudzûdz
3. Pembagian Hadis Shahih.
Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang sempurna.
a. Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
4. Contoh hadis shohih
Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, untuk itu ada baiknya kami berikan sebuah contoh.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib)
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
a. Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh an(dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
b. Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imâm Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
c. Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.
d. Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
B. Hadits Hasan
1. Definisi
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
a. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan: “Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.”
b. Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
2. Klasifikasi Hadits Hasan
a. Hasan Lidzatih
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di antara contoh hadits ini adalah:
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
......”Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat....
b. Hadits Hasan lighairih
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز
"Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya.
Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid. Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).
3. Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.
BAB X
AL-SYAHID DAN AL-TABI’
A. Al-Syahid
Secara etimologi, kata syahid merupakan bentuk isim fa’il yang diderivasi dari fi’il madhi syahida. Sedangkan arti dari syahid dalam kamus berbahasa arab adalah orang yang menginformasikan apa yang disaksikannya (saksi), atau juga bisa mempunyai arti lisan. Dalam kamus Lisan al-Arab dijelaskan bahwa Syahid juga mempunyai arti orang alim yang menjelaskan apa yang diketahuinya, disamping itu, juga mempunyai arti orang yang hadir.
Sedangkan pengertian secara terminologi, banyak ulama yang mendefinisikannya, di antaranya:
المشارك في اللفظ أو المعنى مع عدم الاتحاد في الصحابي
الحديث الذي يشارك فيه رواته رواة الحديث الفرد لفظا ومعنى أو معنى فقط مع الاختلاف في الصحابي
ما وافق راو راويه عن صحابي آخر بمتن يشبهه في اللفظ والمعنى جميعا او في المعنى فقط
Dari definisi-definisi yang diberikan oleh para ulama hadis di atas, dapat disimpulkan, bahwa ternyata, definisi tersebut mempunyai arti yang sama, hanya berbeda dalam hal redaksinya saja. Jadi, definisi hadis al-Syahid adalah hadis yang matannya ada kesamaan secara lafal atau makna dengan hadis lain (hadis gharib) dan sanad sahabat dari kedua hadis tersebut berbeda.
Dari pengertian atau definisi Hadis Syahid di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa Hadis al-Syahid ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Al-Syahid al-Lafdzi
Hadis al-Syahid al-Lafdzi adalah hadis yang menguatkan matan hadis lain secara lafal , contohnya:
أخبرنا مالك عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال " الشهر تسع وعشرون لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين (رواه الشافعي في الأم)
Hadis ini, menurut sebagian ulama hadis dikelompokkan ke dalam hadis gharib, karena Malikiyah sendiri meriwayatkan hadis tersebut dengan menggunakan lafal "فإن غم عليكم فاقدروا له ". Namun setelah melakukan penelitian, ternyata hadis tersebut banyak ditemukan pula dengan menggunakan sanad lain seperti hadis berikut:
أخبرنا محمد بن عبد الله بن يزيد قال حدثنا سفيان عن عمرو بن دينار عن محمد بن حنين عن بن عباس قال عجبت ممن يتقدم الشهر وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين (رواه النسائي)
Yang menjadi titik tekan dalam contoh ini adalah lafal فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين, karena lafal tersebut termuat juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, sehingga hadis yang kedua ini disebut dengan hadis al-Syahid al-Lafdzi.
2. Al-Syahid al-Maknawi
Hadis al-Syahid al-Maknawi adalah hadis yang menguatkan matan hadis lain dalam maknanya, Contohnya:
حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا محمد بن زياد قال سمعت أبا هريرة رضي الله عنه يقول : قال النبي صلى الله عليه و سلم أو قال قال أبو القاسم صلى الله عليه و سلم ( صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين ) (رواه البخاري).
Matan hadis ini, menguatkan matan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i di atas, dari segi maknanya, karena kedua matan hadis tersebut mempunyai pengertian yang sama, sehingga hadis ini disebut dengan hadis al-Syahid al-Maknawi.
B. Al-Tabi’
Kata Tabi’ dalam kajian ilmu bahasa, juga merupakan bentuk isim fa’il yang diderivasi dari fi’il madhi taba’a. Kata Tabi’ ini secara bahasa mempunyai arti pengikut, pembantu dan golongan jin laki-laki. Dan dalam istilah lain, kata Tabi’ ini juga dikenal dengan sebutan Mutabi’ dan Mutaba’ah.
Sedangkan secara terminologi, para ulama juga mendefinisikannya dengan berbagai redaksi, di antaranya adalah:
الحديث الذي يشارك فيه رواته رواة الحديث الفرد لفظا ومعنى أو معنى فقط مع الاتحاد في الصحابي
ما شارك حديثا آخر في اللفظ او المعنى مع الاتحاد في الصحابي
ما وافق راويه راو آخر ممن يصلح أن يخرج حديثه فرواه عن شيخه أو من فوقه بلفظ مقارب
Dari beberapa definisi para ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa hadis al-Tabi’ adalah hadis yang matannya ada kesamaan secara lafal atau makna dengan dengan hadis lain (hadis gharib) dan sanad sahabat dari kedua hadis tersebut sama.
Hadis tabi’ ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Tabi’ Tam
Tabi’ Tam adalah hadis yang ada kesamaan dengan hadis lain dari segi sanad mulai dari awal sampai akhir sanadnya dan matannya pun ada kesamaan dengan matan hadis tersebut, baik secara lafal maupun secara makna. Contohnya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ (رواه البخاري)
Sanad hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari ini ternyata mempunyai kesamaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Syafi’i mulai dari awal sanad sampai akhir sanadnya. Oleh karena itu, hadis ini disebut dengan hadis al-Tabi’ Tam.
2. Tabi’ Qashir
Tabi’ Qashir adalah hadis yang ada kesamaan dengan hadis lain dari sisi sanadnya namun hanya sanad sahabatnya saja, dan matannya pun ada kesamaan secara lafal atau makna dengan matan hadis tersebut, contohnya:
حدثنا ابن نمير حدثنا أبي حدثنا عبيدالله بهذا الإسناد وقال فإن غم عليكم فاقدروا ثلاثين نحو حديث أبي أسامة (رواه مسلم)
Sanad sahabat dari hadis ini, sama dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i di atas, yaitu Ibn Umar. Namun dari awal sanadnya tidak ada kesamaan. Karena itu hadis ini disebut dengan hadis al-Tabi’ Qashir.
C. Peranan al-Syahid Dalam Analisis Kuantitas Sanad
Syahid sangat diperlukan dalam proses penelitian hadis, untuk menguatkan posisi suatu hadis dalam segi kuantitasnya. Sebuah hadis yang pada mulanya gharib (hanya diriwayatkan oleh seorang rawi) dapat naik tingkatannya menjadi hadis 'aziz, hadis masyhur atau bahkan hadis mutawatir bila ada syahid.
Contohnya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Al-Syafi’i di atas. Pada mulanya Imam Syafi'i dianggap sendirian di dalam meriwayatkan hadis tersebut. Oleh karena itu, hadits tersebut dikatakan ghorib. Akan tetapi, kemudian ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh al-Nasa'i dari Muhammad Ibnu Hunain dari Ibnu Abbas, maka keghoriban hadis tersebut secara otomatis menjadi hilang.
D. Peranan al-Tabi’ Dalam Analisis Kualitas Sanad
Sedangkan posisi Hadis Tabi’ dalam sebuah hadis sangat berpengaruh pada kualitas hadis itu sendiri. Karena ketika ada sebuah hadits yang dinilai dari segi sanad memiliki kekurangan, maka akan menyebabkan hadis tersebut tidak bisa mencapai derajat shahih atau hasan. Akan tetapi, ketika ditemukan hadis yang sama dari jalur lain, maka posisi hadis yang pertama bisa kuat dan bisa naik menjadi hadis sahih li ghairihi (apabila pertamanya ia hasan li dzatihi) berkat dukungan dari sanad lain tersebut. Hal ini karena substansi matannya dijustifikasi oleh faktor eksternal. Dan kekurangan pada salah satu perawi dapat dihilangkan dengan adanya bukti berupa hadis yang sama dan diriwayatkan dengan jalur yang berbeda.
Contoh kasusnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Syafi’i di atas. Hadis ini dinilai gharib karena diduga hanya diriwayatkan oleh Syafi’i dari Malik. Akan tetapi ditemukan hadits lain yang sama yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi dengan sanad yang sama. Sehingga, seandainya hadis Imam Syafi’i tersebut hasan, maka dapat naik tingkatan menjadi sahih li ghairihi. Dan kalaupun hadits tersebut dla’if, maka dapat terangkat menjadi hasan li ghairihi.
BAB XI
KAJIAN HADIS DHA’IF: HADIS DHA’IF SEBAB TIDAK ADA PERSAMBUNGAN SANAD
A. HADITS MU’ALLAQ
1. Pengertian
Menurut bahasa mu’allaq berasal dari kata علق يعلق تعلقا فهو معلق dengan makna bergantung. Dinamakan hadits mu’allaq karena sanadnya bersambung ke arah atas dan terputus kearah bawah. Maka seolah seperti suatu benda yang bergantung pada atap rumah atau sesame. Menurut istilah hadits mu’allaq adalah:
الذى يسقط من اول سنده راو فاكثر
“Hadits yang gugur rawinya, seorang atau lebih dari awal sanad”.
ما حذف من اول السند راو هو اكثر على التوالى
“Hadits yang dibuang pada awal sanad seorang perawi atau lebih secara berturut-turut”.
Jadi hadits mu’allaq adalah hdits yang sanadnya bergantung karena dibuang dari awal sanad seorang perawi atau lebih secara berturut-turut. Dengan demikian hadits mua’llaq bisa jadi yang dibuang semua sanad dari awal sampai akhir kemudia berkata: rasulullah SAW bersabda:…. Atau dibuang sanad selain shahabat atau selain tabiin dan sahabat.
a. Contoh
قال ابوا عيسى: وقد روي عن عا ئشة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من صلى بعد المغرب عشرين ركعة بنى الله له بيتا في الجنة
“Abu isa telah berkata dan sesungguhnya telah diriwayatkan dari aisyah, dari nabi Muhammad SAW bersabda: barang siapa sholat sesudah maghrib duapuluh rakaaat maka Allah akan mendirikan baginya sebuah rumah disurga” .
Keterangan:
Kalau diuraikan sanadnya adalah sbb:
a. Abu Isa
b. Aisyah
c. Rasulullah SAW
Imam tirmidzi sebenaranya tidak pernah bertemu dan tidak sezaman dengan aisyah. Jadi antara kedua itu ada beberapa orang rawi lagi. Karena tidak disebutkan rawi-rawinya, maka dia gugur seolah-olah hadits itu tergantung . dengan demikian disebut dengan hadits mu’alaq.
b. Hukum Hadits Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang mardud karena gugur dan hilang salah satu syarat diterimanya suatu hadits yaitu brsambungnya sanad, dengan cara menggugurkan seorang atau lebih dari sanadnya tanpa dapat kita ketahui keadaannya. Oleh karena itu para ulama’ berpendapat :
1) Jika diriwayatkan dengan tegas dan jelas yakni dengan sighot jazm (kata kerja aktif) seperti قال ذكر حكي Maka haditsnya dihukumi shohih
2) Jika diriwayatkan dengan sigjot tamridh (kata kerja pasif) maka dihukumi tidak shohih saja tapi adakalanya shahih, hasan, dan dhoif. Namun dalah shahih tidak ada yang lemah dan sanadnya bersambung seperti hasil penelitian ibnu hajar al-asqolani.
B. HADITS MURSAL
1. Pengertian
Menurut bahasa mursal dari kata ارسل يرسل ارسالا مرسل dengan makna terlepas atau bebas tanpa ikatan. Hadist dinamakan mursal karena sanadnya ada yang terlepas dikalangan sahabat atau tabi’in. sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat tentang pengertian hadits ini, yaitu sebagai berikut :
a. Pendapat mayoritas muhadditsin diantaranya al-hakim, ibnu ash-shalah, ibnu majah, dll.
هو روية التابعى مطلقا عن النبي صلى الله عليه وسلم
Adalah periwyatan tabi’in secara mutlak dari nabi Muhammad SAW.
b. Pendapat fuqoha’, ushulyyun, dan segolongan dari Muhadditsin diantaranya al-khatib al-baghdadi, abu hasan bin al-qothon dan al-nawawi.
هو ما انقطع اسناده فى اي موضع من السند
Adalah hadits yang terputus isnadnya di mana saja dari sanadnya.
c. Pendapat al-baikuni
هو ما سقط من سنده الصحابى
Hadits yang gugur dari sanadnya shahabat.
d. Sebagian ahli ilmu
هو روية التابعى الكبير عن النبي صلى الله عليه وسلم
Yaitu periwayatan tabi’in senior dari nabi Muhammad SAW
e. Menurut sebagai ulama’ muhadditsin
هو ما سقط من اخر اسناده من بعد التابعي
Yaitu Hadits yang gugur dari akhir sanadnya seorang setelah tabi’in.
2. Pembagian hadits mursal
a. Mursal Jaly
Mursal artinya yang terputus, Jaly artinya yang terang, yang jelas dan nyata. Maka mursal jaly dalam ilmu hadits adalah satu hadits yang diriwayatkan seorang perawi dari seorang syaih (guru) tetapi guru ini tidak semasa dengannya
b. Mursal Shahaby
Mursal artinya terputus sedangkan shahabyartiny seorang sahabat. Maka mursal shahby menurut ilmu hadits adalah suatu hadits atu riwayat yang diceritakan oleh seorang sahabat, tetapi ia sendiri tidak mendengar ucapan itu, atau tidak menyaksikan kejadian yang ia ceritakan. Atau pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada nabi, tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, karena disaat rasulullah saw. Hidup ia masih kecil atau terahir masuknya agama islam .
Lebih tegasnya dapat dikatakan mursal shahaby adalah:
رواية الصحابي ما لم يدركه او يحضره عن النبي صلى الله عليه و سلم
Yiatu “Periwayatn sahabat pada sesuatu yang ia tidak bertemu atau tidak hadirnya dari Nabi Muhammad SAW”
c. Mursal Khafi
Khafi artinya yang tersembunyi atau yang tidak nyata. Maka mursala khafi adalah :
هو رواية من عاصر التبعي صحابيا ولكنه لم يسمع حديثاو لم يلتقيا منه
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi’I dimana tabi’I yang meriwayatkan hidup sezaman dengan sahabat, tapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits pun darinya dan tidak pernah berjumpa dengannya.
3. Contoh Hadits
a. Mursal Jaly
حدثنا مسدد قال : ثنا هشيم عن داؤد بن عمرو عن عبد الله بن أبي زكاريا عن ابي درداء قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم انكم تدعون يوم القيامة باسمائكم واسماء ابائكم فاحسنوا اسمائكم (ابو داؤد)
Abu Daud berkata: telah menceritakan kepada kami musaddad, ia berkata, telah menceritakan kepada kami, husyain, dari daud ibn amr dari Abdullah ibn abi Zakaria, dari adib darda, ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya kamu akan dipenggal pada hari kiamat dengan nama-nama kamu dan dengan nam-nam bapak kamu. Oleh karena itu perbaguslah nama-nama kamu.
Keterangan:
1) Secara sederhana susunan abu daud adalah sbb:
a) Abu daud
b) Musaddad
c) Husyaim
d) Daud ibn Amr
e) Abdullah Ibn Zakiaria
f) Abu Darda’
g) Rasulullah SAW.
2) Sanad ini dikatakan putus karena Abdullah (E) dan abu darda’ (F) tidak semasa. Sebab abu darda’ meninggal tahun 32 H. yaitu pada massa kholifah Utsman bin Affan. Sedangkan Abdullah ibn Abi Zakaria wafat pada tahun 117.
b. Mursal Shahaby
عن ابي اسحاق سأل رجل البراء- انا اسمع – قال اشهد علي بدرا؟ قال : وبرز وظاهر (البخارى)
Dari abi ishaq (Ia berkata), seorang laki pernah bertanya kepada baraa’ sedang saya mendengarkan. Orang itu, adakah ali ikut dalam peperangan badar? Jawab baraa’, “YA, bahkan ia berperang tanding dan memakai dua lapis baju besi”.
