Rabu, 13 April 2011

Ushul Fiqih

BAB I
PENDAHULUAN

Bismillahirrahmanirrahim penulis memulai makalahnya dengan bacaan basamalah dengan harapan semoga tulisan dan makalah ini dapat bermanfaat. Lalu penulis mengucapakan al-hamdulillah karena atas segala rahmat dan pertolongan-Nya penulis dapat membuat makalah yang insyaallah bermanfaat nantinya.
Dalam kehidupan ini, sering kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang tidakmudah. Baik dalam permasalahan pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Pilihan mana yang mau diambil mengacu pada nilai-nilai yang dianut oleh orang yang bersangkutan tentang keyakinan akan kebenaran, kemaslahatan dan hati nuraninya. Kesalahan dalam mengambil keputusan dan pilihan berakibat merugikan bagi kehidupannya. Sebaliknya ketetapan mengambil pilihan akan membawa pada kemaslahatan dan kebahagiaan.
Kemudian kita juga biasanya dihadapakan pilihan di bidang mana yang harus diutamakan untuk dikerjakan dan dilakukan. Biasanya kita masih diragukan dalam bidang pilih-memilih apalagi jika ada dua hal yang sama pentingnya dan sama-sama wajibnya. Sedangkan dalam kaidah fikih hal tersebut sudah ada undang-undangnya.
Oleh karena itu dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa kaidah yang sesuai dengan konsep diatas. yaitu : الواجب لا يترك الا لواجب
ما اوجب اعظم الامرين بخصوصه لا يجب اهوانهما بعمومه
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat dan dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
Amiiiiinnn!!!!!!!




BAB II
PEMBAHASAN

A. KAIDAH الواجب لا يترك الا لواجب
1. Pengertian Kaidah
Arti dari kaidah “الواجب لا يترك الا لواجب” adalah kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali karena kewajiban lain. Teks kaidah ini menggunakan pola kalimat yang berbentuk istisna’ (pengecualian) yaitu kata لاا atas sesuatu yang dinafikan (lafat لا). Dalam kajian usul fikih, pola kalimat semacam ini mempunyai makna terbatas pada objek yang disebutkan (Hashr) . Kesimpulan maknanya adalahkewajiban yang bisa ditinggalkan hanyalah terbatas dalam rangka beralih pada kewajiban lainnya. Bukan untuk melaksanakn aktifitas ibadah yang berstatus lain seperti sunah.
Meninggalkan kewajiban dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
a. Tidak mampu melaksanakannya, seperti kewajiban yang terdapat pada Kafarah Al-Wiqa’ (denda atas kelalaian melakukan hubungan sek pada siang bulan ramadhan).
b. Mampu melaksanakan, namun menurut syariat memberikan pilihan diantara beberapa kewajiban yang dibebankan, seperti kifarah al-zhihar (tebusan atas penyamaan suami terhadap istrinya dengan kaiasan tubuh sang ibu).

2. Ketentuan/Syarat Kaidah
Toleransi untuk beralih pada kewajiban lain tidak begitu saja dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi apapun. Pengalihan kewajiaban dapat dibenarkan jika memenuhi ketentuan-ketentuan sebagi berikut:
a. Tidak ada kemungkinan menjalankan beberapa kewajiaban dalam waktu yang sama. Meninggalkan kewajiban demi untuk mengerjakan kewajiban lai diperbolehkan ketika keduanya tidak dapat dilaksanakn dalam satu waktu. Misalnya seseorang berkewajiban melakukan dua jihad dalam waktu yang bersamaan, maka dia boleh meninggalkan salah satunya.
b. Meninggalkan kewajiban demi mengerjakan kewajiban lain berlaku ketika kewajiban kedua sederajat dengan kewajiban pertama, ataupun lebih sempurna. Dengan demikian, menurut syaikh yasin al-fadani, kita tidak dapat meninggalkan kewajiban demi mengerjakan kewajiban lain yang kualitasnya lebih rendah.

3. Kaidah Senada
Dalam kalangan ulama’ terdapat beberapa kaidah yang dirangkai dengan berbagai bentuk redaksional, namun memiliki esensi dan muatan hukum yang serupa dengan kaidah diatas, diantaranya sebagai berikut:

a. Kaidah الواجب لا يترك للسنة artinya kewajiban tidak boleh ditinggalakan karena suatu kesunahan. Sebenarnya muatan kaidah ini sama dengan kaidah الواجب لا يترك الا لواجب. Sebab kewenangan beralih dari satu kewajiban lainnya. Sudah barang tentu tidak boleh berpindah pada kesunahan yang notabena lebih rendah derajatnya. Contoh tidak diperbolehkan kembali keposisi berdiri untuk baca surat-surat pendek al-qur’an (sunah) ketika telah terlanjur ruku’ (wajib), tidak diperbolehkan kembali keposisi duduk tasyahud awal (sunah) setelah dalam posisi berdiri (wajib). Begitu pula ketika sudah dalam posisi sujud (wajib) tidak diperkenankan kembali berdiri untuk melakukan qunut (sunah)