Keterangan:
1) Dalam riwayat tersebut baraa’ adalah shabat rasulullah saw. Ia tidak turut berperang badar tapi ia berkata kepada orang “YA”, bahkan ali berperang tanding dalam peperangan tersebut
2) Oleh karena baraa’ tidak ikut, tentulah ia mengetahiu ali itu berperang dari para sahabat yang ikut dalam berperang atau boleh juga ia mendengar hal ali tersebut dari rasulullah SAW.
3) Maka jalan riwayat tersebut dinamakan mursal shahaby
c. Mursal Khafi
عن العوام بن الحوشب عن عبد الله بن ابي اؤف كان النبي اذا قال بلال : قد قامت الصلاة نهض و كبر
Dari al-awam ibn hausyab dari Abdullah ibn ibi auf berkata adalah nabi ketika bilal membaca telah berdiri sholat, maka beliu bergerak dan takbir.
Dari periwayatan diatas al-awam tidak bertemu dengan Abdullah ibn abi auf padahal mereka hidup semasa. Untuk mengetahui mursal khafi ini yakni melalui keterangan sebagai imam bahwa seorang perawi ini tidak pernah bertemu dengan pembawa berita atau tidak pernah mendengar atau pengakuan perawi sendiri bahwa ia tidak pernah bertemu dengan pembawa berita.
4. Hukum Hadits Mursal
a. Jumhur ahli hadits dan ahli fiqh berpendapat bahwa hadits mursal adalah dhaif dan dianggap sebagai hadits yang mardud, karena tidak diketahui kondisi perawinya.
b. Pendapat lain mengatakan bahwa hadits mursala adalah shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah, trlebih lagi jika tabi’in tidak merwayatkannya kecuali dari orang-orang yang tsiqah dan dapat dipercaya. Pendapat ini yang masyhur dalam madzhab maliki, abu hanifah.
c. Imam syafi’I berpendapat bahwa hadits-hadits mursal pada tani’in senior dapat diterima apabila terdapat hadits mursala dari jalur lain meskipun mursal juga, atau dibantu dengan perkataan sahabat.
C. HADITS MUDALLAS
1. Pengertian
Kata mudallas adalah bentu isim maf’ul dari kata:
دلس- يدلس – تدليسا فهو مدلس وذك مدلس
Dalam bahasa arab kata al-tadlis diartikan menyimpan atau menyembunyikan cacat barang dagangan dari pembelinya. Sedangkan menurut istilah hadits mudallas adalah:
اخفاء عيب فى الاسناد وتحسين لظاهره
Menyembunyikan cacat dalam isnad dan menampakan (periwayatan) yang baik
Maksud dari kata menampakn periwayatan yang bagus adalah menggunakan ungkapan periwayatan yang tidak tegas bahwa ia mendengar dari penyampai berita. Hadits mudallas sama dengan hadits mursal khofi. Letak perbedaannya sangat kecil. Jika perawinya itu hidup semasa dan pernah bertemu dengan pembawa berita tetepi tidak pernah mendengar hadits dari padanya.
Kemudian ia meriwayatkan suatu hadits yang sebenarnya ia tidak mendengarkannya secara langsung dengan ungkapan dan kata-kata yang tidak jelas seperti qala fulan atau‘an fulan maka haditsnya disebut mursal khafi. Sedangkan jika perawi hidup semasa, pernah bertemu dan mendengarkan beberapa hadits dari penyampai berita, kemudian ia meriwayatkan suatu hadits yang sebenarnya ia tidak mendengar langsung dengan ungkapan kata yang tidak jelas, maka haditsnya disebut hadits mudallas.
Hadits mudallas yang dikendaki dalam ilmu hadits adalah:
ما روي على وجه يوهم انه لا عيب فيه
“Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits tersebut tidak bernoda’
2. Pembagian Hadits Mudallis
a. Tadlis isnad
Mudallas artinya yang ditutup sedangkan isnad artnya menyandarkan sesuatu kepada yang lain. Menurut istilah tadlis isnad adalah:
ان يروي الراوي عمن لقيه ما لم يسمعه منه موهما سماعه
Yaitu seorang perawi yang meriwayatkan suatu hadits yang ia tidak mendengarnys dari seseorang yang pernah ia temui dengan cara yang menimbulkan dugaan bahwa ia mendengarnya .
Maksud definisi diatas adalah seorang perawi meriwayatkan sebagian hadits yang telah ia dengar dari seorang syaikh, tetapi hadits yang di-tadlis-kan ini memang tidak mendengar dirinya, ia mendengar dari syaikh lain yang mendengar dari padanya. Kemudian syaikh ini digugurkan dalam periwayatan dengan menggunaka ungkapan yang seolah-olah ia mendengar dari syaikh pertama tersebut.
Kemudian tadlis isnad ini dibagi menjadi dua lagi, yaitu:
a. Tadlis Isnad Al-Taswiyah
Yaitu seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang syaikh kemudian digugurkan seorang dha’if antara dua syaikh yang tsiqah dan bertemu antara keduanya.
b. Tadlis Isnad Al-‘Athfi
Yaitu seorang perawi yang meriwayatkan suatu hadits dengan jelas dari seorang gurunya, kemudian di’athafkan (disambungkan) dengan gurunya yang lain, dimana dia tidak mendengar hadits itu dari padanya. Misalnya:
حدثنا فلان وفلان
Ada pula yang menyebutkan bahwa hadits tadlis isnad terbagi menjadi 3:
1. Hadits Tadlis Qatha’
2. Hadits Tadlis Taswiyah
3. Hadits Tadlis ‘Athaf
b. Tadlis Syuyukh
Yaitu suatu hadits yang dalam sanadnya, perawi menyebut syaikh yang ia mendengar dari padanya dengan sebutan yang tidak terkenal dan masyhur tentangnya. Ada pula yang menyebutkan bahwa hadits tadlis syuyukh adalah:
هو ان يروي الراوي عن شيخ حديثا سمعه منه فيسميه او يكنيه او ينسبه او يصفه بما يعرف به كي لا يعرف
“Yaitu seorang perawi meriwayatkan dari seorang syaikh sebuah hadits yang ia dengar darinya kemudia ia beri nama lain atau nama panggilan atau nama bangsa dan atau nama sifat yang tidak dikenal supaya tidak dikenal”.
3. Contoh Hadis
a. Hadits mudallas isnad
روى النعمان بن راشد عن الزهزي عن عروة عن عائشة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يضرب امرأة قط ولا خادما الا يجاهد فى سبيل الله
Diriwayatkan oleh nu’man ibn rasyid, dari zuhri dari urwah dari aisyah, bahwasannya rasulullah SAW bersabda tidak pernah sekalikali memukul seorang perempuan dan juga tidak seorang pelayan, melainkan jika ia berjihad dijalan Allah
Keterangan: Kalau diuraikan secara seder hana, maka sanadnya adalah:
1) Al-Nu’man
2) Al-Zuhri
3) Urwah
4) Aisyah
Dengan kajian sederhana dari susunan sanad tersebut, maka dapat disimpulakan bahwa zuhri mendengar riwayat diatas dari urwah, karena memang biasa zuhri meriwayatkan darinya. Padahal anggapan itu salah, sebab imam hatim berkata, “zuhri tidak pernah mendengar hadits diatas dari urwah….” hal ini dapat disimpulkan bahwa antara zuhri dan urwah ada seorang yang tidak disebutkan oleh zuhri. Oleh karena itu hadits diatas disebut mudallas, tetapi karena samarnya terjadi pada sandaran sanad hadits maka disebut mudallas isnad
b. Hadits mudallas syuyukh
روا ابو داود عن ابن جريج اخبرني بعض بنى ابو رافعي عن اكرمة عن ابن عباس قال طلق ابو يزيد- ابو ركانة واخواته-ام ركانة ونكح امرأة من مزينة
Diriwayatkan oleh abu daud dari ibn juraij memberitakan kepadaku sebagian bani abu rafi’ dari ikrimah dari ibnu abbas berkata: abu yazid mentalak ( abu rukanah dan saudar-saudaranya) atau rukanah dan menikahi seorang wanita dari kabilah muzinah .
Ibnu juraij nama aslinya adalah abdul malik bin abdul aziz bin juraij, ia tsiqoh tapi disifati tadlis sekalipun ia meriwayatkan hadits ini dengan ungkapan tegas tetapi ia menyembunyikan nama syaikhnya yaitu bani abu rafi’. Para ulama’ berbeda pendapat tentang syaikhnya ini, pendapat yang shahih adalah Muhammad ibn ubaidillah bin abu rafi’. Gelar tarjih-nya adalah matruk.
4. Hukum Hadits Mudallas
Periwayatan yang dikenal sebagai mudallis ada beberapa pendapat tentang hokum periwayatannya, yaitu :
a. Ditolak secara muthlak baik dijelaskan dengan tegas atau tidak, yaitu pendapat sebagian malikiyah
b. Diterima secara muthlaq, pendapat al-khatib dalam al-kifayah dari para ahli ilmu, alas an pendapat ini, tadlis disamakan dengan irsal (hadits mursal)
c. Diterima jika ia tidak diketahui melakukan tadlis, pendapat al-bazzar, al-azdi, al-syafrafi, ibn hibban dan abdul barr
d. Diterima jika tadlisnya langka atau sedikit, pendapat ali al-madani
e. Diterima periwayatannya, jika ia tsiqoh dan memperjelas periwayatannya, pendapat jumhur muhadditsin
Secara ringkas penulis menyimpulakan perbedaan ulama’ dalam menyikapi hadits mudallas ada tiga yaitu menolak secara mutlak, menerima secara mutlak dan menerima dengan catatan atau syarat tertentu.
D. HADITS MUNQOTHI’
1. Pengertian
Kata munqathi’ berasal dari انقطع – ينقطع – انقطاعا – فهو منقطع berarti terputus yaitu lawan dari muttashil = bersambung. Menurut sebagian ulama’ hadits (al-hakim) bahwa hadits munqathi’ adalah hadits dimana dalam sanadnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi. Definisi lain disebutkan bahwa hadits munqathi’ adalah
هو ما سقط من رواته راو واحد قبل الصحابي في موضع واحد او في مواضع متعددة بشرط عدم التوالى في مواضع السقوط
“Yaitu hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat disatu tempat atau dibeberapa tempat dengan syarat tidak berturut-turut”.
2. Contoh
قال احمد بن شعيب انا قتيبة بن سعيد نا ابو عوانة نا هشام بن عروة عن فاطمة بنت المنذر عن ام سلمة ام المؤمنين قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يحرم من الضاع الا مافتق الامعاء فى الثدي و كان قبل الفطام
“Berkata ahmad ibu syu’aib, telah menceritakan kepada kami, qutaibah ibn said, telah menceritakan kepada kami hisyam ibn urwah, dari Fatimah binti mundzir, dari ummu salamah, ummil mu’minin , ia telah berkata,”telah bersabda rasulullah SAW, tidak menjadikan apa-apa yang sampai dipencernaan dari susu, dan adalah (teranggap hal ini) sebelum anak berhenti (dari minum susu)”.
Keterangan:
a. Secara sederhana kalau kita gambarkan maka sanadnya adalah:
1) Ahmad Ibn Syu’aib
2) Qutaibah Ibn Said
3) Abu Awanah
4) Hisyam ibn Urwah
5) Fatimah binti Mundhir
6) Ummu Salamah
7) Rasulullah Muhammad SAW
b. Fatimah (5) tidak mendengar hadits tersebut dari Ummu Salamah (6), sebab waktu ummu salamah meninggal, Fatimah ketika itu masih kecil dan tidak pernah bertemu dengannya. Jadi jelas bahwa diantara Fatimah dan ummu salamah ada seorang perawi yang gugur oleh karena itu hadits ini disebut munqathi’ .
3. Hukum Hadits Munqothi’
Para ulama’ telah sepakat bahwa hadits munqathi’ adalah hadits mardud dan dha’if serta tidak dapt dijadikan hujjah. karena tidak dapat diketahiu keadaan perawi yang digugurkan.
E. HADITS MU’DHAL
1. Pengertian
Kata mu’dhal dari akar kata: اعضل يعضل اعضالا فهو معضل اي اعياه yang artinya susah atau payah. Keterputusan hadits mu’dhal memang parah sampai dua orang perawi maka menyulitkan dan memberatkan penghubungannya. Menurut istilah ulama’ hadits mu’dhal adalah :
هو ما سقط من اسناده اثنان فأكثر على التوالي
Yaitu hadits yang gugur dari sanadnya dua orang atau lebih secara berturut-turut
2. Contoh
اخبرنا سعيد بن سالم عن ابن جريج ان رسول الله عليه وسلم كان اذا رأى البيت رفع يديه (الشافعي)
“Imam syafi’I berkata, telah menceritakan kepada kami, said ibn salam, dari ibn juraij bahwa nabi Muhammad apabila melihat baitullah beliu mengangkat kedua tangannya”
Keterangan:
a. Dapat kita gambarkan sanadnya sebagi berikut:
1) Imam Syafi’i
2) Said ibu Salim
3) Ibnu juraij
4) Rasulullah SAW
b. Ibnu juraij dalam sanad diatas adalah tidak sezaman dengan nabi, bahkan masanya itu dibawah tabi’in, sehingga ia disebut tabi’it tabi’in, yakni pengikut tabi’in. jadi antara juraij dengan rasulullah SAW ada dua perantara yaitu shahabat dan tabi’in. karena kedua orang ini( sahabat dan tabi’in ) tidak disebutkan ditengah sanad ini maka periwayatan hadits diatas disebut mu’dhal.
3. Hukum Hadits Mu’dhal
Para ulama’sepakat bahwa hadits mu’dhal adalah dhaoif dan mardud, lebih buruk dari pada hadits munqathi’ karena sanadnya banyak yang terbuang.
BAB XII
KAJIAN HADIS DHA’IF
Dalam pengaplikasian pembagian hadits dha’if selain dari pada persambungan sanadnya adalah karena adanya cacat pada pribadi rawi itu sendiri yang kemudian dapat dibagi atas dua kategori yaitu:
A. Dha’if Sebab Cacat Keadilan
1. Hadits Matruk
a. Pengertian
Kata matruk berasal dari kata : ترك (ودعك شيء) yang memiliki arti sesuatu yang ditinggalkan..
Kemudian orang arab menyebut kulit telur setelah mengeluarkan anak ayam juga dengan sebutan تريكه : tertinggal tidak ada faedahnya.jadi hadits matruk maksudnya bahwa hadist ini tidak didengar, tidak dianggap, tidak dipercaya oleh karena menyangkut pribadi perawi yang kurang baik. Dalam istilah, hadist matruk adalah :
الحديث الذي يكون احد رواته متهم با الكدب
Hadist yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.
Diantara sebab-sebab tertuduhnya seorang perawi, ada beberapa kemungkinan yaitu sebagai berikut :
1) Perawi yang meriwatkan hadist tersebut tunggal ( tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadist tersebut melainkan dia ).
2) Rawi hadits disepakati kedhaifannya oleh para ulama hadits.
3) Perawi terkenal pembohong atau pendusta.
4) Fasik atau suka menyepelekan ibadah.
Contoh hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan ‘Amr bin Syamr, dari Jabir al-luthfi dari Haris dari Ali. Dalam hal ini ‘Amr termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan.
2. Hadits Majhul.
a. Pengertian
Dalam bahasa arab kata لا اعلام بها ) مجهول ) artinya tidak diketahui. Jadi secara istilah bahwa hadits matruk adalah hadits yang tidak jelas siapa yang merawikannya dalam konteks yang dimaksud adalah jati diri sang prawi( jahalah).Ada beberapa faktor penyebabnya diantaranya :
1) Seseorang memiliki banyak nama (mungkin nama julukan).
2) perowi yang hanya memiliki sedikit periwayatan hadits, sehingga sedikit pula orang yang menerima hadits darinya.
b. Pembagian
1) Majhul al-ain : Perawi disebut dalam sanad tetapi tiada yang menerima atau mengambil periwatannya selain satu orang saja.
Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh tirmidli dari hakim melalui jalan Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman an-Nufali dari Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari Ayahnya dari Kakeknya secara marfuk.
Dalam periwayatan ini Abdullah bin Sulaiman an-Nufail tidak diketahui jatidirinya karena tidak ada yang meriwayatkan dari padanya melainkan Hisyam bin Yusuf.
2) Majhul al-Hali : Periwayatan diambil dari dua orang atau lebih, tetapi tidak ada yang tsiqoh.
Misalnya hadits yang diriwayatkan Ibnu Majjah melalui Itsam bin Ali dari al-‘Amasyi dari Abu Ishaq dari Hani’bin Hani’. Ternyata Hani’bin Hani’tidak diketahui identitasnya karena tidak ada orang yang menerangkan bahwa ia atau orang yang meriwayatkan hadits darinya itu tsiqoh.
3. Hadits Mubham.
a. Pengertian
Dalam bahasa arab mubham berarti samar atau tidak jelas. Yaitu Perawinya tidak disebutkan namanya baik dalam sanad atau matan melainkan hanya disebutkan identitas secara umumnya saja misalnya kata fulan atau fulanah.
Hadits mubham ini terbagi menjadi dua macam yaitu :
1) Mubham dalam sanadnya : dalam persambungan sanadnyanama dari sebagian perawinya. Missal : “Dari Sufyan, dari fulan”.dan hokum kemubhamannya sampai pada status dha’if.
2) Mubham dalam matannya : dalam matan hadits tidak ada kejelasan dalam menerangkan subyek hadits. Missal : “bahwa seorang laki-laki perempuan bertemu dengan Nabi saw”.namun statusnya tidak membayakan kedudukan hadits.
B. Dha’if sebab cacat ke-dhabith-an
1. Hadits Munkar
Kata munkar berarti inkar yaitu : menolak atau tidak menerima. Jadi secara istilah adalah ada kesalahan, kelupaan atau bahkan kefasikan yang parah pada sanadnya.
Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah melalui Usamah bin zaid al-madani dari ibnu syihab dari abu salamah bin Abdurrahman bin auf dari ayahnya secara marfuk. Yang indikasinya bahwa hadits itu bertentangan dengan hadits periwayatan Ibnu abi Abi Dzibin yang tsiqoh krena mauquf pada Abdurrahman bin Auf.
2. Hadits Mu’allal.
Kata mu’allal berasal dari kata ‘illah : penyakit. Jadi yang dimaksud yaitu bahwa hadits yang didalamnya terdapat ‘illah yang menimbulkan kecacatan pada status keshahihannya . Dan ‘illah bias terjadi pada matan atau sanad.
Misalnya hadits yang diriwayatkan tirmidzi dan Abu Daud dari qutaibah bin Sa’id memberi tahukan kepada kami Abdussalam bin Harb al-Mala’I dari al-Amasy dari anas.
3. Hadits Mudraj.
Kata mudraj berasal dari kata idraja : memaukkan, menghimpun dan menyisipkan. Mudraj dibagi dua :
a. Mudraj Matan (sebagian rawi memasukkan kata-kata lain pada matan hadits). Misalnya hadis yang diriwayatkan Aisyah ra tentang tahannus, yang dalam matannya diselikan kata ta’abbudu.
b. Mudraj Sanad ( beda sanad diahir atau dicampur dengan jalur periwayatan lain). Misalnya hadits yang diriwayatkan Anas tentang larangan saling benci,mendengki yang kemudian disisipkan oleh sa’id bin Abu Maryam, sehim\ngga menjadi satu bentuk sejalur periwayatannya.
4. Hadits Maqlub.
Kata maqlub berasal dari akar kata qalaba yang artinya : mengubah, mengganti, berpindah atau membalik. Jadi maksudnya ialah hadits yang terbalk pada redaksinya baik sanad maupun matannya.
Misalnya yang terbalik sanad adalah hadits yang diriwayatkanKa’ab bin Murrah diucapkan Murrah bin ka’ab. Dan yang terbalik pada matannya seperti yang diriwayatkan Ibnu Umar tentang Nabi yang duduk menghadap qiblat dan membelakangi syam terbalik menjadi menghadap syam membelakangi qiblat.
5. Hadits Mudhtharib.
Kata mudhtharib artinya gncang atau getar seperti ombak., karena ada dua hadits yang bertentangan ( dalm segi yang berbeda) yang sama kualitasnya.
Misalnya hadits Abu Bakar yang bertanya seutar berubannya rambut Rosulullh saw yang diklaim mudhtharib oleh ad-Daruquthni.
6. Hadits Mushahhaf dan Muharraf.
Kata mushahhaf memiliki arti salah baca ada tulisan. baik karena salah melihat atau mendengar sehingga memiliki makna istilahhadits yang terdaat perbedaan pada titik hurufnya. sedangkan kata muharraf memiliki artimengubah atau mengganti sehingga maknanya perbdaan hadits karena bbeda harakat saja.
Misalnya (mushahhaf ) hadits tentang puasa Ramadan yang kemudian diikuti enam hari puasa syawal yang redaksinya kata sittan dibaca syaian. Contoh dari (muharraf) adalah hadits tentang Ubai yang terkena panah pada lengannya, yang kemudian kata Ubay dibaca Abii.
7. Hadits Syadz.
Kata syadz berarti ganjil yang maksudnya adalah perowi meriwayatkan haditsnya hanya sendirian baik parawinya tsiqah ataupun tidak.
Misalnya hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari at-Tirmidli melalui Abdulwahid bin Zayyad dari al-Amasy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah tentang tidur miriring pada lambung kanan setelah sholat fajar dua rokaat yang menurut Baihaqi periwayatan Abdul wahid bin zayya menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan melalui segi perbuatan Nabi.
C. Kekuatan Hadits Dha’if.
Kehujjahan hadits dhaif , maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
1. Level Kedhaifannya Tidak Parah Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a'mal (keutamaan amal).
2. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a'mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
Selain itu Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, juga mensyaratkan hadits dha’if dapat diterima jika :
1. Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
2. Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya.
3. Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
4. Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati. Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.
BAB XIII
TAHAMUL WA ADA’ AL-HADIS
1. Pengertian tahammul al-hadits dan ada’ al-hadits menurut bahasa dan istilah:
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:
التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.
Sedangkan pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, ada’ (الأداء) adalah masdar dari
أَدَّى-يُؤَدٍّى- أَدَاءً:
إيصال الشيئ إلى المرسل إليه
“menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.
أدى-تأدية الشيئ : أوصله
“Menyampaikannya”.
Bararti ada’ al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits. Sedangkan ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
الأداء : رواية الحديث وإعطاؤه الطلاب
“Meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid”.
Kaifiyah Tahammul wa al-ada’ ini termasuk kajian ilmu Hadits Dirayah karena berupa system yang analitik, dan walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul-mardudnya hadits, namun mempengaruhi pengamalan hadits dalam thariqah tarjib, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan (tanakud).
2. 8(delapan) Macam Shigat Kaifiyah Tahammu Wa al-Ada’ atau system cara Penerimaan dan Penyampaian Hadits, sebagai berikut:
1. “Sama’ min lafazh al-Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dibaca dari tulisannya, walaupun mendengar dari balik hijab, asal berkeyakinan bahwa suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan kepada orang lain.
Cara sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar sama’ adalah:
a. حدثنا : حدثني
“Seseorang telah bercerita kepadaku/kami”
b. سمعنا : سمعت
“Saya telah mendengar, kami telah mendengar”
2. Al-Qira’ah ‘ala Syaikh (aradh) yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkannya.
a. قرآت عليه
“Saya telah membacakan dihadapannya”
b. قرئ عحفلان وأنا أسمع
“Dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya mendengarkan”.
c. حدثنا او أخبرنا قرأة عليه
“Telah menceritakan kepadaku secara pembacaan dihadapannya”.
3. Ijazah, yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya:
a. Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin: izin untuk meriwayatkan untuk sesuatu yang tertentu kepada oaring tertentu:
جزت لك رواية الكتاب الفلاني
“Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan si fulan dari saya”.
b. Ijazah fi ghairi mu’ayyanin, yaitu izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang tertentu:
جزت لك جمبع مسموعاتي
“Saya ijzahkan kepada seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”.
c. Ijazah fi ghairi mu’ayyanin li ghairi mu’ayyanin, izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu:
أجزت للمسلمين جميع مسموعاتي
“Saya ijazahkan kepada seluruh kaum muslimin apa yang saya dengar semuanya”.
4. Munaawalah. yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan :
a. Diberi ijazah:
هذا سماعي أومن روايتي عن فلان فاروه
“Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah”
Lafazh periwayatannya:
أنبأني , أنبأ نا
b. Tidak diberi ijazah:
هذا سماعي أومنروايتي
“Ini adalah hasil pendengaranku atau hasil dari periwayatanku”
Lafazhnya:
ناولني , ناولنا
“Seseorang telah memberikan kepadaku/kami”
5. Mukatabah, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau ada yang dihadapannya:
a. Dibarengi ijazah:
اجزت لك ما كتبته إليك
“Saya izinkan apa-apa yang telah saya tulis kepadamu”
b. Tidak dibarengi ijazah:
قال حدثنا فلان
“Telah memberikan seseorang kepadaku”
Lafazhnya:
حدثني فلان كتابة
“Seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat”
اخبرني فلان كتابة
“Seseorang telah mengabarkan kepadaku dengan melalui surat”
6. Wijadah, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’, qira’ah maupun selainnya, dari pemilik hadits maupun tulisan tersebut.
Lafazhnya:
قرأت بخط فلان
“Saya telah membaca khat/tulisan seseorang”
وجدت بخط فلان , حدثنا فلان
“Saya dapati khot/tulisan seseorang, bercerita pada kami”
7. Washiyah, yaitu pesan seseorang dikala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab tulisannya supaya diriwayatkan.
Lafazhnya:
اوصى الي فلان بكتاب قا ل فيه حدثنا الى أخره
“Seseorang telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu; telah bercerita padaku si fulan”
8. I’lam, yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.
Lafazhnya:
اعلمني فلان قا ل حدثنا
“Seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata padaku”.
Memperhatikan cara di atas, maka ada dua tipe periwayatan, yakni:
1. Rawi mendengar langsung dari gurunya, dengan demikian murid bertemu dengan gurunya, dan diketahui betul tentang pertemuannya itu.
Lafazh-lafazh periwayatannya:
a. سمعنا : سمعت
b. حدثنا : حدثني
c. اخبرني : اخبرنا
d. أنبأني , أنبأ نا
e. قال لي (لنا) فلان
f. ذ كرلي (لنا) فلان
g. قال حدثنا : قال حدثني
2. Rawi yang belum pasti tentang pertemuan-pertemuannya dengan guru, mungkin mendengar sendiri dengan langsung, atau tidak mendengar sendiri.
Lafazh-lafazh periwayatannya:
a. روي ; diriwayatkan oleh,
b. حكي ; dihikayatkan oleh,
c. عن ; dari,
d. أن ; bahwasannya,
Hadits yang diriwayatkan dengan lafazh tamrid ini tidak dapat untuk menetapkan bahwa Nabi SAW atau guru benar-benar menyabdakan, kecuali dengan adanya qarinah lain.
System periwayatan atau kaifiyat tahammul wa al-ada dari hadits tersebut, dapat dipahami dalam teks dibawah ini.
حدثنا عبد الله بن مسلمة قال قرأت على ما لك ابن أنس عن نافع عن بن عمر أنه قال أن اليهود جائو إلى النبي صلى الله عليه وسلم فذكروا له أن رجلا منهم وامرأة زنا فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ما تجدون فى التوراة فى شأ ن الزنا ؟ فقالوا نفضحهم ويجلدون عبد الله ابن سلام كذبتم أن فيها الرجم فأ تؤا بالتوراة فنشروها فجعل أحدهم يده على أية الرجم ثم جعل يقرأ ما قبلها وما بعدها فقال صدق يا محمد فيها أية الرجم فأمر بهما رسول الله صلى الله عليه وسلم فرجم قال عبد الله إبن عمر فرأيت الرجل يجنأ على المرأة بقيها الحجارة (رواه أبو داود)
Dari hadits tersebut sanadnya adalah:
حدثنا عبد الله بن مسلمة قال قرأت على ما لك ابن أنس عن نا فع عن إبن عمر
Dalam sanad tersebut lafazh sanad, yakni lafazh yang digunakan untuk menulis sanad tersebut menunjukan kaifiyat tahammul wa al-ada’nya.
Lafazh sanadnya adalah: حدثنا, عن, قرأت على
Lafazh حدثنا menunjukkan kaifiyat riwayah “sama’ min lafazh al-syaikh”, maksudnya Abu Daud sebagai mudawwin menerima dari gurunya (‘Abdullah ibn Maslamah) dengan cara sama’ secara oral muhaddatsah.
Lafazh قرأت على artinya saya membaca dihadapan, menunjukan bahwa ‘Abdullah bin Maslamah menerima hadits dari gurunya (Malik ibn Anas) dengan cara qira’ah. Maksudnya ‘Abdullah membaca hadits Malik di hadapan Malik.
Lafazh عن, artinya “dari” hal ini menunjukkan bahwa tidak diketahui dengan cara apa hadits itu diterima murid dari guru, yakni Abu Daud sebagai mudawwin tidak tahu (lupa, atau tidak ada penjelasan dari gurunya karena juga lupa) bagaimana Malik menerima hadits dari gurunya Nafi’. Begitu pula tentang kaifiyat penerimaan Nafi’ dari ibn ‘Umar (‘Abdullah ibn ‘Umar al-Khattab).
BAB XV
HADIS MUAN’AN DAN MUANNAN
المعنعن هو:
Mu’an’an adalah isim maf’ul dari kata dasar ‘an ‘ana dengan arti berkata dengan menggunakan kata ‘an. ‘An artinya dari atau daripada.
Menurut istilah, maksudnya: satu hadits yang jalannya diisnadkan dengan kata-kata ‘an.
مايقال: في سنده فلان عن فلان من غير بيان للفظ التحديث او الاخبار او السماع
“Hadits yang diriwayatkan dengan memakai perkataan an fulanin dari sipolan, dengan tidak disebut perkataan “ia menceritakan” atau “mengabarkan” atau dia “mendengar”.
Contohnya adalah:
(البخاري) حدثنا ابو نعيم قال حدثنا زكريا عن عامر قال سمع النعمان بن بشير يقول سمعت رسولالله صلى الله عليه وسلم يقول: الحلال بين و الحرام بينو بينهما مشتبهات لا يعلمها كثير من الناس.................................
“(Berkata Bukhari): Telah menceritakan ke pada kami, Abu Nu’aim, ia berkata: Telah menceritakan ke pada kami, Zakariya, dari Amir, ia berkata: Aku tela mendengar Nu’aim bi Basyir berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw, bersabda: “Barang yang halal itu terang, dan yang haram pun sudah nyata, tetapi antara kedua-duanya ada beberaa barang yang samar-samar yang tidak diketahui kebanyakan orang.................................”.
Keterangan:
Dalam sanad hadits tersebut, Zakaria berkata” dari Amir”. Karena Zakaria mudallis , maka sanadnya itu disebut Mu’an’an.
2. 2. Pembahasan
المؤنن هو:
Secara bahasa muannan adalah isim maf’ul dari kata dasar annana dengan arti “berkata anna (sesungguhnya) dan inna (bwasannya).”
Dalam ilmu hadits, bermakna satu hadits yang dalam sanadnya ada huruf anna atau inna. Atau dari urf hadits mendefinisikan dengan:
مايقال في سنده ان:
“Hadits yang diriwayatkan dengan memakai pekataan anna: bahwasanya”.
Umpamanya perawi mengatakan, “Telah diceritakan kepadaku oleh si polan, “bahwasanya” si anu berkata:”...”.
Contohnya adalah:
زيادة منها ......... ......... شرائط المعنعن و المؤنن و اتصالهما
$الثالث العدالة" (ر كتاب الحديث النبوى وروايته, للدكتور عبدالفتاح على حسن: بجدة)
$كذالك, كانت الاقوال قبل الإستقرار اربعة: المعاصرة-اللقاء-السماع-طول الصحبة (ر كتاب منتهى الاماني بفوائد مصطلح الحديث الالباني للامام احمد بن ليمان ايوب) وكذا احكم بالإتصال (البخاري و شيخه ابن المدينى والمحققين)
* قيل انّ البخارى لم يشترط ثبوت اللقاء في اصل الصحة, بل التزمه في جامعه, و ابن المدينى يشترط فيهما, ونص على ذلك الشافعي في الرسالة
(منهج ذوى النظر) 1لقاء المعنعن لمن روى عنه بلفظ عن او ان (بان يثبت ذلك ولو مرة)
2. لم يكن المعنعن مدلّسا
(منهج ذوى النظر) قا ل بعض جمهور المحدّيثين والفقهاء والاصولين: بأنّه حديث متّصل بل صرّح بعضهم بأنّه مجمع عليه, وذلك بشرطين:
الاشد الثالث منها الاشد الثاني منها الاشد الاول منها اخفى منها
حكى ابن الصلاح عن القابسى اشتراط ان يدركه ادراكا بينا (منهج ذوى النظر) ابو عمرو عثمان ابن سعيد المقرئ الدانى شرط (عرفانه) اى كون المعنعن معرفا (بالآخذ) اى الرواية (عن) من روى عنه ولم يكتف بالصحبة (منهج ذوى النظر) بعضهم وهو ابو الظفر منصور بن احمد السمعاني الشافعي طول صحابه بين المعنعن, ومن روى عنه (ولم يكتف بثبوت اللقاء) (منهج ذوى النظر) الإمام مسلم بن الحجاج لم يشرط ثبوت اللقاء في صحة المعنعن تعاصرا (اى وقوع المعنعن ومن روى عنه في عصر واحد فقط) لإمكان اللقى حينئذ "وادعى الإجماع عليه", بل شنع على من قال بخلافه بأنّ اشتراط ثبت اللقاء: قول مخترع لم يسبق قائله اليه, وان القول الشائع المتفق عليه بين اهل العلم بالإخبار قد يما وحديثا انّه يكفي ان يثبت كونهما في عصر واحد , وان لم يأت في خبر قط انهما اجتمعا او تشافها. (منهج ذوى النظر)
الآقوال في الاتصال (اتصال السند)
في (العلل الكبير:188.1 ) هو حديث حسن
بل هذا خلاف
وكان أحمد بن حنبل يقول: هو حديث صحيح
(كتاب مصطلح الحديث لأحمد بن سليمان أيوب) صفحة: 199 * قيل ان الحديث المعنعن لا يحكم باتصاله, بل منقطع حتى يتبين اتصاله, وكذ المؤنن*(قيل انه مرسل و قيل هو مولد)
* وقيل بالتفرق بينهما: , فالذي بصيغة (ان) لا يحكم باتصاله, بل (انقطع) اى احكم عليه بانه مقطوع حتى يتبين السماع في ذلك الخبر بعينه من جهة اخرى
(محكى عن الامام احمد و الرد يحي في طائفة, الذي بصيغة (عن) احكم بأنه متصل بالشرطين المتقدمين) , (ولكن الجمهور على التسوية بين عن و ان كما تقدم بشرطه). (منهج ذوى النظر)
فاذا قال احدهم مثلا: قرأت على فلان عن فلان او ان فلانا حدثه, فمراده بذالك انه رواه عنه بالاجازة, وذلك لايخرجه عن الاتصال (منهج ذوى النظر) قال ابو محمد بن حزم المعروف بتشدّده في مثل هذاالمجل: اعلم ان العدل اذا روى عمّن ادركه من العدل, فهو على اللقاء و السماع سواء قال: اخبرنا, حدثنا, او عن فلان, قال فلان فكلّ ذلك محمول على السماع منه قال العراقي: لقائل ان يفرّق بان للصحابي مزية حيث يحصل بارساله, بخلاف غيره) (منهج ذوى النظر) قال ابن عبد البر: ولا اعتبار بالحروف و الالفاظ , انما هو باللقاء و السماع والمشاهدة , و لا معنى لإشتراط تبين السماع لإجماعهم على أنّ الإسناد المتّصل بالصحابي , سواء اتى فيه بعن او بان او بقال او بسمعت فكله متصل (منهج ذوى النظر)
قال ابن عمر ان النبي صلى الله عليه و سلم قال: بالغواعني ولو اية.
“Abdullah ibn Umar brkata, “bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Sampaikanlah olehmu daripadaku (apa yang kamu dengar daripadaku) walaupun yang kamu dengan itu hanya satu ayat (sepotong perkataan) saja”. (HR. Bukhari)
Hukum hadits mu’annan, menurut Imam Ahmad dan sekelompok ulama adalah hadits munqathi’ sampai jelas ittishalnya. (Munqathi’: penulis kurang setuju dengan pendapat ini)
BAB XVI
ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL
A. Pengertian Jarh wa ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang.
Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Sedangakan Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa atau lawan dari durhaka . Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima, Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan). Dan At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
B. Perkembangan Ilmu Jarh wa ta’dil
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang, diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya : ”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).
Hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam menerangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat Takdil untuk menjaga syari’at atau agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
Artinya: ”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka.”
Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,
”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat.”
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : ”Bagaimana dengan hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,”Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
C. Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh Wat-Ta’dil
Tingkatan At-Ta’dil:
1. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan افعل dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2. Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh.
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : الصدق, امانة (dipercaya), محل الحديث (tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsiqahan perawi tersebut).
5. Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6. Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).
Hukum Tingkatan Al-Ta’dil:
1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
Tingkatan Al-Jarh:
1. Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2. Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5. Tingkatan Kelima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsukan hadits).
6. Tingkatan Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh:
1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
BAB XVII
TAKHRIJ AL-HADIS
A. Pengertian Takhrij Al-Hadits.
Kata “Takhrij” adalah bentuk masdar dari kata kerja “خرّج, يخرّج, تخريجا”. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa : “menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah.
Kata lain yang hampir sama (sinonim) dengan takhrij adalah “ ikhraj”. Kata dasar dari keduanya adalah “khuruj”. Dari kata ini dapat dibentuk kata makhraj (isim makan), yang berarti tempat keluar. Sehubungan dengan masalah ini ada kata – kata ahli Hadits untuk mengomentari beberapa Hadits, seperti diketahui tempat keluarnya atau tidak diketahui tempat keluarnya. Yang dimaksud tempat keluar (makhraj) dalam kalimat itu adalah tempat dari mana hadits itu keluar, yakni rangkaian orang yang meriwayatkannya, karena melalui jalan merekalah Hadits itu keluar.
Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti;
االتخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته بسنده. ثم بيان مرتبته عند الحاجة
المراد بالدلالة على موضع الحديث, ذكر المؤلف التي يوجد فيها ذلك الحديث كقولنا مثلا : أخرجه البخاري في صحيحه إلخ.
Artinya :
“Menunjukkan letak Hadits dalam sumber – sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits dalam sumber – sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits itu bila perlu. Menunjukkan letak Hadits suatu Hadits berarti menunjukkan sumber – sumber dalam Hadits itu diriwayatkan, misalnya pernyataan أخرجه البخاري في صحيحه (Al-Bukhori mengeluarkan Hadits dari kitab sahihnya).
Sumber-sumber Hadits yang asli (primer) dimaksud adalah kitab- kitab Hadits, dimana para penyusunannya menghimpun Hadits-hadits itu melalui penerimaan dari guru-gurunya dengan rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi SAW. seperti kitab al- sittah (sahih, al-Bukhori, Muslim, Abu dawud, al- Turmudzi, al-Nasa’I, dan Ibnu Majah). Muwatha’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak al-Hakim. Atau kitab-kitab Hadits yang menghimpun, meringkas atau membuat athraf (semacam kitab/hadits yang penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadist yang menunjukkan keseluruhannya). bagi kitab – kitab yang termasuk kategori di atas seperti al-Jami’ bayna al-sahihain karangan Al-Hamidi. Atau kitab – kitab non Hadits (seperti : tafsir, tarikh, fiqh, dan sebagainya) yang didalamnya terdapat hadits –hadits yang oleh penyusunnya dibawakan sendiri sanadnya sampai kepadanya, artinya Hadits itu tidak dikutip dari kitab lain, seperti : tafsir al-Thabari, tarikh al-Thabari, al-Umm al-Syafi’i .
Dari beberapa kitab hadits yang tidak dianggap sebagai sumber – sumber Hadits yang asli (primer) seperti : kitab –kitab yang isinya menerangkan tentang masalah hukum, contoh kitab bulughul maram min adillatil Al- ahkam karangan Al-hafidz ibnu hajar, begitu juga kitab-kitab hadits yang menghimpun urutan – urutan Alphabet arab contoh kitab Al-jami’ Al-shaghir karangan Imam Al-suyuthi dan kitab kitab hadis lain yang mengumpulkan hadis – hadis yang telah disebutkan diatas seperti kitab Al-arbai’n nawawiyah dan kitab riyadhus As-shalihin karangan Imam nawawi .
B. Macam – Macam takhrij
Adapun macam-macam takhrij itu ada 3 :
a. Takhrij Muwassa’.
b. Takhrij wasath atau mutawassith.
c. Takhrij Mukhtashar .
Berikut penulis makalah akan menjelaskan pengertian masing-masing takhrij diatas :
a. Takhrij al-Muwassa’ adalah
هوغاية التخريج ونهاية المطاف،وهو التخريج الذي يقوم فيه المخرِّج بإيراد الحديث بأسانيده مع الكلام على رواته وبيان درجته وتوضيح الغامض في متنه،ثم يذكر ما يكون له من شواهد،وما يقع فيه من علل.
Artinya : “Takhrij yang dibentuk oleh mukhorrij (orang yang mengeluarkan hadits) dengan cara mendatangkan hadits berserta sanad-sanadnya, mengomentari rowi, menjelaskan hal yang samar pada matannya lalu menyebutkan syahid dan ilat – ilatnya dalam hadits”.
Adapun takhrij ini terdapat pada kitab badrul al-Munir karangan Ibnu al- Mulqin 10 jilid, kitab Nashbu al-Rayyah karangan az-Zailai’I 4 jilid dan kitab Ikhbarul al-Ahya’ bi al- akhbaaril al-ihya’ karangan Imam al-I’raqi
Adapun motif dari takhrij muwassa’ ini adalah untuk :
1. Memutawatirkan atau mempopulerkan hadits .
Contoh : Hadits tentang mengusap dua muzzah, dalam hadits ini Imam al-Zailai’ mengomentari hukum mengusap dua muzzah, beliau mengungkapkan bahwa hukum mengusap dua muzzah adalah boleh karena adanya dalil sunnah dan khabar – khabar yang mashhur yang membincangkan hadits tersebut. Imam al-zailai’ dari imam abu umar ibnu abdul al-Barr didalam kitabnya al- Istidzkar beliau berkata :
رَوَى عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ نَحْوُ أَرْبَعِينَ مِنْ الصَّحَابَةِ،
Artinya : 40 shahabat meriwayatkan tentang hadits mengusap dua muzzah dari nabi.
وَفِي الْإِمَامِ: قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: رُوِّينَا عَنْ الْحَسَنِ أَنَّهُ قَالَ: حَدَّثَنِي سَبْعُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ
Dan di dalam kitabnya al-Imam, imam ibnu al- Mundzir berkata : kami diriwayatkan hadits ini dari al-Hasan bahwasannya beliau berkata : telah menceritakan pada kami dari 70 shahabat nabi bahwasannya rosulullah pernah mengusap dua muzzah .
Selain itu juga Imam al-Zailai memperluas dalam takhrijnya, dan motif beliau mentakhrij ini bukanlah untuk menshahihkan hadits dan menolak ilat akan tetapi beliau mentakhrij hadits ini tujuannya hanyalah untuk memutawatirkan dan mempopulerkan hadits .
2. Mengungkapkan ilat atau menolaknya yang tertera dalam hadits, kemudian menghimpun dan mengadakan riset (penelitian) periwayat hadits yang mempunyai peranan penting dalam memastikan dan menolak ilat dalam hadits.
Dalam hal ini imam Ibnu al- Madini berkata :
" الحديثُ إذا لم تجمع طرقه لم تكشف علته".
Artinya : Jikalau hadits itu tidak terhimpun periwayatnya maka ilatnya tidak akan tersingkap.
Contoh : Hadits tentang dua qullah yang ditakhrij oleh Imam al-Daruthni didalam kitab sunannya dari 25 periwayat, dan pula beliau mampu menolak ilat hadits itu karena asumsi para ulama mengenai kekacauan hadits tersebut .
b. Takhrij wasath atau mutawassith
وهو تخريجٌ بين المطوَّل والمختصر،يعني فيه المخرِّج بذكر روايات الحديث المشهورة.
Artinya: Takhrij wasath atau mutawassith adalah takhrij diantara takhrij yang panjang dan ringkas, maksudnya si mukhorrij (orang yang mengeluarkan hadits) menyebutkan perowi hadits yang masyhur.
Adapun Takhrij ini terdapat dalam kitab al-Kasyfu al-Mubin An takhrij ahadiitsii ihya ulumuddin karangan al-Iraqi, kitab al-Talkhish al-Habir karangan hafidz ibnu hajar, kitab khulashoh al-Badrul munir karangan Ibnu al-Mulqin, dan beliau ketika menjelaskan manhajnya di dalam kitab khulashoh beliau berkata : Motif saya dalam mentakhrij hadits yaitu untuk menyebutkan periwayat yang paling shohih dan hasan, dan di dalam maqalah – maqalah beliau tentang periwayat yang paling rojih (unggul), beliau memberikan isyarat dengan perkataannya yaitu dengan lafadz ) متفق عليه telah disepakati). Isyarat beliau ini muncul ketika yang meriwayatkannnya adalah Imam muhadditsin yaitu Imam Abu abdillah Muhammad ibnu ismail ibnu Ibrahim ibnu bardazbah al-Ju’fi al-Bukhori dan Abu al-Husain muslim Ibnu al-Hujjaj al-Qusyairi an-Nasyaaburi, dan beliau juga berkata : رواه الأربعة (diriwayatkan oleh 4 imam) ketika yang meriwayatkannya adalah Imam al-Turmudzi didalam kitab jami’nya dan Abu dawud, an-Nasaii dan Imam ibnu majah didalam kitab sunannya. Dan beliau juga berkataرواه الثلاثة (diriwayatkan oleh 3 imam ) ketika yang meriwayatkannya adalah Imam yang telah disebutkan diatas di dalam kitab sunannya selain Imam Ibnu majah .
c. Takhrij mukhtashar
هو التخريج الذي يقتصر فيه المؤلف على رواية الحديث بأقوى أسانيد المؤلف أو بأعلاها وأشهرها - من حيث السند- وأدل ألفاظها وأدقها في العبارة عند مؤلفه على المعاني والأحكام - من حيث المتن-.
Yang dimaksud dengan takhrij Mukhtashar adalah Takhrij yang diringkas oleh pengarang kitab pada periwayatan hadits dengan sanad-sanad Muallif yang lebih akurat atau dengan sanad- sanad muallif yang paling atas dan yang paling mashhur (terkenal) ditinjau dari segi sanad dan dengan lafadz yang lebih mengena dan lembut dalam ungkapannya tentang makna dan hukum – hukum menurut muallif ditinjau dari segi matan (konteks) hadits.
Didalam takhrij ini ada 2 macam metodenya :
1. Takhrij dengan riwayah maksudnya adalah para ulama hadits mencantumkan sebagian perowi hadits dari beberapa perowi hadits yang ada kerena ada tujuan menurut pandangan salah satu dari ulama tersebut. Seperti kitab as-Shahih nya Imam bukhari yang diringkas dari kitab Musnad al-Kabir yang sebagian sanadnya yang shohih di tiadakan oleh beliau. Begitu pula kitab shahih ibnu al-Khuzaimah
2. Takhrij dengan penisbatan atau Ihalah (memindah) seperti kitab al-Muntaqa minal badril munir karangan Ibnu al-Mulqin, dan kitab at-Tarhib wa at-Tarhib karangan al-Mundziri, yang menjelaskan didalam muqaddimahnya, bahwa kitab tersebut mentakhrij kitab mukhtasshar .
C. Pengertian kutub al-Ashliyyah
Yang dimaksud dengan kutub al-ashliyyah adalah Kitab-kitab yang asalnya tanpa bersanad kemudian menjadi kitab yang bersanad.
Kutub al-Ashliyyah itu terdapat pada kitab al-Adzkar an-Nawawi karangan Imam nawawi, kitab ini sebenarnya asalnya tidak bersanad setelah di takhrij kitab tersebut menjadilah nama kitab Nataijul afkar karangan Ibnu hajar yang bersanad sehingga kitab al-Adzkar nawawi yang asalnya itu tidak bersanad menjadi bersanad yakni dengan sanadnya Imam ibnu hajar, termasuk diantaranya kitab asal yaitu kitab musnad as-Syihab karangan Imam al-Qadaii’ yang mana beliau menamainya dengan kitab as-Syihab di dalam kitab ini menerangkan beberapa hukum nabawiyyah, dan hadits – hadits yang patut untuk dijadikan sebagai contoh yang umum, kitab as-Syihab yang dikarang oleh Imam al-Qadhaii ini pada dasarnya adalah kitab tampa bersanad kemudian beliau sendiri mengarang kitab ini dengan menjadikan kitab yang bersanad dan beliau menamainya kitab musnad as_syihab, dan diantara kitab asli yang asalnya tanpa bersanad yaitu kitab al-firdaus karangan Imam- ad-Dilami sehingga Anak dari pengarang ini mensanadkan hadis-hadis kitab ayahnya dan beliau meriwayatkannya sampai pada Nabi Muhammad SAW, setelah itu kitab ini dinamai dengan kitab musnad al-Firdaus karangan Abu manshur syahradar Ibnu syairawih ad-dailami yang asal karangan ayahnya tidak bersanad kemudian menjadi kitab yang bersanad .
D. Metode Takhrij Al-hadits
Sebelum seseorang melakukan takhrij suatu hadits, terlebih dahulu ia harus mengetahui metode atau langkah-langkah dalam takhrij sehingga akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dan tidak ada hambatan. Pertama yang perlu di maklumi adalah bahwa teknik pembukuan buku-buku hadits yang telah dilakukan para ulama dahulu memang beragam dan banyak sekali macam- macamnya. Di antaranya ada yang secara tematik, pengelompokan hadits didasarkan pada tema-tema tertentu seperti kitab Al- Jami Ash-Shahih li Al-Bukhori dan sunan Abu Dawud. Diantaranya lagi ada yang didasarkan pada huruf permulaan matan hadits diurutkan sesuai dengan alphabet Arab seperti kitab Al-Jami Ash-Shaghir karya As- Suyuthi dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh para ulama dalam rangka memudahkan umat Islam untuk mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada .
Karena banyaknya teknik dalam pengkodifikasian buku hadits, maka sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan teknik buku hadits yang ingin diteliti. Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam arti penulusuran hadits dari sumber buku hadits yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafdzi), Takhrij dengan tema (bi al-maudhui), takhrij dengan permulaan Matan (bi Awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij melalui pengetahuan tentang sifat khusus atau sanad hadits. Mari kita praktekkan satu – persatu di perpustakaan :
1. Takhrij dengan kata (bi al-lafzhi)
Metode takhrij pertama ini penulusuran hadits melalui kata/lafal matan hadits baik dari permulaan, pertengahan, dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan metode takhrij ini salah satunya yang paling mudah adalah Kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Hadits An-Nabawi yang disusun A.j. Wensinck dan kawan-kawannya sebanyak 8 jilid.
Maksud takhrij dengan kata adalah takhrij dengan kata benda (kalimah isim) atau kata kerja (kalimah fi’il) bukan kata sambung (kalimah huruf) dalam bahasa Arab yang mempunyai asal akar kata 3 huruf. Kata itu diambil dari salah satu bagian dari teks hadis yang mana saja selain kata sambung/ kalimah huruf kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa Arab yang hanya tiga huruf, kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa Arab yang hanya tiga huruf yang disebut dengan fiil tsulatsi. Jika kata dalam teks hadis yang dicari kata: مسلم misalnya, maka harus dicari asal akar katanya yaitu dari kata : سلم setelah itu baru membuka kamus bab س bukan bab م. Demikian juga jika kata yang dicari itu kata: يلتمس maka akar katanya adalah: لمس kamus yang dibuka adalah bab ل bukan bab ي dan begitu seterusnya .
Kamus yang digunakan mencari hadis adalah Al-Mu’jam Al-Mufahras li-Alfazh Al-Hadits An-Nawawi. Kamus ini terdiri dari 8 jilid, disusun oleh tim orientalis di antaranya adalah Arnold JohnWensinck atau disingkat A.J.Wensinck (w.1939M) seorang profesor bahasa-bahasa Semit termasuk bahasa Arab di lafal dan penggalan matan hadis, serta mensistimatisasikannya dengan baik berkat kerja sama dengan Muhammad Fuad Abdul Baqi. Untuk kegiatan takhrij dalam arti kegiatan penelusuran hadis dapat diketahui melalui periwatan dalam kitab-kitab yang ditunjukkannya . Lafal-lafal hadis yang dimuat dalam kitab Al-Mu’jam ini bereferensi pada kitab induk hadis sebanyak 9 kitab yaitu sebagai berikut :
a) Shahih Al-Bukhari dengan diberi lambang :خ
b) Shahih Muslim dengan lambang: م
c) Sunan Abu Dawud dengan lambang:د
d) Sunan At-Tirmidzi dengan lambang:ت
e) Sunan An-Nasa’I dengan lambang :ن
f) Sunan Ibnu Majah dengan lambang :جه
g) Sunan Ad-darimi dengan lambang :دي
e) Muwatha’ Malik dengan lambang :ط
f) Musnad Ahmad dengan lambang :حم
Contoh hadis yang ingin ditakhrij :
لا تدخلون الجنة حتى تؤمنوا ولا تؤمنوا حتى تحابوا
Pada penggalan teks diatas dapat ditelusuri melalui kata-kata yang digaris bawahi. Andaikata dari kata تحابو dapat dilihat bab ح dalam kitab Al-mu’jam karena kata itu berasal dari kata حبب. Setelah ditelusuri kata tersebut dapat ditemukan di Al-Mu’jam juz 1 hlm.408 dengan bunyi :
م إيمان 93, أدب, 131. ت صفة القيامة 54, إستئذن 1, جه مقدمة 9, أدب 11, حم 1, 165
Maksud ungkapan diatas adalah :
93 إيمان م = Shahih Muslim kitab iman nomor urut hadits 93
131 أدب د = Sunan Abu Dawud kitab Al-Adab nomor urut bab 131.
صفة القيامة 54 ,إستئذان1 ت = Sunan At-Tirmidzi kitab sifah al- qiyamah nomor urut bab 54 dan kitab isti’dzan nomor urut bab1
جه مقدمة 9, ادب 11 = Sunan Ibnu Majah kitab Mukadimah nomor urut bab 9 dan kitab Al-Adab nomor urut bab 11.
حم 1, 165 = Musnad Imam Ahmad bin Hanbal juz 1 hlm. 165.
Pengertian nomor-nomor dalam Al-Mu’jam secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Semua angka sesudah nama-nama kitab atau bab pada Shahih Al-Bukhori Sunan Abu Dawud, sunan At-tirmidzi, Sunan An-Nasa’I, sunan Ibnu Majah dan sunan ad-Darimi menunjukkan angka bab bukan angka hadis.
b. Semua angka sesudah nama-nama kitab atau bab pada shahih Muslimdan muwataha’ Malik menunjukkan angka urut hadis bukan angka bab.
c. Dua angka yang ada pada kitab Musnad Ahmad angka yang lebih besar menunjukkan angka juz kitab dan angka sesudahnya atau angka yang biasa menunjukkan halaman. Hadis Musnad Ahmad yang berada di dalam kotak bukan yang di pinggir atau diluar kotak.
Al-Mu’jam hanya menunjukkan tempat hadis tersebut dalam berbagai kitab hadis sebagaimana diatas. Maka tugas peneliti berikutnya menelusuri Hadis tersebut ke dalam berbagai kitab hadis sesuai dengan petunjuk Al-Mu’jam untuk dihimpun dan dianalisis perbandingan .
Metode takhrij dengan laladz ini mepunyai kelebihan dan kekurangan. Dintara kelebihannya adalah hadis dapat dicari melalui kata mana saja yang diingat peneliti tidak harus dihapal seluruhnya dan dalam beberapa kitab hadis. Sedangkan di antara kesulitannya adalah seorang peneliti harus menguasai Ilmu Sharaf tentang asal usul suatu kata.
2. Takhrij dengan tema (bi al-mawdhui)
Arti takhrij kedua ini adalah penelusuran hadis yang didasarkan pada topic (mawdhui), misalnya bab Al-Khatam, Al-Khadim, Al-Ghusl, Adh-Dhahiyah, dan lain-lain. Seorang peneliti hendaknya sudah mengetahui topic suatu hadis kemudian ditelusuri melalui kamus hadis tematik . Salah satu kamus hadis tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi, terjemahan dari aslinya bebahasa Inggris A Handbook of Early Muhammadan karya A.J.Wensink pula. Dalam kamus Hadis ini dikemukakan berbagai topic baik berkenaan dengan petunjuk – petunjuk Rasulullah maupun berkaitan dengan nama. Untuk setiap topic biasanya disertakan subtopic dan untuk setiap sub topik dikemukakan data hadis dan kitab yang menjelaskannya .
Kitab – kitab yang menjadi referensi kamus Miftah tersebut sebanyak 14 kitab lebih banyak dari pada Takhrij bi Al-Lafzi di atas yaitu 8 kitab sebagaimana di atas ditambah 6 kitab lain. Masing-masing diberi singkatan yang spesifik yaitu sebagai berikut :
a) Shahih Al-Bukhori dengan diberi lambang : بخ
b) Shahih Muslim dengan lambing :مس
c) Sunan Abu dawud dengan lambing :بد
d) Sunan At- Tirmidzi denagn lambing :تر
e) Sunan An-Nasa’I dengan lambing :نس
f) Sunan Ibnu majah dengan lambang :مج
g) Sunan Ad-Darimi dengan lambang :مي
h) Muwaththa’ Malik dengan lambang :ما
i) Musnad Ahmad dengan lambang :حم
j) Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi :ط
k) Musnad Zaid bin Ali :ز
l) Sirah Ibnu Hisyam :هش
m) Maghazi Al- Waqidi :قد
n) Thabaqat Ibnu Sadin : عد
Kemudian arti singkatan – singkatan lain yang dipakai dalam kamus ini adalah sebagai berikut :
a) Kitab = ك
b) Hadis = ح
c) Juz = ج
d) Bandingkan (qobil) = قا
e) Bab = ب
f) Shahifah= ص
g) Bagian( qismun)= ق
Misalnya ketika ingin men-takhrij hadis :
صلاة اليل مثنى مثنى
Hadis tersebut temanya shalat malam (Shalat al-layl). Dalam kamus miftah dicari pada bab Al-Layl tentang shalat malam yaitu dihalaman 430. Di sana dicantumkan sebagai berikut :
بخ-ك 8 ب 84, ك145ب 1, ك 19ب 10
مس – ك 6 ح 145 – 148
بد – ك 5 ب 24
تر – ك 2 ب 206
مج – ك 2 ب 155 , 21
ما – ك 7 ح 7, 13
ما – ك 7 ح 7, 13
حم –ثان ص 5, 9, 10
Maksudnya hadis tersebut adanya dalam :
Al-Bukhori, nomor urut kitab 8 dan nomor urut bab 84, nomor urut kitab 145, nomor urut bab 1, nomor urut kitab 19 dan nomor urut bab 10.
Muslim, nomor urut kitab 6 dan nomor urut hadis 145- 148.
Abu Dawud, nomor urut kitab 5dan nomor urut bab 24.
At-Tirmidzi, nomor urut kitab 2 dan nomor urut bab 206.
Ibnu Majah, nomor urut kitab 5dan nomor urut bab 172.
Ad- darimi nomor urut kitab 2 dan nomor urut bab 155 dan 21.
Muwaththa’ Malik, nomor urut kitab 7 dan nomor urut hadis 7 dan 13.
Ahmad, juz 2 halaman.5,9, dan 10.
Diantara kelebihan metode ini, peneliti mengetahui makna hadis saja tidak diperlukan harus mengingat permulaan matan teks hadis, tidak perlu harus menguasai asal usul akar kata dan tidak perlu juga mengetahui sahabat yang meriwayatkannya. Di samping itu peneliti terlatih berkemampuan menyingkap makna kandungan hadis. Sedang diantara kesulitannya adalah terkadang peneliti tidak memahami kandungan hadis atau kemungkinan hadis memiliki topik berganda .
3. Takhrij dengan Permulaan Matan (bi awwal al-matan)
Takhrij menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab mim, jika diawali dengan huruf ba maka dicari pada bab ba dan seterusnya. Takhrij seperti ini di antaranya dengan menggunakan kitab Al-jami’ Ash-Shaghir Atau Al-Jami’ Al-kabir karangan As-Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul, karya Ibnu Al-Atsir.
Kitab Al-jami’ Ash-Shaghir nama lengkapnya Al-Jami’ Ash-Shaghir fi Ahadits Al-Basyir An-Nadzir, salah satu kitab karangan As-Suyuthi (w.911 H). Dia seorang ulama hadis yang memiliki gelar Al-Musnid (gelar keahlian meriwayatkan hadis beserta sanadnya) dan Al-Muhaqqiq (peneliti) dan hapal 200.999 hadis . Sebuah kitab yang menghimpun ribuan hadis yang terpilih dan yang singkat-singkat dipetik dari kitabnya yang besar jam’u al- jawami’ , terdiri dua juz susunan hadis kitab ini sesuai dengan urutan alphabet Arab alif, ba, ta, tsa, ja, ha, kha dan seterusnya….jika seorang peneliti ingin mencari hadis melalui kitab ini harus ingat huruf apa permulaan hadisnya, kemudian membuka kitab tersebut pada bab yang sesuai dengan huruf permulaan tersebut.
Misalnya ketika ingin mencari hadis yang populer di tengah – tengah santri dan mahasiswa :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Kita buka kitab Al-Jami’ Ash- Shaghir bab ط kita temukan pada juz 2 hlm. 54 ada 4 tempat periwayatan disebutkan yaitu sebagai berikut :
طلب العلم فريضة على كل مسلم ) عد هب ) عن انس (طص خط) عن الحسين بن علي (طس) عن ابن عباس, تمام عن ابن عمر (طب) عن إبن مسعود (خط) عن علي (طس هب) عن أبي سعيد (صح)
طلب العلم فريضة على كل مسلم ، وواضع العلم عند غير أهله
كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب (ه) عن أنس (ض)
طلب العلم فريضة على كل مسلم ، وإن طالب العلم يستغفر له كل شئ حتى الحيتان في البحر, إبن عبد البر في العلم عن أنس (صح)
طلب العلم فريضة على كل مسلم ، والله يحب إغاثة اللهفان (هب) إبن عبد البر في العلم عن أنس (صح).
Keterangan lambang – lambang di atas :
a.هب ) عد( = Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil
b. (طص خط)= Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghir, خط = Al-Khathib
c. (طس)= Ath-Thabarani dalam Al-Awsath
d.(طب) = Ath-Thabarani dalam Al- kabir
e.صح) )= Hadis Shahih
f. (ه)=Ibnu Majah
g. (ض)= Hadis Dhaif
h. (صح) =Hadis Shahih
i. هب)) = Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.
j. (صح) = Hadis Shahih
Dari hasil takhrij di atas ditemukan bahwa seluruh hadis hanya menyebutkan sampai مسلم tidak ada yang menyebutkan ومسلمة akan tetapi yang beredar selalu menyebutkan seperti itu, mungkin ada rujukannya asal dalam kitab hadis yang dapat dipedomani. Kualitasnya shahih 3 tempat dan yang satu dha’if.
Lambang –lambang singkatan sebagaimana di atas mempunyai makna dan telah dijelaskan oleh penyusunnya As-Suyuthi dalam Mukadimahnya, bagi yang ingin mengetahui secara menyeluruh dapat buka kitab Al-Jami’ Ash-Saghir bab Mukaddimah.
Di antara kelebihan metode ini adalah dapat menemukan hadis yang dicari dengan cepat dan mendapatkan hadisnya secara utuh atau keseluruhan tidak penggalan saja sebagaimana metode-metode sebelunya. Akan tetapi, kesulitannya bagi seseorang yang tidak ingat permulaan hadis. Khawatir hadis yang diingat itu sebenarnya penggalan dari pertengahan atau akhiran hadis bukan permulaannya .
4. Takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-ala).
Takhrij ini menelusuri hadis melalui sanad yang pertama atau yang paling atas yakni para sahabat (muttasil isnad) atau tabi’in (dalam hadis mursal). Berarti peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanadnya di kalangan sahabat atau tabi’in, kemudian dicari dalam buku hadis Musnad, atau Al-Athraf. Diantara kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab Musnad atau Al-Athraf. Seperti Musnad Ahmad bin Hambal, Tuhfat As-Asyraf bi Ma’rifat Al-Athraf karya Al-Mizzi dan lain-lain. Kitab Musnad adalah pengkodifikasian hadis yang sistematikanya didasarkan pada nama – nama sahabat atau nama- nama tabi’in sesuai dengan urutan sifat tertentu . Sedangkan Al-Athraf adalah kitab hadis yang menghimpun beberapa hadisnya para sahabat atau tabi’in sesuai dengan urutan alphabet Arab dengan menyebutkan sebagian dari lafal hadis.
Adapun manfaat dari kitab Athraf, antara lain adalah:
1. Memberi informasi tentang berbagai sanad hadits yang berbeda-beda secara keseluruhan dalam satu tempat. Dengan demikian dapat diketahui dengan mudah apakah Hadits itu gharib, aziz, atau masyhur;
2. Memberikan informasi tentang siapa saja di antara para penyusun kitab- kitab hadits yang meriwayatkannya dan dalam bab apa mereka mencantumkan; dan
3. Memberikan informasi tentang jumlah hadits setiap sahabat yang diriwayatkan Hadits dalam kitab-kitab yang dibuat athraf-nya .
Mengingat kitab athraf ini hanya menyebutkan sebagian matan hadits, maka untuk mengetahuinya secara lengkap masing- masing perlu merujuk kepada kitab sumber yang ditunjukkan oleh kitab athraf tersebut.
Cukup banyak kitab Musnad pada awal abad kedua Hijriyah, di antaranya yang sangat populer adalah Musnad Ahmad bin hanbal (w.241 H). Sesuai dengan masa perkembangannya latar belakang penulisannya agar mudah dihapal, beberapa hadis dikelompokkan berdasarkan pada sahabat yang meriwayatkannya. Kitab ini memuat sekitar 30.000 hadis sebagian pendapat 40.000 buah hadis secara terulang-ulang (mukarrar) sebanyak 6 jilid besar. Sistematikanya tidak di sesuaikan dengan urutan alphabet Arab, tetapi didasarkan pada sifat-sifat tertentu, yakni pertama sepuluh orang sahabat Nabi yang digembirakan surga, kemudian musnad sahabat empat, musnad sahabat ahli bait, musnad sahabat-sahabat yang populer, musnad sahabat dari Mekkah (Al-Makiyyin),dari syam (Ash-Syammiyyin), dari kufah, Bashrah, sahabat Anshar, sahabat wanita, dan dari Abu Ad-Darda.
Bagaimana Mentakhrij sebuah hadis berikut dalam musnad Ahmad :
عن أنس بن مالك قال أمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة
Sahabat perawi sudah diketahui yaitu Anas bin Malik, terlebih dahulu Nama Anas itu dilihat pada daftar isi (mufahras) sahabat pada awal kitab Musnad, maka didapati adanya sahabat Anas pada juz 3 h. 98. Bukalah persatu hadis yang ingin dicari sampai ditemukan, maka ditemukan pada halaman 103. Dari pentakhrijan ini dapat dikatakan : Hadis tersebut ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz 3 h. 103.
Diantara kelebihan metode takhrij ini adalah memberikan informasi kedekatan pembaca dengan dengan pen-takhrij hadis dan kitabnya. Berbeda dengan metode-metode lain hanya memberikan informasi kedekatan dengan pentakhrijnya saja tanpa kitabnya. Sedang kesulitan yang dihadapi adalah jika seorang peneliti tidak ingat atau tidak tahu nama sahabat atau tabi’in yang meriwayatkannya, di samping campurnya berbagai masalah dalam satu bab dan tidak terfokus pada satu masalah .
5) Metode takhrij melalui pengetahuan tentang Sifat khusus atau sanad Hadits.
Yang dimaksud dengan metode takhrij ini, ialah memerhatikan keadaan-keadaan dan Sifat Hadits, baik dalam matan maupun sanadnya, kemudian mencari asal hadits-hadits itu dalam kitab-kitab yang khusus mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai keadaan atau sifat tersebut , baik dalam matan maupun sanadnya. Yang pertama diperhatikan adalah kedaan atau sifat yang ada pada matan, kemudian yang ada pada sanad, dan selanjut-nya yang ada pada matan, kemudian yang ada kedua-duanya.
a) Matan
Apabila pada matan hadits itu tampak tanda-tanda ke-maudhu’an, baik karena rendahnya bahasa atau karena secara jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang sahih, maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal Hadits itu adalah mencari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits maudhu’. Dalam kitab ini akan diterangkan dengan jelas hal tersebut . Kitab semacam ini adalah yang disusun secara alfabetis, antara lain “ kitab al-Mashnu’fi Ma’rifah al-Hadits al-Maudhu’ li al-Syaikh ‘ila al-Qari’ al-harawi. “Dan ada pula yang secara tematis, antara lain; kitab Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syafiah al-Mawdhu’al-li al-kanani .
Apabila Hadits yang akan di-takhrij itu termasuk Hadits Qudsi, maka sumber yang paling mudah untuk mencarinya adalah kitab yang mengumpulkan Hadits-hadits Qudsi secara tersendiri, antara lain:”kitab Misykah al-Anwar fina Ruwiya’an Allah SAT, min al Akbar li Ibn Arabi”. Kitab ini mengumpulkan 101 Hadits lengkap dengan sanadnya. Dan kitab al-Ittihafat al-Saniyyah bil-ahaadits al-Qudsiyyah karangan syekh Abdur-Rouf al-Manawi, beliau mengumpulkan 272 hadits tanpa sanad dan menyusun huruf secara alfabethis .
b) Sanad
Apabila di dalam sanad suatu Hadits ada ciri tertentu, misalnya isnad itu mursal, maka Hadits itu dapat dicari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan Hadits-hadits mursal, seperti:”al-Marasil li Abi Hatim Abd al-Rahman bin Muhammad al-Handhali al-Razi”, atau mungkin ada seseorang perawi yang lemah dalam sanadnya, maka dapat dicari dalam kitab”Mizan al-I’tidal li al-Dzahabi” .
c) dan sanad
Ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanadnya, misalnya:ada illah(cacat) atau ibham (samar-samar). Maka untuk mencari Hadits-hadits semacam itu, yaitu:
a. I’lal al-hadits li Ibn Abi Hatim al-Razi.
Kitab ini tersusun dari beberapa bab, menyebutkan hadits – hadits yang terkena ‘ilat didalam bab tersebut dan sekaligus menjelaskannya .
b. Al-Mustafad min Mubhamat al-Matan wa al-Isnad Ali Abi Zar’ah Ahmad bin Abd al-Rahim al-‘Iraqi .
E. Contoh penerapan Metode takhrij Al-hadits
Dalam hal ini penulis makalah membuat salah satu contoh penerapan metode takhrij al-Hadits, dengan menggunakan metode yang pertama, yaitu “metode takhrij al-Hadist melalui pengetahuan salah satu lafadz hadis”. Cara-cara lainnya dapat dikembangkan sendiri. Perbedaannya hanya terletak pada kitab rujukannya.
Misalnya : kita ingin mencari lafadz hadis tentang اللقطة (barang temuan) secara lengkap dan meneliti kualitas sanadnya. Dengan mengingat secuil lafadz اللقطة kita dapat melacak lewat kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Nabawi oleh A.J. Wensink. Karena kitab ini disusun menurut urutan alfabetis, maka kita bisa mencarinya pada huruf lam untuk lafadz اللقطة. Dengan mencari lafadz tersebut pada kitab al-Mu’jam , maka akan ditemukan kode, antara lain :
حم,192, 5,116,4,ط اقضية 46
Yang berarti :
1. Hadist tentang اللقطة itu dapat ditemukan dalam kitab Musnad Ahmad Ibnu Hanbal Juz 4 halaman 16; atau pada juz V halaman 193.
2. Hadits tentang اللقطة itu dapat ditemukan pada hadits Nomor 46 tentang “Aqdhiyah” di dalam kitab Muwaththa” oleh Imam Malik.
Adapun bunyi hadist selengkapnya tentang اللقطة tersebut, baik di dalam kitab Musnad Ahmad bin hanbal maupun di dalam kitab Muwaththa’Malik adalah sebagai berikut :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad :
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن إسماعيل بن أبي فديك حدثني الضحاك بن عثمان عن أبي النضر مولى عمر بن عبيد الله عن بسر بن سعيد عن زيد بن خالد الجهني أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن اللقطة فقال عرفها سنة فإن جاء باغيها فأدها إليه وإلا فاعرف عفاصها ووكاءها ثم كلها فإن جاء باغيها فأدها إليه.
Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam kitabnya”al-Muwaththa”
حدثني مالك عن ربيعة بن أبي عبد الرحمن عن يزيد مولى المنبعث عن زيد بن خالد الجهني انه قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فسأله عن اللقطة فقال اعرف عفاصها ووكاءها ثم عرفها سنة فإن جاء صاحبها وإلا فشأنك بها قال فضالة الغنم يا رسول الله قال هي لك أو لأخيك أو للذئب قال فضالة الإبل قال مالك ولها معها سقاؤها وحذاؤها ترد الماء وتأكل الشجر حتى يلقاها ربها.
Rangkaian sanad Hadis diatas, baik yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal maupun Imam malik, bila digambarkan sebagai berikut :
Nabi Muhammad SAW
Zaid bin Khalid al-Juhaini
Basar bin sa’id (w.100/101 H) Yazid Maula al-Munbat’its
Abi al-hadhar Maula Rabi’ah bin Abi Abdirrahman (w. 133/136/142 H)
Umar bin Abdullah (w.129)
Al-Dhahhak bin utsman (w.154) Malik (93-179)
Abu bakar al-Hanafi Muhammad bin Ismai’l
Bin Abi Fudaik (w.200 H)
Ahmad bin Hanbal (164-214 H)
Abdullah (213-290)
Al-Qutha’i
Bila kita ingin meneliti kualitas Hadis tersebut, apakah sahih atau dha’if, maka dapat dilakukan penilaian terhadap tiap-tiap perawi yang terdapat dalam sanad Hadits tersebut. Untuk mengetahui masalah ini dapat dibaca kitab-kitab yang membahas tentang rawi-rawi Hadits yang relative lengkap yaitu:
1. Tahdzib al-Tahdzib oleh Ibnu al-Asqalani
2. Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, oleh Ibnu Hajar; atau
3. Mizan al-I’tidal oleh al-Dzahabi, dan lain-lain.
Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa ada jalur sanad hadits yang hendak diteliti, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan sanad hadis yang diriwayatkan oleh Imam malik dalam kitabnya”al-Muwattha”, untuk mengetahuinya berikut penulis akan menjelaskan status perawi-perawi dalam kitab tahdzibnya ibnu hajar.
Pertama sanad hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal.
1. Abdullah
Menurut Al-khatib menyatakan bahwa dia adalah tsiqah,tsabat. Demikian pula pendapat An-nasa’I dan al-sulami bahwa dia adalah tsiqah sedangkan menurut Abu bakar al-Khilal
2. Ayah Abdullah (Ahmad bin Hanbal)
Ibnu Ma’in menyatakan, bahwa aku tidak melihat orang yang lebih baik dan lebih mulia dari Ahmad di Arab sekalipun. Abdurrazaq berkata bahwa, aku tidak melihat orang lebih faqih dan wara’ dari Ahmad. Menurut as-Syafii tidak ada perbedaan pendapat bahwa tidak ada orang yang lebih faqih, lebih zuhud, lebih wara’ dan lebih ‘alim daripada Ahmad. An-Ni’sa’I berkata bahwa, dia adalah tsiqah ma’mun dan salah seorang umam, Ibnu sa’ad juga berkata dia adalah tsiqah,shaduq, dan katsir al-Hadis .
3. Abu Bakar al-hanafi
Menurut al-Atsram dari Ahmad dia adalah tsiqah. Demikian pula pendapat Abu zar’ah, Muhammad bin Sa’ad, al-Ajali bashari, dan al-‘Uqaili bahwa dia adalah tsiqah .
4. Al-Dhahhak bin Utsman
Menurut Ahmad, Ibnu Ma’in, al-‘Ajali, Al-Nisa’I bahwa dia adalah tsiqah. Ibnu sa’ad berkata bawa dia tsiqah, Ibnu Abdilbar berkata bahwa dia tsiqah katsir al-Hadis. Ibnu Abdil bar berkata bahwa para ulama sepakat dia adalah tsiqah tsabat. Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin memasukkannya dalam al-Tsiqah .
5. Abi al-Nadhar
Menurut Ahmad, Ibnu Ma’in, al-‘Ajali, al-sa’I bahwa dia adalah tsiqot. Ibnu Abd al-Barr berkata para ulama sepakat dia adalah tsiqat tsabat. Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin memasukkannya dalam tsiqoh .
6. Basar bin said
Menurut Ibnu Ma’in an-Nasa’I dan al-A’jali Madani bahwaa dia adalah tsiqah. Ibnu sa’ad berkata behwa dia adalah tsiqah katsir al-Hadist. Dan Ibnu Hibban juga memasukkannya kedalam al-Tsiqah .
7. Zaid bin Khalid al-juhani (salah seorang sahabat Nabi SAW.)
Kedua sanad hadis yang diriwayatkan oleh Malik.
1. Malik
Al-Dawri dan ishaq bin manshur dari Ibnu Ma’in berkata bahwa dia adalah tsiqah .
2. Rabi’ah bin Abi Abd al-Rahman.
Dia menerima riwayat/hadis dari yazid Maula al-Munba’its dal lainnya, dan hadisnya antara lain diriwayatkan oleh Malik dan sebagainya. Abu Zar’ah al-Dimasqi dan Ahmad berkata bahwa dia adalah tsiqah. Al-‘Ajali, Abu Hatim dan Al-Nasa’I juga menilainya tsiqah. Ya’qub bin syaiban berkata bahwa dia adalah tsiqah, tsabat, salah seorang mufti di Madinah. Mu’adz bin Mu’adz al-‘Anbari dari siwar al-“anbari berkata : aku tidak melihat seorang mufti di Madinah. Mu’adz bin Mu’adz al-‘anbari dari siwar al-‘anbari berkata : aku tidak melihat seorang yang lebih ‘alim daripadanya dan al-Humaidi Abu Bakar menilainya hafidz.
3. Yazid Mawla al-Munbaits
Dia menerima riwayat /hadis dari Zaid bin Khalid al-juhani dan sebagainya, dan Hadisnya antara lain diriwayatkan oleh Rabi’ah bin Abd al-Rahman. Penilaian terhadap beliau hanya dilakukan oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkannya di dalam al-Tsiqah.
4. Zaid bin Khalid al-Juhani (salah seorang sahabat Nabi SAW).
BAB XVIII
PENGENALAN KUTUB AL-TIS’AH
I. Pembahasan
A. Al-Jami’ Sahih Bukhari
1. Kitab tentang permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW
2. Kitab tentang iman
3. Kitab tentang ilmu
4. Kitab tentang wudhu
5. Kitab tentang mandi besar
6. Kitab tentang tayammum
7. Kitab tentang shalat
8. Kitab tentang tabir pembatas orang yang melakukan shalat
9. Kitab tentang waktu shalat
10. Kitab tentang azan
Adapun sistematika penulisan kitab shahih Al-bukhari disusun dengan membagi beberapa judul tertentu dengan istilah kitab yang berjumlah 97 buah. Istilah kitab dibagi menjadi beberapa sub judul dengan istilah bab yang berjumlah 4.550 buah. Jika diperhatikan sepintas, komposisi kitab dan bab yang tidak sesuai atau kurang relevan. Namun, jika dicermati secara mendalam, setidaknya ada dua hal yang dapat diperoleh:
a. Judul kitab atau bab yang dikemukakan menunjukkan kedalaman pemahaman imam bukhori terhadap kandungan hadist yang disebutkan.
b. Judul kitab dan bab merupakan representasi dari sikap imam bukhari terhadap masalah tertentu. Dengan lain kata, judul tersebut merupakan hasil ijtihadnya tentang kandungan hadist yang dikemukakan.
B. Al-Jami’’ Sahih Muslim
1. Kitab tentang iman
2. Kitab tentang haid
3. Kitab tentang salat
4. Kitab tentang salat safar
5. Kitab tentang salat jum’at
6. Kitab tentang salat id
7. Kitab tentang salat istisqa’
8. Kitab tentang salat atas janazah
9. Kitab tentang puasa
10. Kitab tentang i’tikaf
Muslim tidak menetapkan sarat-sarat tertentu yang dipakai dalam sahihnya, tetapi para ulama’ telah menggali saratnya itu melalui pengkajian terhadap kitabnya. jika dibandingkan dengan kitab koleksi hadis yang lain, sahih muslim memiliki beberapa keunikan, antara lain:
a. Hadis-hadisnya berkualitas sahih berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh muslim.
b. Hadis-hadis yang terhimpun di dalamnya terdapat juga di dalam sahih bukhori, tetapi dengan sanad (mata rantai periwayatan) yang berbeda.
c. Susunan isinya sangat tertib dan sistematis
d. Pemilihan matannya sangat teliti dan cermat
e. Seleksi sanadnya sangat teliti, tidak tumpang tindih, tidak lebih dan tidak kurang.
f. Hadis-hadisnya ditempatkan dan dikelompokkan pada tema-tema tertentu sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan.
Sistematika penulisan kitab Shahih Muslim diakui oleh banyak ulama sebagai sistematika yang lebih baik. Pertama, ia menyebut menempatkan hadis-hadis yang semakna beserta sanadnya dalam satu kelompok tertentu. Kedua, ia menghimpun sanad yang muttafaqun alaihi (disepakati oleh ulama) dan yang tidak dengan metode tahwil (berpindahnya jalur rawi) dengan menggunakan lambang huruf ha( ح). Ketiga, ia lebih banyak mengutip hadis-hadis riwayat bi al-lafzhi. Ini merupakan satu kelebihan di banding hadis-hadis riwayat Imam al-Bukhari. Keempat, ia sangat memperhatikan matan hadis. Jika ada dua rawi yang menyampaikan hadis, maka ia menyebutkan lafaz dari perawi tertentu. Atau juga bila ada ziyadah (tambahan lafaz), maka ia juga menyebutkannya.
C. Sunan At-Tirmidzi
1. Kitab tentang bersisuci
2. Kitab tentang salat
3. Kitab tentang salat jum’at
4. Kitab tentang zakat
5. Kitab tentang puasa
6. Kitab tentang haji
7. Kitab tentang janazah
8. Kitab tentang nikah
9. Kitab tentang menyusui
10. Kitab tentang talaq dan sumpah
Sistematika penulisannya dipandang cukup baik. Pertama, ia merangkum hadis-hadis menyangkut berbagai bidang keagamaan. Kedua, Membuat judul bab dan meletakan satu, dua atau tiga hadis. Ketiga, menunjukan adanya hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain. Keempat, menunjukan kualitas hadis, dan terdakang menjelaskan kualitas rawinya dengan istilah-istilah baru, seperti: shahih, hasan, hasan shahih, shahih gharib, hasan ligharih dan hasan lidzatih. Kelima, menerangkan makna hadis dan pendapat-pendapat hukum ulama.
D. Sunan Abi Daud
1. Kitab tentang bersisuci
2. Kitab tentang salat
3. Kitab tentang zakat
4. Kitab tentang harta temuan
5. Kitab tentang manasik
6. Kitab tentang nikah
7. Kitab tentang talaq
8. Kitab tentang puasa
9. Kitab tentang jihad
10. Kitab tentang sembelihan
Sistematika penulisan sunan abi daud: disusun berdasarkan bab-bab fiqih, 35 kitab dan 1871 bab. Ini berbeda dengan kitab sunan lainnya yang masih memuat pembahasan diluar masalah fiqih seperti keutamaan dalam beramal (fadail al-a’mal), tafsir, dan sebagainya. Dan Sistematika penulisan Kitab Sunan Abu Daud sangat baik. Pertama, ia memberi komentar terhadap kualitas sebagian hadis. Kedua, sangat memperhatikan matan hadis sehingga ia menyebutkan lafaz hadis ini dari si fulan. Demikian pula bila ada tambahan ia pun menyebutkan bahwa pada matan hadis ini ada ziyadah. Ketiga, ia juga menghimpun beberapa jalur sanad yang lain bahkan terkadang sampai tiga jalur sanad untuk satu hadis.
Dalam setiap bab, imam abu daud mengemukakan dua hadis, meskipun banyak hadis yang terkait dengan pembahasan tersebut. Hal itu dia lakukan agar materi hadis lebih mudah dicerna oleh pembacanya.
E. Sunan Ibnu Majah
1. Kitab tentang bersisuci dan sunah-sunahnya
2. Kitab tentang salat
3. Kitab tentang adzan dan sunahnya
4. Kitab tentang masjid dan jamaah
5. Kitab tentang menegakkan salat dan sunahnya
6. Kitab tentang janazah
7. Kitab tentang puasa
8. Kitab tentang zakat
9. Kitab tentang nikah
10. Kitab tentang talaq
F. Sunan An-Nasa’i
1. Kitab tentang bersisuci
2. Kitab tentang air
3. Kitab tentang kiblat
4. Kitab tentang haid dan istihadah
5. Kitab tentang mandi dan tayamum
6. Kitab tentang salat
7. Kitab tentang waktu salat
8. Kitab tentang adzan
9. Kitab tentang masjid
10. Kitab tentang kiblat
G. Sunan Ad-Darimi
1. Kitab tentang bersisuci
2. Kitab tentang salat
3. Kitab tentang zakat
4. Kitab tentang puasa
5. Kitab tentang manasik
6. Kitab tentang berqurban
7. Kitab tentang berburu
8. Kitab tentang makanan
9. Kitab tentang minuman
10. Kitab tentang mimpi
H. Al-Muwatta’ Imam Malik
1. Kitab tentang waktu salat
2. Kitab tentang bersisuci
3. Kitab tentang lupa
4. Kitab tentang salat jumat
5. Kitab tentang salat dalam bulan ramadhan
6. Kitab tentang salat malam
7. Kitab tentang salat jamaah
8. Kitab tentang qasar salat dalam perjalanan
9. Kitab tentang salat id
10. Kitab tentang salat khouf
Dari 5 (five) kitab hadis (suna abu daud, sunan nasa’I, ad-darimi, ibnu majah, muwatta’) diatas sisematika penulisan hadisnya menggunakan sistematika fiqh, karena penulisan kitab hadis tersebut terjadi pada pasca imam mazhab al-arbaah.
I. Musnad Ibnu Hambal
1. Hadist abu bakar as-sidiq
2. Hadist umar ibnu al-hattab
3. Hadist usman bin affan
4. Hadist Ali bin Abi Talib
5. Musnad abi muhamad talhah bin ubaidillah
Sitematika penyusunannya berbeda dengan kitab-kitab koleksi hadist sebelumnya, yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu. Imam ahmad menyusunnya berdasarkan nama sahabat pertama yang meriwayatkan hadist itu dari Nabi. Sahabat-sahabat tersebut disusun dengan klasifikasi yang pertama kali masuk islam, kemudian berdasarkan keturunan (‘asyirah), selanjutnya asal daerah, tempat sahabat tersebut menetap. Oleh karena itu, kata yang sering dijumpai pada kitab ini adalah “musnad” seperti musnad Abi bakr, musnad ‘umar bin al-khattab, musnad ahl-bait, musnad al-madaniyyin, dan sebagainya. Jumlah sahabat nabi yang terhimpun didalam kitab musnad ini mencapai 800 orang, bahkan al-Albani, 904 orang.
BAB XIX
PENGENALAN KUTUB TARAJUM
A. Kitab-Kitab Tentang biografi sahabat
Kitab-kitab biaografi para sahabat sangat penting artinya, terutama untuk mengetahui apakah itu hadist mursal atau hadist mawshul? Karena orang yang tidak mengetahui,apakah perawi yang menyandarkan perkataanya sampai kepada nabi SAW.itu sahabat atau tabi in?oleh karena itu tidak dapat diketahui, apakah suatu hadist riwayatnya mawshul atau mursal?.
Beberapa kitab familiar yang mendata tentang biografi sahabat di antaranya adalah:
1. Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab (الاستعب في معرفة الاصحاب) karya Ibnu Abdil Bar al-Andalusiy
Sesuai dengan namanya kitab ini merupakan kitab yang terbesar di antara kitab-kitab biografi sahabat, karena pengarangnya berusaha menyuguhkan sebagian yang terjadi di kalangan sahabat, sehingga dengan besar hati pengarang memberi judul Al-Isti’ab (pemahaman menyeluruh). Dalam pandangan beliau, kitab ini mencakup seluruh sahabat, meskipun ternyata masih banyak para sahabat yang belum terdeteksi oleh beliau. Kurang lebih ada 35.000 biografi sahabat terekam dalam kitab ini yang disusun memperhatikan huruf setelahnya, kemudian disebutkan perawi yang dikenal nama kunyahnya sesuai dengan urutan huruf hijaiyah, kemudian disebutkan nama sahabat perempuan berikut nama kunyahnya.
2. Usud al-Ghabah fi Ma’rifati Asma’ al-Ashahabah (أسد الغابة في معرفة أسماء الصحابة) karya Izzudin Abi al-Hasan ‘Aliy bin Muhammad bin al-Atsir al-Jazriy (630 H)
Sebuah kitab yang apik yang memuat nama-nama sahabat, karena dengan jerih payahnya pengarang mampu menghimpun, memperbaiki, dan menyusuri kembali. Kitab ini memuat 7554 biografi sahabat yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah sesuai dengan sesuai dengan huruf pertama dan kedua sampai seterusnya, seperti pernyataan pengarangnya dalam muqoddimah kitab ini, juga berdasarkan nama bapak dan kakek serta kabilahnya baru kemudian nama sahabat perempuan dan nama kunyahnya.
3. Al-Ishabah fi Tamyizis-Shahabah (إلاصا بة في تمييز الصحابة) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy (852 H)
Cukup beralasan kiranya ketika menelaan kitab ini, sebuah penilaian bahwa kitab ini merupakan kitab yang luas, karena pengarangnya mencoba menghimpun banyak nama sahabat, yang diambil dari kitab-kitab yang ditulis sebelumnya, kemudian diperbaiki dan disusun kembali dengan editing yang cukup ketat, serta ditambah dengan keterangan kitab-kitab lain. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam seperti yang pernah dilakukan oleh Ibnu al-Atsir. Terlebih dahulu dikemukakan nama sahabat lelaki dan kunyahnya, kemudian nama sahabat perempuan dan kunyahnya sesuai dengan huruf yang pertama dan setiap nama kunyahnya. Kitab ini lebih bagus dibandingkan dengan susunan berdasarkan huruf hijaiyah. Pembahasan kitab ini dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Bagian pertama: tentang orang yang dikenal sebagai sahabat, baik melalui riwayatnya sendiri, riwayatnya orang lain, atau bukti yang menunjukkan, bahwa ia adalah seorang sahabat.
b. Bagian kedua: tentang sahabat kecil yang lahir pada masa Nabi Muhammada SAW, yaitu sahabat yang belum tamyiz (di bawah umur) ketika nabi SAW wafat.
c. Bagian ketiga: tentang muhadharamayn (orang yang hidup dan mengalami masa jahiliyah dan Islam tapi tidak pernah berkumpul dan melihat nabi SAW). Yang disebutkan dalam kitab-kitab sebelum masa Ibnu Hajar. Mereka tidak termasuk sahabat, namun disebutkan dalam kitab ini, karena kedekatannya mereka dalam masa sahabat.
d. Bagian keempat: tentang nama-nama yang diduga sebagai sahabat yang disebutkan dalam kitab-kitab sebelumnya. Kemudian dugaan itu dijelaskan kepastiannya, sahabat atau bukan. Kitab ini mengetengahkan 12267 biografi, 9477 untuk sahabat laki-laki yang dikenal nama aslinya, 1268 untuk sahabat yang dikenal kunyahnya, dan 1568 untuk nama asli dan kunyahnya sahabat perempuan.
B. Kitab-kitab Biografi Perawi Hadits Secara Umum
Model kitab-kitab ini merupakan kitab yang memuat biografi hadits secara umum, tidak spesifik pada biografi perawi hadist kitab tertentu dan perawi yang tsiqah atau dha’if sebagian kitab-kitab yang populer dengan model ini adalah:
1. At-Tarikh al-Kabir (التارخ الكبير), karya al-Bukhoriy (256 H)
Kitab ini disusun oleh al-Bukhoriy dalam bentuk besar, sehingga memuat 12315 biografi. Pada naskah yang telah dicetak diberi nomor urut, yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan memperhatikan huruf pertama dari nama perawi dan nama bapaknya. Tetapi al-Bukhariy memulai pembahasan dengan menyebutkan nama Muhammad karena nama ini dianggap mulia, karena sama dengan nama nabi. Beliau juga mendahulukan nama-nama sahabat tanpa memperhatikan nama bapaknya. Kemudian baru menyebutkan seluruh nama perawi dengan memperhatikan urutan nama-nama bapaknya. Seperti yang sudah disinyalir beliau dengan muqaddimah kitab ini.
2. Al-Jarhu wa Ta’dhilu (الجرح والتأديل) karya Ibnu Abiy Hatim (237 H)
Kitab ini merupakan ringkasan dan kutipan bukhariy dalam At-Tarikh al-Kabir, dan disusun dengan banyak menyebutkan pendapat ulama’ tentang jarh dan ta’dhil perawi, meringkas dan menjelaskan menurut ijtihad beliau sendiri. Kitab ini termasuk kriteria kitab jarh dan ta’dhil seperti nama yang telah beliau berikan, dan telah dicetak menjadi delapan jilid beserta muqaddimahnya. Namun biografi di dalamnya sangat ringkas, karena setiap perawi hanya ditulis dalam satu sampai lima baris.
Biografi dalam kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah dengan memperhatikan huruf pertama dari nama perawi dan nama bapaknya. Dengan cara memulai dari nama-nama sahabat pada tiap satu huruf, dan nama-nama itu banyak diulang.
C. Kitab-kitab Biografi Perawi, Kitab Hadits Tertentu
Kitab-kitab model ini hanya memuat biografi perawi kitab-kitab hadits tertentu secara ringkas, tidak memuat biografi perawi yang lain. Sehingga seseorang mudah mengetahui biografi perawi yang dikehendaki di antara beberapa perawi kitab tertentu. Di antara kitab-kitab itu, terutama yang telah dicetak, adalah:
1. Al-Hidayah wa al-Irsyad fi al-Ma’rifatiy ahl al-Tsiqotiy wa al-Syadad (الهداية والارشاد في معرفة أهل الثقة والشداد)
Kitab ini ditulis oleh Abu Nasr Ahmad bin Muhammad al-Kalabadziy (398 H), salah satu kitab yang secara khusus membahas perawi kitab Shahih Bukhari.
2. Rijaalu Shahihi Muslimiy (رجال صحيح مسلم)
Kitab ini ditulis oleh Abu Bakar Ahmad bin ‘Aliy al-Ashfahaniy yang terkenal dengan Ibnu Munjiyah (438 H).
3. Al-Jam’u Baina Rijal al-Shahihaini (الجمع بين رجال الصحيحين)
Kitab ini ditulis oleh Abu Fadl, Muhammad bin Thahir al-Miqdasiy yang terkenal dengan Ibnu Qisraniy (507 H).
Kitab ini merupakan himpunan kitab al-Kalabadziy dan Ibnu Munjiyah dengan tambahan beberapa pembahasan yang tidak dimuat dalam kedua kitab tersebut. Kitab ini dapat dikatakan sebagai kitab gabungan dari dua pengarang yang diedit secara ketat.