b. Kaidah artinya ما كان ممنوعا اذا جاز وجب aktifitas yang sebelumnya dilarang, ketika diperbolehkan maka hukumnya menjadi wajib. Contoh memakan bangkai hukumnya adalah haram. Namun ketika tidak ditemukan makanan lain selain bangkai, maka memakan bangkai hukumnya dibenarkan demi menjaga kelangsungan hidup. Kewajiban untuk menghindari barang haram dapat diacuhkan demi mengerjakan kewajiban lain berupa mempertahankan hidup, bahkan menjadi wajib dlakukan, mengingat hal ini sudah termasuk kategore darurat.

c. Kaidah ما لو لم يشرع لم يجز دليل على وجوبه artinya sesuatu yang seandainya tidak disyariatkan adalah perbuatan terlarang, itu merupakan bukti kewajibannya. Jelasnya jika ada sesuatu pekerjaan yang secara eksplisit dilarang, terutama jika dilihat dari kacamata syariat, namun ternyata ia justru disyariatkan, maka hukumnya menjadi wajib. Contoh memotong tangan seorang pencuri hukumnya wajib sebagai ganjaran setimpal atas perbuatannya. Pemotongan tangan sebenarnya perbuatan yang menyakitkan orang lain sehingga dilarang. Namun, jika hal itu dilakukan dalam rangka memberi balasan setimpal atas tindakan pencurian, maka pemotongan tangan tersebut hukumnya menjadi wajib.
4. Aplikasi Kaidah
Kaidah ini dapat diaplikasikan dalam beberapa permasalahan dalam kehidupan ini, diantaranya adalah :
a. Seseorang yang sedang menerima tamu, tapi karena waktu sholat tinggal beberapa menit lagi. Maka seseorang ini boleh meninggalkan tamunya tadi demi untuk melaksanakan sholat. Hal ini diperbolehkan karena shalat lebih tinggi nilai kewajibannya dari pada menyambut/menerima tamu.
b. Seorang karyawan boleh meninggalkan tugas kantornya demi menjalankan tugas lain dari atasannya atau diminta untuk menemani direktur keluar kota. Hal ini dilegalkan karena kewajiban kedua memiliki derajat yang sama dengan kewajiban pertama .
5. Pengecualian Kaidah
Dalam kaidah ini terdapat beberapa pengecualian, yang mayoritas merupakan pengecualian dari sub kaidah yang terahir, ما لو لم يشرع لم يجز دليل على وجوبه . diantaranya:
a. Sujud sahwi, jika tidak disyariatkan maka hukumnya haram karena menambah standar pergerakan dalam sholat. Namun setelah didetapkan oleh syari’at, hukumnya menjadi sunah dan tidak sampai menjadi wajib.
b. Sunah melihat calon istri ketika melamar. Meski secara formal belum sah menjadi suami-istri, namun karena tahap ini memiliki peran yang sangat vital dalam usaha membangun keutuhan rumah tangga sepanjang masa. Dan sesuai dengan anjuran rasul SAW . Maka hal itu mendapatkan toleransi untuk melaksanakannya.
Kesunahan dalam contoh-contoh diatas, membuktikan bahwa jika bukan karena ketetapan syari’at semua itu hukumnya tidak boleh (haram). Tetapi karena telah disyariatkan, ternyata hukumnya menjadi tidak wajib melainkan sunah. Faktor ketidakwajiban inilah yang membuat semua contoh tersebut masuk dalam kategori pengecualian terhadap kaidah ini.
B. KAIDAH ما اوجب اعظم الامرين بخصوصه لا يجب اهوانهما بعمومه

1. Pengertian Kaidah
Kaidah ما اوجب اعظم الامرين بخصوصه لا يجب اهوانهما بعمومه artinya segala sesuatu yang karena kekhususannya menetapkan (mewajibkan) perkara yang lebih tinggi atau agung diantara kedua perkara, maka tidak dapat menetapkan (mewajibkan) yang lebih rendah dengan keumumannya. Dalam ilmu fikih kita mengenal istilah-istilah yang bersifat umum dan khusus . Kata hadats, misalnya adalah sebentuk kata umum yang mengundang dua varian kata khusus, yaitu hadats besar (hadats al-akbar) dan hadats kecil (hadats al-ashghar). Hadats besar adalah hadats yang dapat hilang dengan cara mandi, sementara hadats kecil adalah hadats yang yang dapat hilang dengan cara berwudlu’. Jika kedua kata khusus itu “DIADU”, maka unsur yang lebih besar (hadats besar) ini akan mencakup unsur yang lebih kecil (hadats kecil). Namun keumuman hadats besar ternyata tidak selamanya mewajib-kan kekhususan hadats kecil. Artinya, seandainya kita berhadats besar, maka tidak secara otomatis kita juga berhadats kecil, sebab ke-umum-an sifat hadats besar tidak selamanya mengharuskan ke-khusus-an hadats kecil. Inilah maksud dari kaidah diatas.