4. At-Ta’rif bi Rijal al-Muwatto’ (التعريف برجال الموطاء) karya Muhammad bin Yahya al-Hadzadzas al-Tamimiy (416 H).
5. Kitab-kitab Biografi Perawi Kitab Hadits Enam
Para ulama’ telah menulis berbagai kitab yang menghiumpun biografi perawi kitab hadist enam dan kitab biografi perawi kitab lain karya pengarang kitab hadist enam.
Di antara ulama’ ada yang telah menulis berbagai kitab yang menghimpun biografi perawi kitab hadits enam dan biografi perawi kitab karya pengarang hadist enam. Kitab-kitab tersebut adalah:
a. Kitab al-Kamal fi Asma’ al-Rijal (الكمل في أسماء رجال)
Di antara kitab-kitab biografi perawi kitab hadits enam yang paling awal sampai pada kita adalah kitab Kitab al-Kamal fi Asma’ al-Rijal karya al-Hafidz Abdul Ghaniy bin Abdul Wahid al-Maqdisiy bin al-Jamailiy al-Hambali (600 H).
Kitab ini menjadi induk biografi perawi kitab hadits enam (kutub al-sittah) bagi orang-orang setelahnya. Hanya saja pembahasannya terlalu panjang dan perlu pembetulan dan pengeditan dan pemeriksaan kembali terhadap sebagian masalah, serta perbaikan beberapa pendapat dan contoh. Kitab ini menurut Ibnu Hajar, adalah kitab biografi perawi hadist terlengkap dan merupakan karya terbesar bagi para intelektual hadist.
b. Kitab Tahdhib al-Kamal (تهذيب الكمل) Al-Hafidz Abul Hajjaj Yusuf bin Az-Zakiy al-Maziy (742 H)
Untuk menyempurnakan dan memperbaiki kitab al-Kamal li Asma al-Rijal, mushanif telah menyusun kitab yang berjudul al-Kamal. Kitab ini menurut Ibnu Hajar disusun dengan sistematika yang bagus, namun masih terlalu panjang.
c. Kitab Ikmalu Tahdib al-Kamal (إكمال تهذيب الكمل) oleh al-Hafidz Alaudin Mughalataya (762 M)
Kitab ini merupakan penyempurnaan terhadap kitab al-Maziy, suatu kitab besar yang sangat berguna. Ibnu Hajar sendiri berkata: “Saya memakai kitab tebal ini.”
d. Kitab Tahdhib al-Tahdhib karya al-Hafidz Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dhahabiy (748 H)
Beliau menulis dua kitab yang melebihi karya gurunya (al-Maziy) yaitu Tahdhib al-Tahdhib (kitab yang besar) dan al-Kasyif (kitab yang kecil), guna mengetahui biografi perawi kitab hadist enam. Terhadap kitab ini, Ibnu Hajar memberikan komentar bahwa Adzhabiy menggunakan ungkapan yang sangat panjang dalam kitabnya, namun tidak melebihi al-Tahdhib pada umumnya. Karenanya, Ibnu Hajar menyatakan: “Saya menambah sedikit bahasan ke dalam Tahdhib al-Tahdhib karya Adhahabiy, pada kitab muhtasar ini, sehingga kitab ini agak tebal.
e. Kitab Al-Kasyif
Kitab ini adalah ringkasan kitab Tahdhib al-Kamal karya al-Madziy yang hanya menyebutkan nama perawi, bapaknya, dan terkadang nama kakeknya, kunyah, dan nisbatnya, dua atau tiga guru dan muridnya yang terkenal serta menyebutkan sedikit keadaan perawi (dari segi penilaian tsiqoh atau cacatnya), kemudian tahun wafatnya. Selain itu, pada setiap nama disebutkan tanda periwayatan imam enam. Sehingga hanya disebutkan biografi pada perawi kitab enam yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah dan dimulai dari nama Ahmad pada huruf hamzah dan nama Muhammad pada huruf mim. Break
f. Kitab Tahdhib at-Tahdib
Al-Hafidz Hajar al-Asqalaniy meringkas dan memperbaiki kitab Tahdhib al-Kamal karya al-Madzi menjadi sebuah kitab yang bernama Tahdhib –alTahdhib dengan menggunakan beberapa metode dan sistematik penulisan.
g. Kitab Taqrib at-Tahdhib
Kitab ini adalah ringkasan Ibnu Hajar dari kitabnya sendiri. (Tahdhib at-Tahdib), yang hanya memuat seperenam dari isi kitab secara keseluruhan. Dalam muqaddimah kitab ini, Ibnu Hajar menulis, bahwa motifasi penyusunan kitab Tahdhhib at-Tahdhib ini untuk memenuhi permintaan beberapa orang temannya agar ia sudi menulis nama-nama perawi dalam Tahdhib at-Tahdhib secara khusus. Pada mulanya beliau tidak memenuhi permintaan itu, baru setelah itu, beliau memenuhi permintaan mereka dengan menulis biografi setiap perawi. Hal ini terungkap dalam tulisan dalam muqaddimah.
6. Kitab at-Tadzkirah bi Rijal al-Asirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Aliy al-Husaini ad-Dimasyikiy (765 H).
Kitab ini memuat biografi sepuluh perawi kitab hadits, yaitu kitab hadits enam yang merupakan objek pembahasan kitab Tahdhib al-Kamal karya al-Madziy, dan empat kitab hadist karya pendiri madhab empat, yaitu al-Muwatto’, Musnad al-Syafi’iy, Musnad Ahmad bin Hambal, dan Musnad Abu Hanifah yang telah ditakhrij haditsnya oleh al-Husain bin Muhammad bin Khusr. Dalam kitab at-Tadzkirah ini, pengarang tidak menyebutkan biografi sebagian kitab hadits enam, seperti dilakukan oleh al-Madzhi. Tujuan utama penyusunan kitab ini, untuk menghimpun biografi perawi yang masyhur pada abad ketiga: yaitu para ulama’ yang menjadi pemegang sumber penyusunan kitab hadist enam dan kitab dari tokoh madhab empat. Kitab ini bagus dan sangat berguna dan masih ada beberapa naskah manuskripnya yang sempurna. Namun belum pernah dicetak sampai sekarang.
7. Kitab Ta’jil al-manfaah hi Zawa’idi Rijal al-A’immat al-Arba’ah: Karya Ibnu Hajar al-Asqalaniy.
Kitab ini hanya memuat biografi para perawi kitab hadits karya Imam madhab empat yang belum dibahas oleh al-Madhzi dalam kitab Tahdhibnya.
Setelah pengarang kitab ini membaca ulang dan menggunakan kitab at-Tadzkirah karya al-Husainiy, ternyata beliau menemukan beberapa biografi perawi yang belum dicatat oleh al-Madzi dalam Tahdhibnya, kemudian Ibnu Hajar memperbaiki beberapa pembahasan yang masih rancu dan menambah beberapa biografi kitab al-Ghara’ib an Malik yang telah dihimpun ad-Daru Quthniy, kitab Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar karya al-baihaqiy, kitab al-Zuhud karya Imam Ahmad dan kitab al-Atsar karya Muhammad bin al-Hasan serta biografi perawi yang tidak terdapat dalam kitab hadist karya imam madhab empat seperti yang disebutkan oleh al-Husaini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abi Hatim Ar-Razi bin Abdurrahman. 327 H, Al-Jarh wat-Ta’dil, Beirut: Darr Muh.
2. Abu fadli.lisan al-arab.1997.dar al-shadar.Beirut.
3. Abu Syuhbah. 1999, Kutubus Sittah, Surabaya: Pustaka Progresif.
4. Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, jil. 4. cd software maktabah syamilah, (Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986)
5. Al-Bukhori, Muhammad, 2005, Shoheh Bukhori Juz 1, Beirut, Daar Kutub Islamiyah
6. Al-Khatib, Muhammad Hajjaj. 1989. Ushul Hadits. Beirut: Dar el-Fikr.
7. Al-Maliky ,Muhammad ibn Alwi, TT, Minhal al-Latief, Indonesia, Daar ar-Rahmah al-Islamiyah
8. Al-Maliky Muhammad Ibn Alwi. 1990. Al-Minhal Al-Lathif Fi Ushul Al-Hadits Al-Syarif . Jami’ Al-Huquq Mahfudhah
9. Al-Maliky Muhammad Ibn Alwi.2009. Ilmu Ushul Hadits. Yokyakarta : Pustaka Pelajar
10. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002)
11. Al-Qaththan Manna’.2004. Mabahis Fi Ulum Al-Hadits (Pengantar Studi Ilmu Hadits). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
12. Al-Taqrib.
13. Alwi al-Maliki Muhammad.Ilmu Ushul Hadits.2009.Pustka Pelajar.Yogyakarta.
14. An-Nawawi, Yahya ibn Syarof,, 1985, At-Taqriib wa at-Taisir, Beirut, Daar Kutub al-Aroby
15. As-syaikh Mudzakir. Muhammad, 1456. Ulumul al-Hadist li At-Jami’ati At-Tarbiyati. Haramain: Dar-Hubb.
16. Auni, Dr.Hatim bin a’rif al-, at-Takhrij Wa Dirosah al- Asanid, Multaqi Ahlil Hadits, Maktabah syamilah.
17. Dr. Mahmud Thohan, ulumul hadis studi kompleksitas hadis nabi, (Titian Ilahi Pres, Yogyakarta, 1997), 40.
18. Dr.H.Abdul majid khon., Ulumul hadis, Jakarta: Sinar Grafika Offset,Cetakan kedua,th.2009, hlm. 118-119.
19. Ensiklopedi Hukum Islam/editor Abdul Aziz Dahlan... (et. al). 1996. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
20. Fahkturrahman Drs 1974,Ikhtisar Mustholahu al-Hadith, Bandung
21. Hadits-Ilmu Hadits. Departemen Agama RI. Jakarta, Oktober 1992.
22. http://fastion.multiply.com/journal/item/4/Ulumul_hadits
23. http://pustakasantri.wordpress.com/hadist/ilmu-al-jarh-wat-tadil.html (Malang: 26 Desember 2010. 20:34)
24. http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
25. Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1997)
26. Imam Malik. Muatha. Maktabah Syamilah. Vol 2 hlm. 900.
27. Imam Muslim, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983)
28. Jumantoro, Totok. April 2002. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta. Indonesia. Pt. Bumi Aksara.
29. Jumantoro. Totok. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: Amzah. 2002
30. Kamus Al-Munjid fi al-Lughot wa al-A’lam, 2002, Daarbel-Machreq
31. Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi, Abul-Walid Sulaiman bin. 474 H, At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, Beirut: Darr Muql.
32. Khon, Abdul majid. 2009, Ulumul hadis, cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika Offset
33. Khotib, Muhammad Ijajil, 1989, Ushul al-Hadits, Beirut: Daar Fikr.
34. Ma’luf Louis, al-Munjid fi al-A’lam,(Beirut: Dar al-Masyariq, 1986).
35. Mahmud Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Sankapura: al-Haramain, t.t.)
36. Majid Khon, Abdul. Februari 2009. Ulumul Hadits. Jakarta. Indonesia. Amzah
37. Majid khon,Abdul.Ulum al-hadits.2009.Amzah.Jakarta.
38. Majid Khon. Abdul. Ulumul Hadis. Jakarta: PT.Bumi Aksara 2009
39. Makrum bin Mandhur bin Muhammad. Lisaan Al-arabi. Beirut: Dar Ash-Shodur.
40. Maktabah syamilah,CD room Bab Futunu al-Hadith
41. Mudasir, Muhammad. 1999, Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
42. muhamad syeh, ibn alawi al-maliki. Al-manhalu al-lathiifu fi ushuuli al-hadisi al-syarifi. tobngatul khomis1410-1990.
43. Muhammad Ajjaj al-Khatib. 1998. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Kairo: Maktabah wahbah.
44. Muhammad ibn Alwi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Ushul al-Hadis al-Syarif, (t. t., Jami’ al-Huquq Mahfudzah, 1990)
45. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, jil. II, Cd Software Maktabah Syamilah,
46. Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jil. II, Cd Software Maktabah Syamilah, (Beirut: Dar Ibn Katsir,1987)
47. Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005)
48. Muhammad, bin Alwy al maliky. 1982. Al Manhal Al Latif fi Ushul Al Hadits As Syarif.
49. Muhdi bin Abdul Qadir, Abdul, Thuruq Takhrij Hadits Rosulullah SAW. (Cairo: Dar al-I’tisham, 1987).
50. Mushtafa as-Suba’i. 2003 Assunnah. Kairo: Dar-Assalam.
Mana’ al-Qathan. 1989. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Maktabah Wahbah.
51. Nasir, Shidiq Basir, 1992, Dhowabitu ar-Riwayah, Beirut: Daar Fikr.
52. Nata, Abuddin, Dkk. 1999. Insiklopedi Islam. Jakarta. Indonesia. Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve.
53. Qasimi Al-, Qawa’id al-Tahdits Min Funun Mushthalahat al-Hadits, (Isa al-Babi al-Halabi Wa Syurakah, 1961).
54. Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT. Alma’arif Bandung.
55. Rahman,Fatchur,Ikhtisar Mushthalahl Hadits,tt. Bandung: PT Alma’rif. H. Zuhdi,Masjfuk , 1993, Pengantar Ilmu Hadts,Surabaya: PT Bina Ilmu.
56. Rahman. Fachur. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis. Bandung: PT.Alma’arif
57. Shalih, Subhi. 1997. Ushul Hadits. Beirut: Darul ‘Ilmi.
58. Sholah, Ibnu, TT, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah, Tsaqofiyah
59. Sholih, Subkhi, 1997, Ulumul Hadits wa Mushtolahuhu, Beirut, Daar Ilmi lil Malayiin
60. Sholih, Subhi. 1997. Ulumu Al-Hadist. Libanon. Bairut. Dar Al-Ilmi
61. Soetari, Endang, 2008, Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah, Bandung: CV. Mimbar Pustaka.
62. Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Ilmi, 1997)
63. Subhi al-Shalih. 1997.Ulum al-hadist wa Mushtalahuhu. Beirut: Dar al-Ilmi Li al-malayin.
64. Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman Ibnu Abi Bakar As-, Al-Jami’ Ash-Shaghir, jilid 11,(Surabaya: Al-hidayah),
65. Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
66. Syakir, Ahmad Muhammad, 1979, Al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishor Ulumul Hadits lil Hafidz Ibnu Katsir, Kairo, Daar at-Turats
67. Syarakh al-Nukhbah.
68. Syuhbah M.M Abu Syuhbah. 1999.Kutubus Sittah.Terjemahan oleh Ahmad Usman. Surabaya: Pustaka Progressif.
69. Syuhbah, Abu. 199. Kutubu Al- Sittah. Surabaya. Pustaka Progresif.
70. Tahhan Muhammad ,Tayshir Musthalahu al-Hadith, Dar al-fikr,bairut
71. Thahan, Mahmud. 1991, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, al-Riyadl: Maktabah al-Ma’arif.
72. Thahhan Mahmud Al-, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Maa’rif, 1991).
73. Thahhan, Mahmud.Taisir Mushthalah al-Hadits.1985.Haramain.Sankapura Jeddah Indonesia.
74. Thohan , Mahmud, 1985, Taisir Mushtholah Hadits, Songgopuro, haramain
75. Thohan, Mahmud, 1985, Musthalah al-Hadits, Jeddah: Al-Haramain.
76. Totok Edi, ensiklopedi kitab kuning, pamulang 2007
77. Ujjaj Muhammad Al-Khatib. 1989. Ushul Al-Hadist. Libanon. Dar Al-Fikr.
78. احمد بن سليمان ايوب, 1433ه-2003م, منتهى الاماني بفوائد مصطلح الحديث للمحّدث الالباني, الفاروق الحديثة للطباعة واليشر
79. الشيخ محمد محفوظ بن عبد الله الترمسي, منهج ذوي النظر, الحرمين
80. عددالأجزاء : 2
81. محمد بن إسماعيل الأمير الحسني الصنعاني, توضيح الأفكار لمعاني تنقيح الأنظار, المكتبة السلفية - المدينة المنورة,
0 komentar:
Posting Komentar