2. Aplikasi Kaidah
Kaidah ini dapat diterapkan pada beberapa persoalan, diantaranya:
a. Kelurnya sperma dapat menjadi penyebab wajibnya mandi janabat (junub). Akan tetapi tidak mewajibkan wudlu’. Pada mulanya, kita mungkin punya asumsi bahwa keluarnya sperma akan mewajibkan mandi sekaligus wudlu’. Karena jika diperinci, sperma-dengan karakter khususnya- tergolong salah satu yang menyebabkan kewajiban mandi besar. Sedangkan dalam tinjauan umum, sperma tergolong sebagai sesuatu yang keluar dari salah satu alat rekresi (pembuangan kotoran) yang mewajibkan wudlu’. Namun ketentuan syari’at tidak berkata demikian. Jika secara khusus keluarnya sperma telah menetapkan kewajiban mandi janabat, maka kewajiban berwudlu’ yang merupakan efek dari ke-umum-an keluarnya sperma dari alat pengeluaran tidak lagi menjadi wajib. Mandi janabat dalam kategori fuqaha merupakan bersuci yang a’zam ( cara bersuci yang lebih tinggi dibanding dengan wudlu’). Jadi yang lebih mendapatkan penekanan oleh fuqaha dalam kaidah ini adalah sifat khusus yang melekat pada air sperma. Fuqaha tidak memosisikan sperma sebagai objek yang keluar dari alat kelamin secara umum, seperti air seni, darah, dll.

b. Had (vonis hukuman) zina statusnya lebih tinggi dari pada ta’zir (a’zham al-amrayn). Pelaksanaan had zina adalah dengan dicambuk (jild) seratus kali dan dihukum ranjam. Apabila hukuman ini sudah dijatuhkan pada pelaku zina secara otomatis sudah dapat Menggugurkan tuntutan ta’zir.

3. Pengecualian Kaidah
Pengecualian kaidah ini dapat dicermati dalam beberapa permasalahan berikut:
a. Haid, nifas, wiladah yang dialami perempuan. Ketiganya dapat membatalkan wudlu’ sekaligus mewajibkan mandi. Padahal ketiganya dalam kategori fuqoha’ mempunyai predikat sifat khusus yang lebih tinggi (a’zham), yakni mewajibkan mandi janabat (khusus) dan keluarnya sesuatu dari jalan rekresi (umum). Seharusnya ketiga hal ini hanya diwajibkan mandi saja, tidak mewajibkan wudlu’. Namun dalam dalam permasalahan ini tidak demikian halnya. Kewajiban menghilangkan hadats kecil dengan wudlu’ tetap diberlakukan besertaan dengan kewajiban mandi besar.
b. Seorang prajurit yang melakukan peperangan dan mampu membunuh yang lebih banyak, berhak mendapatkan bonus tambahan, disamping dan selain gaji pokok dan tetap yang memang sudah menjadi haknya .





BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian yang telah penulis paparkan diatas tentang 2 kaidah fiqih tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa : pertama, setiap kewajiban dan tugas itu tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan kewajiban dan tugas yang lain juga. Syaratnya kewajiban yang kedua itu sederajat ataupun lebih sempurna dari pada kewajiban yang pertama. Kedua, sesuatu yang dengan ke-khususannya mewajibkan perkara yang lebih tinggi diantara dua perkara, maka tidak mewajibkan ataupun menetapkan yang lebih rendah dengan ke-umum-annnya.
Kedua kaidah yang telah penulis paparkan tersebut masing-masing memiliki pengecualian. Karena kaidah fikih itu bukan kitab suci, maka masih mugkin untuk diganti dan dirubah dan disesuaikan dengan zaman serta tuntunan syara’. Tetapi walaupun banyak pengecualiannya tentang kaidah ini, tapi masih banyak yang dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari tentang kedua kaidah tersebut.
Mudah-mudahan amal dan ibadah kita diterima Allah SWT dan mudah-mudahan makalah yang sangat singkat ini, bisa bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, dll


DAFTAR PUSTAKA
Suyuti, Al-Imam Jalal Al-Din Abdu Al-Rahman Bin Abi Bakr. Al-Asybah Wa Al-Nadha-ir. Surabaya: Al-Hidayah. 1965
Al-Ahdaly, Sayid Abi Bakr. Al-Faraid Al-Bahiyyah. Surabaya: Mahkota.
Fadani, Abu Al-Faydl Muhammad Yasin Bin Isa. Al-Fawaid Al-Janiyyah. Beirut: Dar Al-Basyair. Cet 11. 1996
Tim Penyusun. Formulasi Nalar Fiqh. Surabya: Khalista.2005

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons