Selasa, 06 September 2011

Hasan Al Banna Sang Inspirator

Penulis: Umar al-Tilmisani
Hasan Al-Banna memiliki kepribadian yang cemerlang. Kepribadiannya senantiasa bersinar di dalam perjalanan dakwahnya. Tak seorangpun dapat melupakan kepribadiannya. Bagaimana kita dapat melupakan seseorang yang mempunyai pengaruh besar di dalam dakwah di akhir abad ini. Beliau curahkan seluruh hidupnya untuk masyarakat. Ia siap untuk mati syahid di medan dakwah. Padahal usianya belum lagi mencapai 40 tahun. Sehingga pada saat itu, bumi dipenuhi dengan dakwah Ikhwanul Muslimin. Buku sangat menarik untuk dibaca untuk dijadikan ibrah dalam berdakwah. Kunjungi juga website penerbit ebooknya di 100tahunmstparabek.blogspot.com. Download ebook Hasan Al Banna Sang Inspirator. [download]

Tiket Menuju Kebahagiaan, Adakah?

Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog

Mengapa banyak di antara kita merasa tidak bahagia? Penyebabnya, kita lebih banyak tahu tentang: ”apa yang harus kita lakukan untuk menjadi orang yang berbahagia” daripada tahu tentang: ”mengapa kita tidak bahagia”.

Perasaan tidak bahagia sebenarnya adalah penyakit. Hal itu adalah bentuk dari upaya meracuni diri sendiri. Mari kita rawat penyakit itu dengan cara yang terjangkau. Kita cermati gejala penyakit tersebut dan kita hancurkan gejala itu.
Di bawah ini terdaftar hal-hal yang biasanya merupakan gejala yang meracuni kebahagiaan kita beserta antibodi yang dapat menghancurkan gejala penyakit ketidakbahagiaan kita.

Racun pertama: Menghindar
Gejalanya, lari dari kenyataan, mengabaikan tanggung jawab, padahal dengan melarikan diri dari kenyataan kita hanya akan mendapat kebahagiaan semu yang berlangsung sesaat.

Antibodinya: Realitas.
Cara: Berhentilah menipu diri. Jangan terlalu serius dalam menghadapi masalah karena rumah sakit jiwa sudah dipenuhi pasien yang selalu mengikuti kesedihannya dan merasa lingkungannya menjadi sumber frustrasi. Jadi, selesaikan setiap masalah yang dihadapi secara tuntas dan yakinilah bahwa segala sesuatu yang terbaik selalu harus diupayakan dengan keras.

Racun kedua: Ketakutan
Gejalanya, tidak yakin diri, tegang, cemas yang antara lain bisa disebabkan kesulitan keuangan, konflik perkawinan, kesulitan seksual.

Antibodinya: Keberanian.
Cara: Hindari menjadi sosok yang bergantung pada kecemasan. Ingatlah 99 persen hal yang kita cemaskan tidak pernah terjadi. Keberanian adalah pertahanan diri paling ampuh. Gunakan analisis intelektual dan carilah solusi masalah melalui sikap mental yang benar. Keberanian merupakan proses reedukasi. Jadi, jangan segan mencari bantuan dari ahlinya, seperti psikiater atau psikolog.

Racun ketiga: Egoistis
Nyinyir, materialistis, agresif, lebih suka meminta daripada memberi.

Antibodinya: Bersikap sosial.
Cara: Jangan mengeksploitasi teman. Kebahagiaan akan diperoleh apabila kita dapat menolong orang lain. Perlu diketahui orang yang tidak mengharapkan apa pun dari orang lain adalah orang yang tidak pernah merasa dikecewakan.

Racun keempat: Stagnasi
Gejalanya berhenti di satu fase, membuat diri kita merasa jenuh, bosan, dan tidak bahagia.

Antibodinya: Ambisi.
Cara: Teruslah bertumbuh, artinya kita terus berambisi di masa depan kita. Kita akan menemukan kebahagiaan dalam gairah saat meraih ambisi kita tersebut.

Racun kelima: Rasa rendah diri
Gejala: Kehilangan keyakinan diri dan kepercayaan diri serta merasa tidak memiliki kemampuan bersaing.

Antibodi: Keyakinan diri.
Cara: Seseorang tidak akan menang bila sebelum berperang yakin dirinya akan kalah. Bila kita yakin akan kemampuan kita, sebenarnya kita sudah mendapatkan separuh dari target yang ingin kita raih. Jadi, sukses berawal pada saat kita yakin bahwa kita mampu mencapainya.

Racun keenam: Narsistik
Gejala: Kompleks superioritas, terlampau sombong, kebanggaan diri palsu.

Antibodi: Rendah hati.
Cara: Orang yang sombong akan dengan mudah kehilangan teman, karena tanpa kehadiran teman, kita tidak akan berbahagia. Hindari sikap ” sok tahu”. Dengan rendah hati, kita akan dengan sendirinya mau mendengar orang lain sehingga peluang 50 persen sukses sudah kita raih.

Racun ketujuh: Mengasihani diri
Gejala: Kebiasaan menarik perhatian, suasana hati yang dominan, murung, menghunjam diri, merasa menjadi orang termalang di dunia.

Antibodi: Sublimasi.
Cara: Jangan membuat diri menjadi neurotik, terpaku pada diri sendiri. Lupakan masalah diri dan hindari untuk berperilaku sentimental dan terobsesi terhadap ketergantungan kepada orang lain.

Racun kedelapan: Sikap bermalas-malasan
Gejala: Apatis, jenuh berlanjut, melamun, dan menghabiskan waktu dengan cara tidak produktif, merasa kesepian.

Antibodi: Kerja.
Cara: Buatlah diri kita untuk selalu mengikuti jadwal kerja yang sudah kita rencanakan sebelumnya dengan cara aktif bekerja. Hindari kecenderungan untuk membuat keberadaan kita menjadi tidak berarti dan mengeluh tanpa henti.

Racun kesembilan: Sikap tidak toleran
Gejala: Pikiran picik, kebencian rasial yang picik, angkuh, antagonisme terhadap agama tertentu, prasangka religius.

Antibodi: Kontrol diri.
Cara: Tenangkan emosi kita melalui seni mengontrol diri. Amati mereka secara intelektual. Tingkatkan kadar toleransi kita. Ingat bahwa dunia diciptakan dan tercipta dari keberagaman kultur dan agama.

Racun kesepuluh: Kebencian
Gejala: Keinginan balas dendam, kejam, bengis.

Antibodi: Cinta kasih.
Cara: Hilangkan rasa benci. Belajar memaafkan dan melupakan. Kebencian merupakan salah satu emosi negatif yang menjadi dasar dari rasa ketidakbahagiaan. Orang yang memiliki rasa benci biasanya juga membenci dirinya sendiri karena membenci orang lain. Satu-satunya yang dapat melenyapkan rasa benci adalah cinta. Cinta kasih merupakan kekuatan hakiki yang dapat dimiliki setiap orang.
Simpanlah paket tiket untuk melawan perasaan tidak bahagia dan mengaculah pada paket tiket ini saat kita sedang mengalami rasa depresi dan tidak bahagia. Gunakan sebagai sarana pertolongan pertama saat kita sedang berada dalam kondisi mental gawat darurat demi terhindar dari ketidakbahagiaan berlanjut pada masa mendatang.

SEJARAH ‘ULUM AL-QUR`AN

(Menapak-Tilas Pertumbuhan dan Perkembangannya)[1]
oleh:
M. SYAKUR
(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, Mahasiswa Program Doktor (Tafsir-Hadits) IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengabdi Pontren Darus Sa'adah Ngembalrejo Kudus)

A. PENDAHULUAN
Al-Qur`ân sebagai kitab terakhir dan yang paling utama bagi agama samawi, penurunannya tidaklah dilakukan secara langsung (mujmalan wa>h{idan) melainkan secara bertahap (nuzu>lan, munazzalan, tanzi>lan, munajjaman, tanji>man), sehingga unsur-unsur yang berada di dalam prosesnya dari awal hingga akhir secara utuh sangatlah berpengaruh kuat bagi kehidupan manusia. Nuzūl al-Qur`ân dan proses kodifikasinya mengesankan kepada manusia akan nilai-nilai sejarah (historic value). Proses nuzulnya telah membutuhkan waktu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, kodifikasinya telah dimulai pada zaman kekhalifahan Abu Bakar al-S}iddi>q ra. (w. 13 H.) hingga kekhalifahan Uthman ibn ‘Affan ra. (w. 35 H.), dan penyempurnaan tulisannya (tah{si>n al-rasm) telah dirintis oleh Ali ibn Abi Talib ra. (w. 40 H.) dengan menyarankan Abu al-Aswad H{ali>m ibn ‘Amr ibn Jandal al-Du`ali (16-69 H./ 605-689 M.) agar memberi tanda baca (shakl} terhadap lafadh-lafadh al-Qur`ân berupa titik (nuqt}ah), dan penyempurnaan berikutnya dilakukan oleh a-Khali>l (w. 175 H.) dengan menciptakan tanda baca yang lebih lengkap. Tulisan al-Qur`ân dalam Mushaf ‘Uthmani yang berkarakter Kufi telah mengalami perkembangan historis hingga menjadi tulisan yang mudah dibaca, gaya Naskhi oleh ibn al-Maqlah (w. 328 H.), tetapi belum menggunakan tada baca (shakl). Demikian pula hal-hal yang terkait dengan upaya-upaya memahami al-Qur`ân dari segala seginya serta usaha pemeli-haraannya telah dilakukan oleh para ahlinya sejak pada masa sahabat, bahkan pada masa nabi, hingga abad X H. oleh al-Suyuti dengan karyanya yang berjudul al-Itqân fi ‘Ulūm al-Qur`ân.
Kapankah ‘Ulūm al-Qur`ân mulai dipergunakan dalam kajian teoretik al-Qur`ân? Kapankah ‘Ulūm al-Qur`ân mulai dibukukan? Dan siapakah yang berperan dalam masing-masing kegiatan? Permasalahan-permasalahan tersebut akan dibahas dalam makalah singkat ini, insya Allâh, dengan tema ‘Ulūm al-Qur`ân historis, yakni upaya penelusuran kalenderisasi ‘Ulūm al-Qur`ân dari masa perintisan, sebelum penulisan (qabl al-tadwin) sampai masa pengembangannya, sehingga diketahui kapan ‘Ulūm al-Qur`ân mulai ada, kapan mulai dimunculkan sebagai istilah keilmuan dalam bentuk buku, dan bagaimana perkembangannya hingga kini.

B. MAKNA SEJARAH ‘ULUM AL-QUR`ÂN
1. Makna ‘Ulūm al-Qur`ân : perhelatan dua paradigma
‘Ulūm al-Qur`ân (selanjutnya disebut UQ) adalah kumpulan pengetahuan tentang hal-ahwal al-Qur`ân dari aspek nuzulnya, tertibnya, proses pengumplannya, penctatannya, pembacaannya dan penafsirannya, i’jaznya, nasikh dan mansukhnya, maknany, dan sebagainya. Dalam segi maknawiah terkandung di dalamnya ilmu-ilmu terkait sebagai obyek kajian ilmu-ilmu kaislaman seperti ilmu nuzul, ilmu asbab al-nuzul, ilmu tafsir, ilmu nasikh-mansukh, dan lain-lain.
Ada dua paradigma mengenai makna UQ yang berbeda secara toeoretik koseptual. Pertama, UQ dipahami sebagai paradigma dengan makna idlafi (al-Ma’na> al-Id{a>fi>), yakni sebagai alat untuk memahami al-Qur`ân dalam bentuk ilmu yang masih terpisah-pisah, berdiri sendiri-sendiri, seperti ilmu tafsir, ilmu Qirâ`ât, ilmu rasm ‘Uthmâni, ilmu i’jâz al-Qur`ân, ilmu asbâb al-nuzūl, ilmu nâsikh-mansūkh, ilmu i’râb al-Qur`ân, ilmu gharib al-Qur`ân, ilmu balâghah, ilmu lughah, dan ilmu-ilmu lainnya, yang menurut al-Suyuthi bisa mencakup ilmu-ilmu teknis seperti ekologi (‘ilm al-hay`ah), teknologi (‘ilm al-handasah), kedokteran (‘ilm al-t{ibb), dan sebagainya. Kedua, ‘Ulūm al-Qur`ân dilihat sebagai disiplin ilmu yang sistematis (fann mudawwan), di mana ‘Ulūm al-Qur`ân dipandang sebagai terma bagi disiplin ilmu yang tersistemasi atas ilmu-ilmu yang mengkaji keseluruhan aspek al-Qur`ân seperti proses turunnya (nuzu>luhu), tertib ayat dan suratnya (muna>sabatuhu), proses kodifikasinya (jam’uhu), tulisan, bacaan dan tafsirnya (kita>batuhu, qira>`atuhu, tafsi>ruhu), kemu’jizatannya (i’jaznya), nasikh-mansukhnya (nasikhuhu wa mansukhuhu), dan sebagainya.

2. Makna Sejarah ‘Ulūm al-Qur`ân
Secara harfiah kata “sejarah” dipahami sebagai terjemahan dari bahasa Latin historia, bahasa Prancis histoire, dan bahasa Inggris history. Dalam pengertian terminologis, sejarah adalah rekonstruksi masa lalu yang tertentu, terarah, dan terinci tentang pemikiran, perkataan, pekerjaan, dan perasaan manusia, atau kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia. Setiap peristiwa yang terjadi pada masa lalu adalah sejarah, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sejarah ‘Ulūm al-Qur`ân adalah peristiwa masa lalu yang menceritakan tentang proses perintisan, pertumbuhan, penulisan, dan penggunan istilah ‘Ulūm al-Qur`ân. Dengan kata lain, sejarah ‘Ulūm al-Qur`ân adalah penge-tahuan tentang keseluruhan ilmu al-Qur`ân ditinjau dari sisi historisnya yang ber-kembang dari masa ke masa..

C. SEJARAH PERKEMBANGAN ‘ULUM AL-QUR`ÂN
Ketika al-Qur`ân hendak diketahui makna dan kandungannya tentu dibutuh-kan berbagai pengetahuan yang menunjang terhadap upaya tersebut, yang meliputi pengetahuan yang berkenaan dengan lafadhnya, tertib ayat dan hubungan antar ayat (muna>sabah al-a>ya>t), peristiwa yang melatari turunnya ayat, gaya bahasa dana cara membacanya, dan sebagainya, sehingga melengkapi metode penafsiran. Demikianlah kondisi yang menuntut para pemerhati al-Qur`ân untuk merumuskan ilmu-ilmu dari beraneka obyek kajian al-Qur`ân yang kemudian dikenal dengan terma ‘Ulūm al-Qur`ân. Sebagai ilmu pengetahuan ‘Ulūm al-Qur`ân mempunyai kajian historis yang kajiannya dimulai dari masa perintisan, masa kelahiran, hingga masa pengem-bangannya. Para ahli menerangkan bahwa perintisan lahirnya ‘Ulūm al-Qur`ân telah dimulai pada zaman Nabi saw. dan era Khulafa` al-Rashidin yang dilanjutkan oleh para Tabi’in, hingga pada masa kelahirannya di abad V H., kemudian berkembang pada masa-masa berikutnya. Sejarah ‘Ulūm al-Qur`ân akan dilasifikasi menjadi dua masa, .......
1. Masa Sebelum Penulisan
Masa ini (sebelum penulisan, ma> qabl al-tadwi>n) merupakan masa perintisan UQ.

a. Masa Nabi dan Sahabat
Pada masa awal Rasul Allâh Muhammad saw. menyampaikan wahyu yang diterimanya kepada para sahabat, membacakannya dengan perlahan dan hati-hati agar bisa diterima oleh mereka dengan baik, dihafal lafadhnya, dan dipahami rahasianya, kemudian dijelaskan dengan perkataan, peruatan, keputusan dan ketetapan, dan dengan prilaku (akhlâq) sehari-hari. Oleh karena ...
Para sahabat nabi adalah orang-orang Arab asli yang mampu mencerna kesusasteraan bermutu tinggi. Bagi mereka bersastera telah menjadi tradisi ...
mereka bertanya kepada beliau saw.: "Siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat zalim terhadap diri sendiri?” Rasul Allâh saw. dalam jawabannya menafsirkan kata "z{ulm" pada ayat tersebut dengan "shirk", seraya menunjuk firman Allâh dalam surah Luqman ayat 13:
…. žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã (لقمان: 13)
(…. Sungguhlah syirik adalah kedzaliman yang amat besar)

Ketika datang masa kekha1ifahan 'Uthman ra. (w. 35 H.) di mana orang-orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non Arab, berbagai masalah pun mulai ber-munculan, terutama mengenai tertib surat dan ayat, dan qira`ah, yang selalu meng-undang perselisihan, bahkan pertikaian. Di antara masalah yang muncul adalah perselisihan antara penduduk Sham di Armenia dan Azarbijan dengan penduduk Iraq. ...
Pada masa Khalifah Ali al-Qur`ân telah tersebar ke banyak daerah non Arab, hingga diperlukan usaha pemeliharaan dari kemungkinan perubahan (tah{rif) bacaan maupun tulisan. Sayyidina 'Ali ibn Abi Thalib ra. (w. 40 H.) telah bergerak dengan usaha yang terkenal dengan perintahnya kepada Abu al-Aswad al-Du`ali (w. 69 H./ 689 M.) agar meletakkan kaidah tatabahasa Arab guna menjaga corak keaslian teks (rasm) maupun bacaannya, karena al-Qur`ân pada masa sebelumnya ditulis dengan tidak menggunakan titik maupun tanda baca (Shakl) dalam bentuk tulisan gaya Kufi, hingga mudah memicu perselisihan ummat dalam qira`ah, misalnya perselisihan bahkan kesalahan terhadap surat al-Taubah ayat 3, yakni pada kata ورسولهُ yang dibaca salah, yakni dengan majrur, ورسولهِ pada ayat ....
Kasus tersebut justeru menjadi inspirasi bagi Abu al-Aswad dengan semangat menjaga kemurnian al-Qur`ân dan dorongan moral dari ‘Ali ra., untuk memberi tanda baca (shakl) berupa titik (nuqt{ah), ...

b. Masa Tabi’in: Masa Perintisan (lanjutan)
Sejak ditinggalkan oleh Ali ra. roda politik dan sejarahnya digerakkan oleh Mu’awiyah dari Bani Umayah (berkuasa di tahun 41-132 H.). Masa ini merupakan masa-masa perintisan babak lanjutan kelahiran UQ, masih dalam bentuk periwayatan dan belum ditulis.

2. Masa Penulisan ‘Ulu>m al-Qur`ân
Berdasarkan paradigma ilmu mudawwan masa ini (‘as{r al-tadwi>n) adalah masa kelahiran UQ yang berlangsung sejak pertumbuhan awal (abad II H.) hingga memasuki masa perkembangan awal Cabang UQ yang pertama kali mendapat perhatian ‘ulama pada masa ini adalah ‘ilmu tafsi>r. Usaha ini ditandai ....
a. Pada abad II H.
Masa ini merupakan masa pertumbuhan awal UQ di mana generasi Tabi’in berkiprah dalam penyebaran dan pengembangan ilmu agama.

b. Pada abad III H.
Abad ini merupakan masa perintisan tahap lanjutan bagi tumbuh-kembangnya UQ dari apa yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya.
Di antara para tokoh yang lahir pada abad ini adalah al-Imam al-Shafi’i (w. 204 H.), al-Farra` (w. 207 H.), Abu ‘Ubaidah (w. 209 H.), al-As{mu’i (w. 214 H.), 'Ali ibn al-Madani (w. 234 H./ 849 M.) --guru al-Imam al-Bukhari ra.--, Abu 'Ubaid al-Qasim ibn Salam (wafat 224 H.), ....


c. Pada abad IV H.
Pertumbuhan UQ pada abad –di mana kemunduran peradaban Islam terjadi karena pertikaian internal di mana-mana hingga menjadikan ummat Islam dirundung keputusasaan— ini justeru makin subur ditandai dengan munculnya banyak tokoh, antara lain yang terkenal adalah ibn Jarir al-T{abari (224-310 H.) dengan karyanya Jami’ al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`ân.

d. pada Abad V H.: Kodifikasi ‘Ulūm al-Qur`ân
Abad –di mana Perang Salib mulai berkobar-- ini merupakan masa kelahiran istilah UQ secara formal, resmi, yang ditandai dengan munculnya karya-karya ‘ulama sebagai kelanjutan atas pengkajian dalam disiplin ilmu ini pada masa sebelumnya. ...
Masa ini pun dikenal sebagai masa penulisan ‘Ulūm al-Qur`ân (‘Asr Tadwin ‘Ulūm al-Qur`ân) secara resmi.


3. Masa Pengembangan ‘Ulūm al-Qur`ân
Sejak ‘Ulūm al-Qur`ân diperkenalkan secara formal sebagai salah satu dari disiplin ilmu keislaman para ‘ulama pada kurun berikutnya kian bersemangat untuk mengembangkannya hingga lebih dikenal dan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Maka masa ini dikenal dengan istilah masa pengembangan ‘Ulūm al-Qur`ân (‘as{r tat{wir al-Qur`ân). Masa ini berjalan sejak abad VI H. hingga abad X H., bahkan di Indonesia.
a. Pada abad VI H.
Pada abad ini muncul tokoh baru yang berperan dalam pengembangan UQ, seperti al-Hasan ibn Mas’ud ibn Muhammad al-Baghawi (438-516 H.) ...

b. Pada abad VII H.
Tokoh-tokoh yang muncul di abad ini tidak kalah hebatnya adalah para ‘ulama yang menulis secara khusus tentang ilmu tafsir atau ta`wil, maupun tentang ‘Ulūm al-Qur`ân secara umum, seperti Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H.)

c. Pada abad VIII H.
Hingga abad ini ilmu-ilmu al-Qur`ân kian berkembang pada masa ini hingga beberapa kurun waktu, baik berupa ilmu-ilmu secara parsial yang disusun secara terpisah dari ilmu-ilmu lainnya, maupun ditulis secara utuh, terpadu. Umumnya berupa karya tafsir.

d. Pada abad IX H.
Muncul pula para ahli bidang ‘Ulūm al-Qur`ân di abad ini, antara lain adalah Jalaluddin al-Bulqini (w. 842 H.) yang menulis Mawa>qi’ al-‘Ulu>m min Mawa>qi’ al-Nuju>m.,

e. Pada abad X H.
Tokoh terkemuka dan terkenal di kalangan Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah bernama Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H./ 1440-1505 M.) .....
Beberapa sumber menginformasikan bahwa kematian al-Suyuti disinyalir sebagai tanda berakhirnya masa pengembangan ilmu-ilmu al-Qur`ân di abad ini, sehingga sejak itu orang menyebut abad ini sebagai masa stagnasi sampai beberapa abad kemudian. Anggapan tersebut kini tidak dapat dipertahankan lagi karena al-Sayyid Muhammad ‘Ali Iyazi melalui karyanya dengan judul al-Mufassirun telah menemukan nama-nama para ‘ulama yang berkarya dan wafat setelah wafatnya al-Suyuti, baik dalam abad yang sama maupun pada abad-abad berikutnya.

f. Abad Kegelapan (XI-XIII H.)
Setelah berakhirnya abad X H. di penghujung abad pertengahan (V-X H./ X-XV M.) bagi Islam yang kaya akan peradaban dan khazanah ilmu pengetahuan, datanglah masa kegelapan di awal abad modern (XVI-XX M.) selama kurang lebih 3 abad (XI-XIII H./ XVI-XVIII M.), hal mana ummat Islam di berbagai penjuru dunia sedang dikuasai oleh kaum penjajah dari Eropa. Namun demikian, dalam masa yang dianggap masa kemandegan intelektual ini, sejarah masih mencatat tidak sedikit dari kalangan ‘ulama yang tetap tekun dalam berkarya, baik dalam bidang ‘Ulūm al-Qur`ân maupun bidang lainnya.

1) abad XI H.
Di antara para ‘ulama yang menghiasi percaturan intelektual pasca al-Suyuti dalam abad ini adalah Muhammad ibn Ibrahim Sadr al-Din al-Shirazi (979-1050 H./ 1571-1640 M.) .....

2) abad XII H.
Para tokoh intelektual yang aktif menulis tentang ilmu al-Qur`ân pada masa ini antara lain adalah al-Sayyid Hashim ibn Sulaiman al-Husaini al-Bahrani (w. 1107 H./ 1696 M.) ......

3) abad XIII H.
Adapun di antara tokoh-tokoh yang berhasil berkarya ilmiah di masa ini adalah Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdullah al-Shaukani (1173-1250 H./ 1759/1834 M.) .....

g. Abad XIV H.
Setelah mengalami stagnasi –menurut pendapat umum yang masih perlu dikaji ulang kebenarannya-- dalam beberapa abad gairah mempelajari dan meng-ajarkan ‘Ulūm al-Qur`ân mulai tumbuh kembali di abad XX M. ini. Tokoh yang berperan di abad ini ...

h. ‘Ulum al-Qur`ân di Indonesia
Di Indonesia keadaan UQ tumbuh dan berkembang sejak zaman Walisongo (masa awal) hingga sekarang seiring dengan proses masuknya Islam ke Nusantara. Pada masa awal (akhir abad XIV M.) UQ masih dalam bentuk embiotik integral, belum dibukukan, tetapi include dalam kajian-kajian tafsir yang dilakukan secara praktis empiris melalui kehidupan sehari-hari. Pengajaran dan kajian al-Qur`ân diberikan dengan cara yang belum istematis. Menjelang abad XX M. ....

D. ANALISIS
Sejarah telah mencatat bahwa ‘Ulūm al-Qur`ân adalah bagian dari ilmu-ilmu keislaman yang sarat dengan nilai historis. Historisitas ‘Ulūm al-Qur`ân yang meng-arungi perjalanan panjang telah berhasil mencatat beberapa fase pertumbuhan sebagai wujud perkembangannya dari masa ke masa. Kelahiran ‘Ulūm al-Qur`ân telah dimulai perintisannya sejak setelah Nabi saw. wafat. Banyaknya karya tentang cabang-cabang ‘Ulūm al-Qur`ân yang telah muncul pada masa-masa awal (abad II H.) menunjukkan betapa al-Qur`ân memiliki signifikansi yang tinggi bagi kehidupan manuisa, terutama pada bidang ilmu pengetahuan, yang mampu diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupa. Dengan munculnya tokoh-tokoh yang berperan dalam perintisan ....
Sejarah telah mencatat dinamika perkembangan ‘Ulūm al-Qur`ân. Pada abad I sampai III H. UQ belum muncul ke permukaan untuk dipakai sebagai terma keilmuan, tetapi masih dalam bentuk embriotik integral (integrated embriotic form). Pada abad IV H. terma ‘Ulūm al-Qur`ân telah diperkenalkan dan digunakan oleh ibn al-Marzuban (w. 309 H.) melalui karyanya, al-H{a>wi, dan Abu al-Hasan al-Ash’ari (w. 324 H.) melalui karyanya, al-Muqtadhan. Hanya saja dua karya tersebut belum menunjukkan kelengkapan materi kajian. Pada abad V H. terma tersebut benar-benar telah lahir secara resmi karena digunakan sebagai judul bagi buku seperti yang dilakukan oleh al-Hufi (w. 430 H.) melalui karya yang berjudul al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur`ân, yang terdiri dari 30 jilid.

Kritik Sejarah
Ada informasi yang janggal untuk diketahui ketika membaca sejarah di atas, di antaranya adalah:
1. Kasus Abu al-Aswad
Banyak karya tentang ‘Ulūm al-Qur`ân menginformasikan bahwa pada masa perintisan Abu al-Aswad (16-69 H.) melakukan peletakan ilmu al-Qur`ân melalui aspek i’rab sebagai upaya perbaikan atas tulisan al-Qur`ân (tah{sin rasm al-Qur`ân) adalah atas perintah Ali ibn Abi Talib ra. (w. 40 H.). Menurut al-Suyuti dalam al-Itqân, apa yang dilakukan oleh Abu al-Aswad adalah ...

2. Masa Kemandegan Intelektual
Pasca kesuksesan al-Suyuti opini menyebutnya sebagai masa kemandegan intelektual. Masa yang baik akan kembali pada akhir abad ke-13 hijriah atau awal abad ke-14 hijriah dengan munculnya tokoh-tokoh baru sebagai wujud kepedulian ummatnya. Sekarang pendapat tersebut tidak lagi kuat untuk dipertahankan, karena Muhammad Ali Iyazi telah menemukan sejumlah nama ‘ulama yang muncul dan produktif pada masa-masa tersebut. Beberapa tokoh yang rajin melakukan kajian al-Qur`ân, dari Mesir, India, Pakistan, bahkan Indonesia, justeru lahir di masa-masa ini, bahkan di antaranya adalah seorang wanita bernama Nas{ra bintu Muhammad ‘Ali al-Amin (1313-1403 H.), ....

E. PENUTUP
‘Ulūm al-Qur`ân mempunyai nilai-nilai kesejarahan yang dinamis. Ada masa perintisan, masa kelahiran dan penggunaan terma dalam bentuk karya tulis, dan ada masa pengembangan. Sebagai bagian dari ilmu-ilmu keislaman, ‘Ulūm al-Qur`ân masih dan tetap memerlukan perhatian dan kajian lebih lanjut dari para pemerhatinya. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi bagi kajian ‘Ulūm al-Qur`ân dan upaya pengembangan pada masa-masa berikutnya. Wa Allâh bi al-s{awâb.
[1] Makalah dipresentasikan dalam Seminar Kelas mata kuliah Kritik Sejarah pada program Doktor Tafsir-Hadith IAIN Sunan Ampel Surabaya , semester genap 2007/2008.
[2] Jika hal tersebut –menurut al-Khudlari-- dihitung sejak 17 Ramadlan 41 dari tahun kelahiran nabi saw. hingga 9 Dhul H{ijjah 10 H./ 63 dari tahun kelahiran, yang terbagi atas dua periode, yaitu periode Makkah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari (sejak 17 Ramadlan 41 dari tahun kelahiran sampai awal Rabi’ Awwal 54 dari tahun kelahiran dengan ), dan periode Madinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari (sejak Rabi’ Awwal 54 dari tahun kelahiran sampai dengan 9 Dhul Hijjah 63 dari tahun kelahiran./ 10 H.). Lihat M. Syakur Sf., Ulum al-Qur`ân, (Semarang: PKPI2, 2001), cet. II, h. 37-38.
[3] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur`ân, (Riyadl: Manshurat al-‘Asr al-Hadith, t.th.), h. 150. Bandingkan dengan pendapat al-Suyuti, bahwa Abu al-Aswad melakukan penyem-purnaan tulisan al-Qur`ân bukan atas perintah Ali ra., tetapi atas perintah ‘Abdul Malik ibn Marwan ibn al-Hakam (w. 86 H.). Lihat al-Itqan, juz II, h. 171.
[4] Nama lengkapnya al-Khalil ibn Ahmad al-Azdi al-Farahidi, ayah dari ‘Abdurrahman al-Basri, al-Nahwi. Ialah pemilik karya al-‘Aru>dl dan al-‘Ain. Ialah guru al-Imam Sibawaih (‘Amr ibn ‘Uthman ibn Qanbar). Ia seorang yang dsifati dengan saduq, ‘alim, dan ‘abid di bidang hadith. Khabar tentang tahun wafatnya masih diperdebatkan antara 165, 170, dan 175 H.
[5] Al-Syekh M. ‘Abdul ‘Adhim al-Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur`ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416 H./ 1996 M.), I, h. 28.
[6] Ibid., h. 24-25.
[7] Ibid., h. 28.
[8] Gilbert J. Garraghan , a Guide to Historical Method, (Fordham University Press, 1946), h. 3.
[9] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995), 16-17.
[10] Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah, (Jogjakarta: al-Ruzz Media, 2007), h. 13.
[11] Sidi Ghazalba, Pengantar Sejarah sebagai Ilmu (Jakarta: Bhratara, 1966), 11.
[12] al-Zarqani, Op. Cit., h. 30.
[13] Lihat Sahih al-Bukhari, hadith nomor 3175.
[14] Al-Syekh M. ‘Abdul ‘Adhim al-Zarqani, Op. Cit. h. 30.
[15] ‘Abdullâh ibn Abi Quhafa al-Qurashi al-Taymi.
[16] Luas wilayah kekuasaan Islam meliputi Armenia dan Azerbijan di bagian timur, dan Tripoli di bagian barat.
[17] Dilahirkan di Madinah dan wafat di Makkah. Nama lengkapnya ‘Abdullah ibn al-Zubair ibn al-‘Awwam al-Qurashi al-Asadi. Ibunya bernama Asma` binti Abu Bakar al-Siddiq.
[18] Dilahirkan sebelum perang Badar.
[19] Nama lengkapnya ‘Abdurrahman ibn al-Harith ibn Hisham ibn al-Mughirah ibn ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Mahzum al-Qurashi al-Mahzumi.
[20] Pada peristiwa tahkim di masa Ali ra. telah ada sekitar 100 mushaf yang dangkat di atas tombak.
[21] al-Zarqani, Op, Cit., h. 31.
[22] Lihat Dr. Uthman Amin, Falsafah al-Lughah al-‘Arabiyyyah, (Kairo: Maktabah Misr, 1965), h. 52. Lihat pula Inbahur-Ruwah, I, hal. 13-23, dan Tahdzib al-Tahdzib, XII, ha1. 10-12.
[23] Kufi adalah salah jenis gaya tulisan Arab yang dsebarkn oleh Harb ibn Umayyah ibn ‘Abd Syams ke Hijaz. Ia mengajarkannya kepada ‘Umar ibn al-Khattab r. dan Mu’awiyah. Lihat M. Syakur Sf., ‘Ulum al-Qur`ân, (Semarang: PKPI2, 2007), V, h. 51.
[24] al-Zarqani, Op, Cit., h. 406
[25] Ibid., h. 32.
[26] Seorang Sahabi yang terkenal dengan sebuan Tarjuman al-Qur`ân.
[27] Termasuk golongan al-Sabiqun al-Awwalun.
[28] Ada yang mengatakan, ia wafat pada tahun 20, bahkan 32 H. Menurut al-Dzahabi, Ubay adalah Sayyid al-Qurra>`.
[29] Nama lengkapnya adalah 'Abdullâh ibn Qais ibn Salim ibn Haddlar ibn Harb ibn ‘Amir ibn al-Ash’ar, terkenal dengan panggilan Abu Musa al-Ash’ari. Ia seorang S}ah}a>bi tinggal di Mekkah, gubernur Basrah pada masa ‘Umar ra., dan gubernur Kufa pada masa ‘Uthman ra.
[30] Tahun wafatnya belum disepakati, 101, 102, 103, atau 104 H.
[31] Dr. Muhammad ibn Lutfi al-S}ibagh, Lamh}a>t fi ‘Ulu>m al-Qur`ân, al-Maktab al-Islami, 1985), h. 141.
[32] al-Zarqani, Loc, Cit.
[33] Imam yang ahli tafsir dan Hadits terkemuka di Bashrah ini menemui masa hidup Anas ibn Malik ra. dan mendengarkan pemikiran 400 orang dari kaum Tabi'in. Di kalangan semua imam ahli Hadits ia dipandang sebagai hujjah.
[34] Ahli tafsir dan hadith di Hijaz. Nama lengkapnya Sufyan ibn 'Uyainah ibn Abi ‘Imran al-Hilali al-Kufi, wafat di Mekkah.
[35] Karyanya berjudul Ghari>b al-Qur`ân, dan al-Ma’âni.
[36] Ia mendengarkan pendapat-pendapat dari Ibn Jarij, al-A'mash, al-Auza'i, dan Sufyan ats-Thauri. Hadits darinya diketengahkan oleh 'Abdullah ibn al-Mubarak, Yahya ibn Adam, Ahmad ibn Hanbal, dan 'Ali ibn al-Madani. Lihat al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, XIII, h. 466-481.
[37] Pendapat lain menerangkan, wafatnya pada tahun 197 H. atau 198 H.
[38] Ia adalah 'Ali ibn 'Abdu1lah ibn Ja'far. Nama panggilannya: Abu Ja'far, seorang dari kabilah Sa'ad berdasarkan wala` (Perwalian).
[39] Menurut informasi terkini, Kitabnya berjudul 'Fadha'ilul-Qur'an, naskahnya yang dalam keadaan lengkap tersimpan di Dzahiriyah.
[40] Tahun wafatnya masih debateble dan diperselisihkan. Lihat Dr. Muhammad ibn Lutfi, Op. Cit., 142.
[41] Dr. Muhammad ibn Lutfi al-Sibagh, Ibid..
[42] Kitabnya ini telah ditahqiq oleh Ahmad M. Syakir, dan diterbitkan pertama kali oleh Mu`assasah al-Risalah (1420 H./ 2000 M.).
[43] Muhammad ‘Ali Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu`assasah al-Tiba’ah wa al-Nashr, 1415 H.), h. 109.
[44] Karya ini terdiri atas 27 jilid.
[45] Menurut al-Zarqani, al-Hufi wafat pada tahun 330 H., bukan 430 H. hingga demikian al-Hufi hidup pada abad IV H. yang berarti pula bahwa ‘Ulum al-Qur`ân lahir pada abad IV H. Baca Manahil al-‘Irfan, I, 36.
[46] al-Zarqani, Ibid.
[47] Ibid., I, 32-33.
[48] Muhammad ‘Ali Iyazi, Op. Cit., h. 724.
[49] Dr. Muhammad ibn Lutfi al-Sibagh, Op. Cit., h. 143.
[50] Ada yang menyebutkan tahun 643 H.
[51] Muhammad ‘Ali Iyazi, Op.Cit., h. 242-246.
[52] al-Zarqani, Op. Cit., h. 37..
[53] Karya ini telah dicetak pada tahun 1408 H./ 1988 M. oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah Beirut.
[54] al-Zarqani, Op. Cit., I, h. 39.
[55] Ada pula yang menerangkan, pada tahun 1330 H.
[56] Muhammad ‘Ali Iyazi, Op.Cit., h. 630.
[57] Buku ini diterbitkan oleh Dar al-Kitab al-‘Arabi Beirut, 1410 H./ 1990 M.
[58] Tanggal penulisan 8 Rabi’ al-Awwal 1401 H. diterbitkan pada tahun 1403 H./ 1983 M. oleh Dar al-Shuruq Makkah.
[59] al-Zarqani, Op. Cit., I, h. 40.
[60] Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur`ân, terj. Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), h. 37.
[61] Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1954.
[62] Penerbit Mubarakah Thayyibah Kudus, Cetakan II, 1419 H./ 1998.
[63] Penerbit Toha Putera Semarang.
[64] Penerbit al-Ikhlas Surabaya, 1987.
[65] Penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1988.
[66] Penerbit DIMAS Semarang, 1994.
[67] Penerbit Remaja Rosdakarya Bandung, 1992.
[68] Penerbit Rineka Cipta Jakarta, 1992.
[69] Penerbit Bina Ilmu Surabaya, cet. IV, 1993.
[70] Diterbitkan di Kudus, 2003.
[71] Diterbitkan di Kudus, 2002.
[72] Penerbit Pustaka Setia Bandung, cet. III, 2005.
[73] Penerbit Dunia Ilmu Surabaya , 1998, 2000, 2008.
[74] Penerbit Pustaka Setia Bandung, 1997.
[75] Penerbit PKPI2 Semarang, 2001, 2002, 2003, 2004, 2007.
[76] Jurnal tiga bulanan, terbit di Jakarta sejak 1990.
[77] Muhammad ‘Ali Iyazi, Op.Cit., h. 629-633.

Senin, 04 Juli 2011

NU dan Islam

Oleh: Zainal Abidin Nawawi *

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang bertujuan menegakkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat di dalam wadah NKRI. Untuk mencapai tujuannya, NU melakukan berbagai usaha di bidang agama, pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi. Usaha NU di bidang agama adalah melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

Empat kata terakhir pada kalimat di atas sengaja ditulis miring untuk mempertegas sikap NU dalam kebhinnekaan bangsa ini. Sejak pra kemerdekaan, ulama-ulama NU menyadari bahwa Indonesia sangat majemuk. Bermacam suku, bahasa, budaya dan agama hidup di dalamnya. Kemajemukan itu menjadi kekuatan dan sekaligus tantangan bangsa Indonesia untuk merajut NKRI.

NU tidak memimpikan — apalagi memaksakan — Indonesia menjadi negara Islam walaupun Islam merupakan agama mayoritas. Memaksakan Islam sebagai asas atau ideologi negara berarti merelakan bumi pertiwi ini tercabik-cabik oleh pertikaian sesama anak bangsa. Kita tentu tidak ingin hal itu terjadi. NKRI dengan segala kemajemukannya merupakan pilihan terbaik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar itu, NU menegaskan tiga macam ukhuwah (persaudaraan) dalam pola komunikasinya, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah.

Dengan ketiganya, NU konsisten menjaga dan memperkuat kerukunan intern dan antarumat beragama. Dan sebagai implikasi diakuinya beramacam-macam agama di Indonesia, semua warga negara dituntut siap hidup secara harmonis dengan pemeluk agama mana pun. Perbedaan iman tidak perlu dijadikan alasan membenci, memusuhi atau menyerang pemeluk agama lain. Sebaliknya, perbedaan itu dijadikan sebagai peluang untuk saling membantu, saling mengasihi dan saling menasehati.

Sampai kapan pun agama di dunia tidak akan pernah tunggal. Agama selalu (dan akan terus) hadir dalam bentuk plural. Allah menegaskan hal ini dalam Qur’an Surat al-Maidah ayat 48: “Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah Kami ciptakan hukum (syari’at) dan jalan hidup. Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah Dia menjadikan kalian umat yang satu. Namun, Dia menjadikan kalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikaruniakan-Nya kepada kalian. Maka berlombalah kalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian kembali; maka Dia akan menjelaskan kepada kalian tentang perkara yang pernah kalian perselisihkan.”

Perbedaan sejatinya bukan hanya terjadi antarumat beragama, tetapi juga di intern umat seagama. Hampir di semua agama terdapat sekte-sekte yang acapkali tidak akur. Dalam Islam sendiri, sejak dulu telah muncul bermacam sekte yang berbeda baik dalam hal-hal “kecil” maupun “besar”. Di Indonesia pun demikian. Terdapat sejumlah perbedaan antara satu kelompok Muslim dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya. Jadi, perbedaan merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.

Dengan mengusung nilai-nilai moderatisme (tawassuth wal i'tidal), kesetaraan (al-musawah) dan toleran (tasamuh) secara konsistem, NU telah dan (semoga) terus berperan aktif dalam upaya membangun perdamaian dengan meminimalisasi serta meredam peluang konflik pemeluk agama. Adapun kekerasan demi kekerasan yang banyak terjadi di republik ini hampir semuanya tidak melibatkan warga nahdliyin. NU antikekerasan. NU lebih mendahulukan tabayun, dialog atau debat untuk mewujudkan kedamaian di kalangan intern atau antarumat beragama.

KH Said Aqil Siradj menegaskan, warga NU secara umum memahami bahwa Al-Qur’an mewajibkan umat Islam menghormati perbedaan agama. Al-Qur’an mengajarkan dengan baik bahwa penduduk mayoritas wajib melindungi penduduk minoritas tanpa memandang agama dan etnisnya.

Maka tidak berlebihan manakala Robert W. Hefner memosisikan NU sebagai representasi dari yang disebutnya sebagai Islam berkeadaban (civil Islam), yaitu sebuah praktik budaya demokratis yang dilakukan oleh kelompok Islam inklusif. NU memberikan perhatian besar kepada proses demokratisasi, pluralisme agama, hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat bawah dan terutama bersikap kritis terhadap negara. Tokoh-tokoh NU menjadi garda terdepan dalam melawan tindak kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas.

Publik Indonesia hingga kini tetap mengakui kontribusi NU dalam hal kerukunan umat beragama. Jajak pendapat yang dirilis Harian KOMPAS pada 15 Maret 2010 menunjukkan bahwa secara konsisten diperoleh tingkat kepuasan tertinggi responden (80,6 persen) terhadap peran NU dalam penciptaan iklim toleransi antarumat beragama. Setelah itu, berturut-turut dalah hal memajukan pendidikan masyarakat (61,7 persen) dan memajukan demokrasi (60,8 persen). Ini, sekali lagi, membuktikan bahwa NU senantiasa berkomitmen untuk membumikan spirit pluralisme.

Meski demikian, NU tidak boleh puas dengan “prestasinya” dalam membangun moderasi dan pluralisme, sebab belakangan ini kita mulai melihat citra Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim yang demokratis, moderat dan pluralis mendapat tantangan baru. Reformasi politik tidak hanya mengantarkan Indonesia ke jajaran negara-negara demokratis di dunia, tapi juga mengubah peta pergerakan dan corak Islam.

Beberapa gerakan Islam yang “baru” muncul tampil lebih sangar, kalau tidak mau dikatakan anarkis. Insiden penyerangan terhadap warga Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI) di Cikeusik, Pandeglang, Banten yang menewaskan tiga orang, serta pembakaran gereja dan sekolah Kristen di Temanggung, Jawa Tengah, diduga kuat dilakukan oleh kelompok-kelompok Muslim “garis keras”. KH Hasyim Muzadi menyebut mereka sebagai ormas muslim yang mengusung ideologi Islam transnasional yang tidak cocok dengan bangsa Indonesia.

Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh ormas tersebut bukan hanya mengancam kerukunan umat beragama tetapi juga dapat merusak citra Indonesia sebagai bangsa yang santun, damai dan menghargai keragaman. Inilah tantangan NU ke depan. NU dituntut untuk terus meningkatkan perannya dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara sehingga benar-benar terbentuk wajah Islam Indonesia yang cerdas, ramah, santun, dan damai.

Dialog merupakan salah satu jalan terbaik untuk mencapainya. Maka dari itu, NU dituntut untuk menularkan “virus dialog” kepada siapa saja, terutama kepada ormas-ormas anarkis yang sering mengedepankan pentungan daripada logika. Dengan dialog akan muncul saling memberi dan menerima, saling mendengarkan dan sekaligus saling mengingatkan.

Dalam dialog, target yang hendak dicapai adalah diperolehnya kesepahaman, bukan saling mengalahkan. Tidak ada kalah-menang dalam dialog. Dialog diupayakan untuk mencari titik temu (kalimatun sawaa’) untuk merajut komitmen kolektif di antara berbagai perbedaaan dan keragaman yang ada.

Tentu saja disadari bahwa untuk membudayaan dialog bukan pekerjaan mudah. Diperlukan keberanian dari semua pihak untuk berdialog secara sungguh-sungguh. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika dari masing-masing partisipan tidak ada kesediaan untuk membuka diri, serta ketulusan untuk saling memberi dan menerima. Inilah makna ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal (QS. al-Hujurat: 13).

Nabi Muhammad juga mengajarkan pentingnya dialog. Diriwayatkan, ketika datang rombongan Nasrani Najran berjumlah 15 orang yang dipimpin oleh Abu al-Harits, Rasulullah berdialog dengan mereka dan mempersilahkan mereka untuk beribadah di Masjid Nabawi, sedangkan Rasulullah beserta sahabat shalat di bagian lain. Pada kesempatan lain, Nabi bersabda, “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah adalah semangat pencarian kebenaran yang lapang”. Kedua hadits ini memberikan dasar bagi terwujudnya masyarakat yang toleran, inklusif dan damai. Semoga!

* Dosen STAIN dan Ketua LTN NU Jember

Jumat, 01 Juli 2011

IDENTIKA ASWAJA DENGAN IMAM ASY’ARI DAN MATURIDI

Al-Firqah al-Najiyah
Kajian seputar aliran-aliran dalam Islam, pada akhirnya menggiring pada kajian tentang al-firqah al-najiyah (golongan yang selamat), karena seperti dikatakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi dalam al-I'tisham, bahasan tentang al-firqah al-najiyah merupakan inti dari kajian tentang aliran-aliran. Hal ini sesuai dengan hadits shahih berikut ini:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ  أَنَّ رَسُولَ اللهِ J قَالَ: أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ. (رواه أبو داود (3981)، والدارمي (2/241) وأحمد (16329)، والحاكم (407) وصححه الحاكم، ووافقه الحافظ الذهبي.
"Dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan , bahwa Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut Ahlil-kitab terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 dua golongan akan masuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu golongan al-jama'ah".
Hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang serupa mengantarkan kita pada kesimpulan, bahwa ketika umat Islam terpecah belah menjadi puluhan atau bahkan ratusan golongan, seperti yang kita lihat dewasa ini, maka tidak semua golongan itu akan selamat. Hanya satu golongan yang akan selamat dan masuk surga. Sementara golongan yang lain tidak akan selamat dan akan masuk neraka. Kemudian hadits tersebut menjelaskan, bahwa satu golongan yang selamat adalah al-jama'ah. Dari sini berkembang sebuah pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan al-jama'ah, yang akan selamat, diantara 73 golongan dalam teks hadits di atas? Apakah madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi yang kita ikuti termasuk golongan al-jama'ah? Dan adakah dalil-dalil yang membuktikan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi adalah golongan al-jama'ah?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada dua hal yang harus kita pahami di sini. Pertama, harus kita pahami bahwa masuknya seseorang ke dalam golongan yang diyakini selamat, tidak menjadi jaminan bahwa dia akan selamat. Demikian pula, keluarnya seseorang dari golongan yang selamat, tidak menjadi kepastian bahwa ia tidak akan selamat, karena dalam golongan yang selamat sendiri, terdapat sekian banyak ajaran dan kewajiban yang harus ditaati oleh pengikutnya.
Kedua, para ulama dari berbagai golongan dan aliran telah berupaya memberikan jawaban terhadap pertanyaan di atas. Tentu saja jawaban mereka berbeda-beda sesuai dengan golongan masing-masing. Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah, mengklaim bahwa golongan mereka yang selamat. Ulama Syi'ah, mengklaim bahwa golongan Syi'ah-lah golongan yang selamat. Ulama Khawarij, Mu'tazilah, Wahhabi dan lain-lain juga mengklaim bahwa golongan merekalah golongan yang selamat, sementara golongan yang lain tidak akan selamat. Dan sudah barang tentu, seperti dikatakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi dalam al-I'tisham, tiap-tiap golongan membenarkan klaim dirinya sebagai satu-satunya golongan yang selamat dengan dalil-dalil dari al-Qur'an dan sunnah yang mereka asumsikan membuktikan kebenaran golongan mereka. Oleh karena itu, menentukan mana kelompok yang selamat pada zaman sekarang [masa hidup al-Syathibi] secara obyektif, adalah sulit. Namun demikian, kita tetap harus memberikan jawaban terhadap pertanyaan di atas, karena jawaban tersebut adalah pokok bahasan dalam kajian tentang aliran-aliran dalam Islam. Demikian pernyataan Abu Ishaq al-Syathibi dengan disederhanakan.
Dalam menjawab pertanyaan di atas, golongan manakah yang dimaksud dengan al-firqah al-najiyah dalam hadits-hadits Nabi J, para ulama kita, baik dari kalangan ahli hadits, maupun kalangan fuqaha, telah berupaya memberikan jawaban dengan tuntas, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur'an dan sunnah, tentang golongan yang selamat. Diantara kalangan ahli hadits ialah al-Hafizh Hibatullah al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, al-Hafizh Abu Bakar al-Ajurri dalam al-Syari'ah, al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab-kitabnya dan lain-lain. Sementara dari kalangan fuqaha, diantaranya al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq baina al-Firaq wa Bayan al-Firqah al-Najiyah (perbedaan antara berbagai aliran dan paparan tentang aliran yang selamat), al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Asfarayini dalam al-Tabshir fi al-Din wa Tamyiz al-Firqah al-Najiyah 'an al-Firaq al-Halikin (pendalaman tentang agama dan perbedaan aliran yang selamat dengan aliran-aliran yang celaka), al-Imam Abu Ishaq al-Syathibi dalam al-I'tisham dan lain-lain.
Bagian berikut ini akan mencoba menyajikan rangkuman dari pemaparan para ulama di atas, dan kaitannya dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, serta aliran-aliran yang berkembang dalam Islam hingga dewasa ini.

Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan al-Firqah al-Najiyah
Sebelumnya di sini perlu ditegaskan, bahwa tidak ada nash yang sharih, dalam al-Qur'an dan hadits Nabi J yang shahih yang secara tegas menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang menamakan dirinya Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau golongan salafi, atsari dan lain sebagainya. Hanya saja menurut pernyataan mayoritas ulama, sejak generasi salaf yang saleh, disebutkan bahwa Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah kelompok yang mengikuti ajaran Islam yang murni seperti yang diajarkan oleh Nabi J dan sahabatnya, sehingga pada gilirannya, golongan Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini yang diakui sebagai golongan yang selamat (al-firqah al-najiyah).
Dalam perjalanan sejarah, tidak semua aliran dalam Islam yang mengklaim dirinya mengikuti Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Kelompok Syi'ah, Khawarij, Mu'tazilah, Zaidiyah dan Ibadhiyah –misalnya-, tidak mau dikatakan sebagai pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Dalam sejarah aliran-aliran, hanya ada dua aliran yang mengklaim dirinya mengikuti dan mewakili madzhab Ahlussunnah Wal-Jama'ah, yaitu aliran yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, dan aliran yang mengikuti ajaran Ibn Taimiyah al-Harrani. Kedua aliran inilah yang mengklaim dirinya mengikuti dan mewakili Ahlussunnah Wal-Jama'ah, sementara kelompok yang lain divonisnya, sebagai kelompok Ahli bid'ah. Meskipun dalam perjalanan sejarah, konflik pemikiran dan ideologis yang terjadi antara aliran yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi di satu pihak, dan aliran yang mengikuti Ibn Taimiyah al-Harrani di pihak lain, selalu dimenangkan aliran yang pertama, yaitu aliran yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Dari sini berkembang sebuah pertanyaan, adakah dalil-dalil agama dalam al-Qur'an dan sunnah yang mengisyaratkan bahwa madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, atau madzhab Ibn Taimiyah, adalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah?
Bagian berikut ini akan mencoba mengetengahkan beberapa dalil dalam al-Qur'an dan sunnah yang mengisyaratkan kebenaran madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi sebagai kelompok yang layak mewakili Ahlussunnah Wal-Jama'ah.

Sifat-Sifat al-Firqah al-Najiyah
Sebelumnya di sini harus kita pahami, bahwa tidak ada nash yang tegas dan sharih, baik dalam al-Qur'an maupun dalam hadits shahih, yang menegaskan bahwa golongan A atau B, yang secara tertentu adalah golongan yang selamat, sementara golongan yang lain tidak akan selamat. Oleh karena itu, penentuan golongan yang selamat, seperti dikatakan oleh al-Syathibi, masih sebatas ijtihad para ulama. Namun demikian, meskipun tidak ada nash yang tegas tentang golongan yang selamat secara pasti, dalil-dalil al-Qur'an dan sunnah telah menyebutkan sifat-sifat yang menjadi ciri khas golongan yang selamat tersebut. Kajian berikut ini akan mencoba memaparkan sifat-sifat al-firqah al-najiyah yang terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah serta relevansinya dengan aliran-aliran yang berkembang dalam Islam hingga dewasa ini.
Kajian para ulama tentang al-firqah al-najiyah sebagian besar merujuk terhadap hadits-hadits seputar iftiraq al-ummah (perpecahan umat). Sebagian riwayat hadits-hadits perpecahan umat, memberikan penjelasan, bahwa ada dua kriteria yang menjadi barometer bahwa suatu golongan itu dikatakan sebagai al-firqah al-najiyah. Pertama, mengikuti al-jama'ah. Dan kedua, mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya (ma ana 'alayhi al-yauma wa ashhabi). Bahasan berikut ini akan mencoba memaparkan sifat-sifat golongan yang selamat, dengan berangkat dari dua kriteria tersebut serta dalil-dalil lain dalam al-Qur'an dan sunnah yang dijelaskan oleh para ulama.

1. Mengikuti Ajaran al-Jama'ah
Dalam sebagian hadits-hadits perpecahan umat, dijelaskan bahwa golongan yang selamat ketika umat Islam terpecah belah menjadi 73 golongan adalah golongan al-jama'ah. Hal ini sesuai dengan hadits berikut:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ  أَنَّ رَسُولَ اللهِ J قَالَ: أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ. (سبق تخريجه قريبا).
"Dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan , bahwa Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut Ahlil-kitab terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan akan masuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu golongan al-jama'ah".
Dalam hadits lain, Rasulullah J juga bersabda:
وَعَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ  قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: عَلَيْكُمْ بْالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، وَمَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَة. (رواه الترمذي (2091)، والنسائي في الكبرى (9219)، وأحمد (172) وقال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح، وصححه الحاكم : (356).
"Dari Umar bin al-Khaththab , berkata: "Rasulullah J bersabda: "Ikutilah kelompok yang banyak dan jauhi perpecahan. Karena syetan bersama orang yang sendirian. Syetan akan lebih jauh dari orang yang berduaan. Barangsiapa yang menginginkan tempat yang lapang di surga, maka ikutilah al-jama'ah."
Dua hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa golongan yang selamat ketika kaum Muslimin terpecah belah menjadi 73 golongan adalah golongan al-jama'ah. Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan penafsiran terhadap maksud al-jama'ah dalam hadits di atas. Namun perbedaan tersebut –seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya-, tidaklah bersifat kontradiktif (tadhad), dimana pendapat yang satu menafikan pendapat yang lain. Akan tetapi, perbedaan tersebut hanya bersifat variatif (tanawwu'), dimana masing-masing pendapat menjelaskan varian berbeda yang masih menjadi bagian dari esensi makna al-jama'ah tersebut. Berikut ini akan dipaparkan maksud al-jama'ah dalam pandangan para ulama.

a. Disebut Aliran al-Jama'ah
Kata al-jama'ah dalam hadits-hadits di atas menunjuk pada arti golongan yang memang disebut dengan al-jama'ah. Itu terjadi pada golongan yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Karena semua kaum Muslimin, baik yang awam maupun yang alim, dari berbagai aliran dan golongan, menamakan pengikut madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Dalam hal ini, al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Asfarayini mengatakan:
وَمِنْهَا جَاءَ فِيْ رِوَايَةٍ أُخْرَى أَنَّهُ J سُئِلَ عَنِ الْفِرْقَةِ النَّاجِيَةِ فَقَالَ: الْجَمَاعَةُ، وَهَذِهِ صِفَةٌ مُخْتَصَّةٌ بِنَا، لأَنَّ جَمِيْعَ الْخَاصِّ وَالْعَامِّ مِنْ أَهْلِ الْفِرَقِ الْمُخْتَلِفَةِ يُسَمُّوْنَهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَكَيْفَ يَتَنَاوَلُ هَذَا اْلاِسْمُ الْخَوَارِجَ وَهُمْ لاَ يَرَوْنَ الْجَمَاعَةَ، وَالرَّوَافِضَ وَهُمْ لاَ يَرَوْنَ الْجَمَاعَةَ، وَالْمُعْتَزِلَةَ وَهُمْ لاَ يَرَوْنَ صِحَّةَ اْلإِجْمَاعِ، وَكَيْفَ تَلِيْقُ بِهِمْ هَذِهِ الصِّفَةُ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الرَّسُوْلُ J اهـ. (الإمام أبو المظفر الاسفراييني، التبصير في الدين، ص/185-186).
"Diantara ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama'ah, adalah diterangkan dalam riwayat lain, bahwa Nabi J pernah ditanya tentang kelompok yang selamat, lalu beliau menjawab: "Kelompok yang selamat adalah al-jama'ah". Ini adalah ciri khas yang tertentu pada kami (madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi), karena semua orang yang alim dan yang awam dari berbagai golongan, menamakan mereka dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Nama al-jama'ah tersebut tidak mencakup golongan Khawarij, karena mereka tidak berpandangan perlunya menjaga al-jama'ah. Tidak mencakup golongan Rawafidh (Syi'ah), karena mereka juga tidak berpandangan perlunya menjaga al-jama'ah. Dan tidak pula mencakup golongan Mu'tazilah, karena mereka tidak mengakui kebenaran ijma' sebagai dalil. Sifat yang disebutkan oleh Rasul J ini tidak layak bagi mereka."

b. Mengikuti Ijma' Ulama
Kata al-jama'ah tersebut juga menunjuk pada golongan yang menjadikan ijma' ulama sebagai hujjah dan dalil dalam beragama. Hal ini didasarkan pada dalil al-Qur'an dan hadits yang mewajibkan kaum Muslimin mengikuti ijma' ulama. Dalam al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
      •           •   • 
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. al-Nisa' : 115).
Dalam hadits shahih, Rasulullah J juga bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ، وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلىَ النَّارِ. رواه الترمذي، وغيره. والحديث صحيح بطرقه وشواهده.
"Ibn Umar berkata, Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atas kesesatan. Pertolongan Allah selalu bersama jama'ah. Dan barangsiapa yang menyimpang dari jama'ah, maka ia akan terjun ke neraka."
Sifat mengikuti ijma' ulama tersebut, cocok dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, karena dalam menetapkan hukum-hukum agama, para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi selalu menggunakan dalil al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas secara sempurna. Sedangkan aliran-aliran yang lain, pasti menolak sebagian dari dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu, madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi yang layak disebut Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah.
Berkaitan dengan ijma' ulama, aliran-aliran yang mengikuti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, [Ibn Baz, al-Albani, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, al-'Utsaimin, al-Fauzan, Muqbil al-Wadi'i, Rabi' al-Madkhali dan tokoh-tokoh Wahhabi yang lain] tidak dapat dikatakan mengikuti Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah, karena pendapat-pendapat mereka banyak yang keluar dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' para ulama. Berikut ini penjelasan sebagian pendapat tokoh-tokoh tersebut.
1) Ibn Taimiyah al-Harrani, yang merupakan cikal-bakal lahirnya gerakan Wahhabi, memiliki banyak pandangan yang keluar dari ijma' ulama. Menurut al-Imam al-Hafizh Waliyyuddin al-'Iraqi, Ibn Taimiyah memiliki 60 pendapat yang menyalahi ijma' ulama, baik dalam hal akidah maupun dalam hukum fiqih. Dalam hal akidah ada dua pendapat Ibn Taimiyah yang sangat tragis dan keluar dari ijma' ulama. Pertama, dia berpendapat bahwa wujudnya alam itu tidak ada permulaannya. Hal ini ia sebutkan dalam tujuh kitabnya. Padahal menurut ijma' ulama, yang dikutip oleh al-Imam al-Nawawi dan al-Hafizh Ibn Hajar, orang yang berpendapat bahwa alam tidak ada permulaannya adalah kafir. Kedua, dia berpendapat bahwa neraka itu tidak kekal. Pendapat ini diceritakan dan diikuti oleh muridnya, Ibn al-Qayyim. Tentu saja pendapat tersebut bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits shahih yang menegaskan bahwa neraka itu kekal. Diantaranya adalah firman Allah SWT:
•      •           
"Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong." (QS. al-Ahzab : 64-65).
Dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman:
                   
"Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal." (QS. al-Taubah : 68).
Dalam hal furu' (hukum fiqih), Ibn Taimiyah juga memiliki banyak pendapat yang keluar dari ijma' ulama, seperti keharaman ber-tawassul dengan nabi dan orang shaleh, keharaman ber-tabarruk dengan mereka serta peninggalan mereka, pendapat bahwa bepergian untuk berziarah ke makam Nabi J termasuk maksiat yang tidak membolehkan melakukan qashar shalat, talak tiga yang diucapkan satu kali menjadi satu, dan lain sebagainya.
2) Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri ajaran Wahhabi, selain mengadopsi bid'ah-bid'ah yang digagas oleh Ibn Taimiyah al-Harrani, juga menambahnya dengan pendapat-pendapat baru yang juga keluar dari ijma' ulama. Diantara pendapatnya yang keluar dari ijma' ulama adalah, mengkafirkan seluruh kaum Muslimin pada masanya karena tidak mengikuti ajarannya, mengkafirkan orang yang melakukan istighatsah dengan nabi atau wali yang sudah meninggal, berpendapat bahwa orang yang berziarah ke makam nabi dan orang shaleh dengan tujuan tabarruk adalah syirik besar, mengharamkan bacaan shalawat dengan keras setelah adzan, mengharamkan perayaan maulid Nabi J, seluruh kaum Muslimin telah syirik sejak tahun 600 Hijriah, mengharamkan membaca Dalail al-Khairat dan lain sebagainya.
3) Muhammad Abduh yang mendeklarasikan gerakan kembali pada ajaran 'salaf' -sehingga sejak saat itu nama aliran 'salafi' menjadi tren di kalangan Wahhabi-, selain mengadopsi sebagian bid'ah-bid'ah Ibn Taimiyah dan aliran Wahhabi, juga memiliki banyak pandangan yang keluar dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama. Diantara pendapat Abduh yang keluar dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama adalah, fatwanya yang berupa boleh mengambil bunga ribawi dengan prosentase tertentu, boleh memakan daging hewan yang disembelih oleh orang-orang Kristen dengan cara apapun mereka menyembelihnya, boleh membuat dan memelihara patung dan lain sebagainya.
Di sisi lain, dalam menafsirkan teks-teks al-Qur'an dan sunnah, Muhammad Abduh seringkali tidak mengikuti metodologi tafsir yang disepakati oleh ulama salaf dan khalaf. Dia seringkali mengikuti metodologi apa saja, sesuai dengan kepentingannya. Antara lain, Abduh menafsirkan malaikat yang diperbantukan Allah kepada kaum Muslimin dalam peperangan Badar dengan kekuatan mental dan taufiq dari Tuhan, bukan malaikat yang mempunyai raga, ruh dan kekuatan. Padahal berdasarkan sekian banyak riwayat yang ada, malaikat yang diperbantukan Allah dalam peperangan Badar, hadir dalam wujud raga yang mempunyai ruh dengan bentuk manusia. Abduh juga menafsirkan burung Ababil yang membinasakan Abrahah dan bala tentaranya dalam surat al-Fil dengan virus cacar. Dia juga melakukan takwil terhadap sejumlah besar khawariq (kejadian yang tidak alami) dan mukjizat Nabi J.
4) Muhammad Rasyid Ridha, penulis Tafsir al-Manar dan pemilik Majalah al-Manar, adalah murid Muhammad Abduh yang mengadopsi bid'ah-bid'ah Ibn Taimiyah dan aliran Wahhabi. Dia juga memiliki banyak pandangan yang menyimpang dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama, antara lain adalah beberapa penafsirannya yang terdapat dalam Tafsir al-Manar, seperti malaikat dalam al-Qur'an yang ditafsirkan dengan kekuatan alam, jin dalam al-Qur'an yang ditafsirkan dengan virus penyakit dan pendapatnya bahwa al-Qur'an al-Karim dapat diterapkan terhadap teori evolusi Darwin bahwa manusia berasal dari kera.
Tentu saja penafsiran-penafsiran semacam ini keluar dari nash al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama. Penafsiran malaikat dengan kekuatan alam bertentangan dengan banyak ayat dan hadits shahih, seperti ayat al-Quran, "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-Baqarah : 30). Dalam ayat ini digambarkan, bagaimana malaikat itu bertanya kepada Allah tentang hikmah penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sudah barang tentu pertanyaan semacam ini tidak ditanyakan oleh benda atau materi yang tidak mempunyai ruh (jiwa).
Sedangkan penafsiran jin dengan virus penyakit juga bertentangan dengan banyak ayat dan hadits shahih, seperti ayat, "Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya." (QS. al-Naml : 39), dan ayat, "Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih." (QS. Saba' : 13).
Sudah barang tentu, aktifitas dalam kedua ayat di atas, yang dilakukan oleh Jin, berupa memindah istana Bilqis dari Saba' ke Palestina, membangun gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung, membuat piring-piring yang besarnya seperti kolam dan periuk yang tetap berada di atas tungku, tidak dilakukan oleh virus penyakit, tetapi oleh makhluk Allah yang mempunyai ruh dan kekuatan.
Sedangkan pendapat Rasyid Ridha, bahwa teori evolusi Darwin dapat disesuaikan dengan ayat-ayat al-Qur'an, bertentangan dengan ayat, "Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia." (QS. Ali-Imran : 59). Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Nabi Adam diciptakan oleh Allah dari tanah, bukan melalui proses evolusi dari kera. Anehnya, pendapat Rasyid Ridha ini diikuti oleh Quraish Shihab, yang belakangan diketahui mengikuti aliran Syi'ah Imamiyah.
Rasyid Ridha juga berfatwa, tentang kehalalan makan daging babi apabila sudah direbus dengan air dalam kadar suhu panas tertentu yang diyakini virus yang dikandungnya telah mati. Dia juga pernah mendustakan hadits Rasulullah J yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim, bahwa Matahari bersujud kepada Allah di bawah 'Arasy. Mengomentari hadits shahih tersebut, Rasyid berkata, "Para nabi tidak mengetahui ilmu pengetahuan semacam ini." Tentu saja pernyataan Rasyid ini sebagai pendustaan terhadap Rasulullah J.
Fatwa dan penafsiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di atas tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan teks-teks al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama. Penafsiran yang demikian itu termasuk penafsiran rasional yang tercela (bi al-ra'y al-madzmum). Berkaitan dengan hal ini, al-Imam Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri –pakar hadits dan fiqih kontemporer berkebangsaan India-, mengatakan:
التَّأْوِيْلُ تَأْوِيْلاَنِ، تَأْوِيْلٌ لاَ يُخَالِفُ قَاطِعًا مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَاتِّفَاقِ اْلأُمَّةِ، وَتَأْوِيْلٌ يُصَادِمُ مَا ثَبَتَ بِالْقَاطِعِ فَذَلِكَ الزَّنْدَقَةُ. (الامام محمد أنور شاه الكشميري، إكفار الملحدين ص/44).
"Ta'wil itu ada dua macam. Pertama, ta'wil yang tidak menyelisihi dalil yang pasti dalam al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama. Dan kedua, ta'wil yang berlawanan dengan dalil yang pasti, maka hal tersebut adalah kezindiqan [kekafiran]."
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran-aliran yang mengikuti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha dan tokoh-tokoh Wahhabi yang lain [seperti Ibn Baz, al-'Utsaimin, al-Fauzan, al-Albani, al-Jibrin, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Sayyid Sabiq dan lain-lain], bukan golongan Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah (golongan yang selamat), karena pendapat-pendapat mereka banyak yang keluar dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' sebagaimana ditegaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy'ari.

c. Menjaga Kebersamaan
Kata al-jama'ah tersebut juga menunjuk pada arti golongan yang selalu menjaga kebersamaan, kerukunan dan keharmonisan. Itu bisa terjadi apabila masing-masing anggota dalam kelompok tersebut tidak saling mengkafirkan, membid'ahkan dan memfasikkan anggota yang lain, meskipun diantara mereka terjadi perbedaan pendapat. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Baghdadi sebagai berikut:
اَلْفَصْلُ الْخَامِسُ فِيْ بَيَانِ عِصْمَةِ اللهِ أَهلَ السُّنَّة عَنْ تَكْفِيْرِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا. أَهْلُ السُّنَّةِ لاَ يُكَفِّرُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَلَيْسَ بَيْنَهُمْ خِلاَفٌ يُوْجِبُ التَّبَرِّيَ وَالتَكْفِيْرَ، فَهُمْ إِذَنْ أَهْلُ الْجَمَاعَةِ الْقَائِمُوْنَ بِالْحَقِّ، وَاللهُ تَعَالَى يَحْفَظُ الْحَقَّ وَأَهْلَهُ، فَلاَ يَقَعُوْنَ فِي تَنَابُذٍ وَتَنَاقُضٍ، وَلَيْسَ فَرِيْقٌ مِنْ فِرَقِ الْمُخَالِفِيْنَ إِلاَّ وَفِيْهِمْ تَكْفِيْرُ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ، وَتَبَرِّىْ بَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ كَالْخَوَارِجِ وَالرَّوَافِضِ وَالْقَدَرِيَّةِ، حَتَّى اجْتَمَعَ سَبْعَةٌ مِنْهُمْ فِيْ مَجْلِسٍ وَاحِدٍ فَافْتَرَقُوْا عَنْ تَكْفِيْرِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا وَكَانُوْا بِمَنْزِلَةِ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى حِيْنَ كَفَّرَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى قَالَتِ   •    •      اهـ.
"Bab lima, menerangkan penjagaan Allah terhadap Ahlussunnah [Wal-Jama'ah] dari saling mengkafirkan antara sesama mereka. Ahlussunnah [Wal-Jama'ah] tidak saling mengkafirkan antara sesama mereka. Diantara mereka tidak ada perselisihan pendapat yang membawa pada pemutusan hubungan dan pengkafiran. Oleh karena itu, mereka memang golongan al-jama'ah (selalu menjaga kebersamaan dan keharmonisan) yang melaksanakan kebenaran. Allah selalu menjaga kebenaran dan pengikutnya, sehingga mereka tidak terjerumus dalam ketidakharmonisan dan pertentangan. Dan tidak ada satu golongan diantara golongan-golongan luar Ahlussunnah Wal-Jama'ah, kecuali di kalangan mereka terjadi saling mengkafirkan dan memutus hubungan, seperti aliran Khawarij, Rawafidh (Syi'ah) dan Qadariyah (Mu'tazilah). Sehingga pernah suatu ketika, tujuh orang dari mereka berkumpul dalam satu majlis, lalu mereka berbeda pendapat dan berpisah dengan saling mengkafirkan antara yang satu dengan yang lain. Mereka tak ubahnya orang Yahudi dan Nasrani pada saat saling mengkafirkan. sehingga orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan."
Sifat tersebut adalah sifat yang cocok dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Di kalangan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, para ulama mereka selalu menjaga kebersamaan dan keharmonisan. Tidak saling mengkafirkan, membid'ahkan dan memfasikkan, meskipun perbedaan pendapat tidak jarang terjadi. Hal ini berbeda dengan realita aliran-aliran lain seperti Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah dan lain-lain, dimana perbedaan pendapat diantara mereka sampai pada batas saling membid'ahkan dan mengkafirkan. Dan inilah yang membedakan Ahlussunnah Wal-Jamama'ah dengan ahli bid'ah. Ahlussunnah Wal-Jama'ah identik dengan kebersamaan, sedangkan ahli bid'ah selalu identik dengan perpecahan.
Sikap saling mengkafirkan dan membid'ahkan dalam satu aliran dewasa ini menjadi tren di kalangan ulama Wahhabi. Setelah mereka selesai memvonis bid'ah dan syirik kaum Muslimin selain golongan mereka, kini mereka mengarahkan tuduhan bid'ah dan kafir terhadap sesama ulama Wahhabi-nya. Misalnya Abdul Muhsin al-'Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji'ah. Sedangkan Hamud al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi Saudi yang mengkritiknya, sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi [murid al-Albani], tokoh Wahhabi yang tinggal di Yordania, berfaham Murji'ah dan Khawarij. Lalu Husain Alus-Syaikh yang tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid'ahkan al-Halabi adalah ahli bid'ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi Saudi, beraliran Murji'ah. Ahmad Yahya al-Najmi, Wahhabi Saudi, memvonis al-Huwaini dan al-Mighrawi yang tinggal di Mesir membawa faham Khawarij. Falih al-Harbi dan Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi' al-Madkhali dan Wahhabi Saudi lainnya mengikuti faham Murji'ah. Dan Banyak pula ulama Wahhabi yang hampir mengeluarkan Bakar Abu Zaid yang tinggal di Riyadh dari barisan Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif al-Nas baina al-Zhann wa al-Yaqin. Tradisi membid'ahkan dan memvonis dengan faham bid'ah, Murji'ah dan Khawarij menjadi tren di kalangan ulama Wahhabi saat ini. Realita perpecahan di kalangan Wahhabi yang tidak pernah berhenti tersebut, menjadi bukti yang sangat kuat bahwa mereka bukan Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-Firqah al-Najiyah yang identik dengan kebersamaan, tetapi mereka adalah ahli bid'ah yang identik dengan perpecahan, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sendiri, "Ajaran sunnah selalu identik dengan kebersamaan, sebagaimana ajaran bid'ah selalu identik dengan perpecahan."

d. Golongan Mayoritas (al-Sawad al-A'zham)
Kata al-jama'ah menunjuk pada arti al-sawad al-a'zham (mayoritas kaum Muslimin), dengan artian bahwa Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah aliran yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdullah al-Harari berikut ini:
لِيُعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ هُمْ جُمْهُوْرُ اْلأُمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ وَهُمُ الصَّحَابَةُ وَمَنْ تَبِعَهُمْ فِي الْمُعْتَقَدِ اَيْ فِيْ اُصُوْلِ اْلاِعْتِقَادِ . . . وَالْجَمَاعَةُ هُمُ السَّوَادُ اْلاَعْظَمُ. (الشيخ عبد الله الهرري، إظهار العقيدة السنية ص/14-15).
"Hendaklah diketahui bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Muhammad J. Mereka adalah para sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip akidah. . . Sedangkan al-jama'ah adalah mayoritas terbesar (al-sawad al-a'zham) kaum Muslimin."
Pendapat bahwa al-jama'ah adalah al-sawad al-a'zham (mayoritas kaum Muslimin) sesuai dengan hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ  يَقُولُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ J يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. رواه ابن ماجه (3950)، وعبد بن حميد في مسنده (1220)، والطبراني في مسند الشاميين (2069)، واللالكائي في اعتقاد أهل السنة (153)، وأبو نعيم في الحلية (9/238)، وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير (1/88). قال الشيخ شعيب الأرناءوط: والحديث بمجموع رواياته يتقوى، فيكون حجة اهـ (سير أعلام النبلاء - (ج 12 / ص 197).
"Dari Anas bin Malik , berkata: "Aku mendengar Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas."
Hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa ketika umat Islam terpecah belah dalam beragam golongan, maka golongan yang harus diikuti adalah golongan mayoritas, karena golongan mayoritas adalah golongan yang selamat (al-firqah al-najiyah).
Dalam hadits lain, Rasulullah J juga bersabda:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J:ثَلاَثٌ لاَ يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ: إِخْلاَصُ الْعَمَلِ، وَالنَّصِيْحَةُ لِوَلِيِّ اْلأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تَكُوْنُ مِنْ وَرَائِهِمْ. رواه الترمذي (2582) وأحمد (12871) والحاكم (1/88) وقال : صحيح على شرط الشيخين.
"Ibn Mas'ud berkata, Rasulullah J bersabda: "Tiga perkara yang dapat membersihkan hati seorang mukmin dari sifat dendam dan kejelekan, yaitu tulus dalam beramal, berbuat baik kepada penguasa, dan selalu mengikuti kebanyakan kaum Muslimin, karena doa mereka akan selalu mengikutinya."
Hadits ini memberikan pengertian bahwa orang yang selalu mengikuti ajaran mayoritas kaum Muslimin dalam hal akidah dan amal shaleh, maka barokah doa mereka akan selalu mengikuti dan melindunginya dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Sedangkan orang yang keluar dari ajaran mayoritas kaum Muslimin, maka tidak akan memperoleh barokah doa mereka, sehingga tidak akan terjaga dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama.
Kedua hadits di atas memberikan pengertian bahwa golongan yang selamat adalah golongan mayoritas. Hal ini sesuai dengan madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi, karena realita yang ada ajarannya diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin di dunia, dari dulu hingga kini. Disamping itu, hadits tersebut juga menunjukkan pada arti keharusan mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, karena mengikutinya berarti mengikuti mayoritas kaum Muslimin. Dan keluar dari madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, berarti keluar dari golongan mayoritas kaum Muslimin.
Di sisi lain, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa maksud al-sawad al-a'zham dalam hadits tersebut adalah mayoritas ulama yang memiliki ilmu yang mendalam dan pendapatnya dapat diikuti. Pendapat ini diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain. Pendapat ini juga hanya sesuai dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, karena berdasarkan kesepakatan para pakar, madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi diikuti oleh mayoritas ulama dari kalangan ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tashawuf dan lain-lain. Realita bahwa mayoritas ulama terkemuka mengikuti madzhab al-Asy'ari juga diakui oleh Abdurrahman bin Shalih al-Mahmud –ulama Wahhabi kontemporer-, yang mengatakan:
"Diantara sebab tersebarnya madzhab al-Asy'ari ialah, bahwa mayoritas ulama berpegangan dengannya dan membelanya, lebih-lebih para fuqaha madzhab al-Syafi'i dan al-Maliki... Tokoh-tokoh yang mengadopsi madzhab al-Asy'ari adalah al-Baqillani, Ibn Furak, al-Baihaqi, al-Asfarayini, al-Syirazi, al-Juwaini, al-Qusyairi, al-Baghdadi, al-Ghazali, al-Razi, al-Amidi, al-'Izz bin Abdissalam, Badruddin bin Jama'ah, al-Subki dan masih banyak ulama-ulama yang lain. Mereka bukan sekedar pengikut madzhab al-Asy'ari saja, bahkan mereka penulis dan pengajak pada madzhab ini. Oleh karena itu mereka menyusun banyak karangan dan menggembleng murid-murid yang begitu banyak."
Hadits di atas tidak tepat diterapkan terhadap aliran-aliran selain madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, seperti aliran Syi'ah Imamiyah, Syi'ah Zaidiyah, Khawarij, Wahhabi [Salafi], Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan lain-lain, karena kelompok mereka minoritas, diikuti oleh sebagian kecil kaum Muslimin. Hal tersebut berbeda dengan aliran al-Asy'ari dan al-Maturidi, yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, baik dari kalangan awam maupun kalangan ulama.
Dewasa ini, kalangan Wahhabi berupaya mengacaukan maksud hadits di atas dan hadits-hadits lain yang serupa, dengan asumsi bahwa kelompok mayoritas tidak dapat menjadi bukti benar dan tidaknya suatu ajaran. Menurut mereka, justru dengan jumlah kelompok mereka (Wahhabi) yang sedikit, menjadi bukti bahwa merekalah kelompok yang benar, karena dalam al-Qur'an sendiri seringkali disebutkan, bahwa kebenaran selalu bersama kelompok minoritas, seperti dalam ayat, "kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini", [QS. Shad : 24], "dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih", [QS. Saba' : 13], dan ayat, "Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)", [QS. Yusuf : 106] dan lain-lain.
Tentu saja asumsi kalangan Wahhabi tersebut tidak dapat dibenarkan. Para ulama mengatakan, bahwa ketiga ayat di atas tidak tepat dijadikan dalil kebenaran kelompok yang memiliki jumlah minoritas, karena beberapa alasan. Pertama, berkaitan dengan dua ayat yang pertama, kata "sedikit", dalam dua ayat tersebut, harus diposisikan pada konteks "sedikit" yang nisbi, yaitu adakalanya diletakkan dalam pengertian sedikit yang bersifat umum dan adakalanya diletakkan dalam pengertian sedikit yang bersifat khusus. Dalam pengertian umum, kaum Muslimin selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah kaum non-Muslim. Sedangkan dalam pengertian khusus, kaum Muslim yang tulus, istiqamah dan konsisten secara sempurna dalam menjalankan perintah agama selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah mereka yang tidak konsisten secara sempurna. Tetapi semua kaum Muslim yang konsisten dengan sempurna, konsisten kurang sempurna dan yang tidak konsisten menjalankan perintah agama, juga tetap dikatakan Muslim yang beriman. Dan selama mereka mengikuti akidah mayoritas kaum Muslimin, mereka termasuk pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah.
Kedua, penempatan ayat ketiga, yaitu ayat, "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)", [QS. Yusuf : 106], terhadap mayoritas kaum Muslimin adalah tidak tepat, karena berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir, ayat tersebut turun berkenaan dengan kaum penyembah bintang, penyembah berhala, umat Yahudi dan Kristen. Menempatkan ayat di atas terhadap kaum Muslimin, berarti mengikuti tradisi kaum Khawarij, seperti yang dikatakan oleh Ibn Umar dalam riwayat Shahih al-Bukhari.

2. Mengikuti Ajaran Nabi J dan Sahabat
Sifat Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang kedua, adalah mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya. Hal tersebut sesuai dengan hadits berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J "إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي". (رواه الترمذي (2565) وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ ).
"Dari Abdullah bin Amr , bekata: "Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya umat Bani Isra'il terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yang akan selamat." Para sahabat bertanya: "Siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku."
Hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa kelompok yang selamat, ketika umat Islam terpecah belah menjadi berbagai kelompok, adalah kelompok yang konsisten dan selalu mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya. Itu sesuai dengan madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi yang dalam segala hal selalu mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya. Dalam konteks ini, al-Hafizh al-Zabidi berkata:
وَلْيُعْلَمْ أَنَّ كُلاًّ مِنَ اْلإِمَامَيْنِ أَبِي الْحَسَنِ وَأَبِيْ مَنْصُوْرٍ - رَضِيَ الله عَنْهُمَا - وَجَزَاهُمَا عَنِ اْلإِسْلاَمِ خَيْراً لَمْ يُبْدِعَا مِنْ عِنْدِهِمَا رَأْياً وَلَمْ يَشْتَقَّا مَذْهَباً إِنَّمَا هُمَا مُقَرِّرَانِ لِمَذَاهِبِ السَّلَفِ مُنَاضِلاَنِ عَمَّا كَانَتْ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ J... وَنَاظَرَ كُلٌّ مِنْهُمَا ذَوِي الْبِدَعِ وَالضَّلاَلاَتِ حَتَّى انْقَطَعُوْا وَوَلّوْا مُنْهَزِمِيْنَ اهـ. (الحافظ الزبيدي، إتحاف السادة المتقين 2/7).
"Hendaknya diketahui, bahwa masing-masing dari al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi –semoga Allah meridhai keduanya dan membalas kebaikan mereka kepada Islam-, tidak membuat pendapat baru dan tidak menciptakan madzhab baru dalam Islam. Mereka hanya menetapkan pendapat-pendapat ulama salaf, dan membela ajaran sahabat Rasulullah J. Mereka telah berdebat dengan kalangan ahli bid'ah dan kesesatan sampai mereka takluk dan melarikan diri."
Secara riil, pengikut madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi atau Ahlussunnah Wal-Jama'ah, adalah golongan yang konsisten dan selalu mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya. Hal tersebut berbeda dengan aliran-aliran yang lain seperti Syi'ah, Mu'tazilah, Khawarij, Jahmiyah, Najjariyah, Musyabbihah, Ghulat, Hululiyah dan Wahhabi.
Aliran Mu'tazilah tidak mungkin diakui sebagai pengikut ajaran sahabat, karena pemimpin mereka, Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar al-Nazhzham (w. 231 H/845 M) -pendiri aliran Nazhzhamiyah-, telah menghujat sebagian besar sahabat. Al-Nazhzham juga menganggap Ibn Mas'ud ra tidak adil dan tersesat karena meriwayatkan hadits Nabi J, "Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang [ditetapkan bahagia] pada saat dalam kandungan ibunya. Dan orang yang celaka adalah orang yang [ditetapkan] celaka pada saat dalam kandungan ibunya." Al-Nazhzham juga menghujat fatwa-fatwa Sayidina Umar dan Sayidina Ali. Dia juga mencaci maki Sayidina Utsman, menganggap Abu Hurairah pembohong karena banyak meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan ajaran Mu'tazilah. Dia juga menghujat para sahabat yang berfatwa berdasarkan ijtihadnya. Dia juga menganggap tokoh-tokoh sahabat, bodoh dan munafik. Dia juga tidak mengakui ijma' sahabat sebagai hujjah. Dengan demikian, orang seperti al-Nazhzham tidak mungkin dikatakan mengikuti ajaran sahabat, karena dia sendiri menghujat mereka.
Sedangkan Abu Hudzaifah Washil bin Atha' al-Ghazzal (80-131 H/700-748 M), pemimpin Mu'tazilah juga dan pendiri aliran Washiliyah, meragukan keadilan Ali, Hasan, Husain, Ibn Abbas, Thalhah, Zubair, Aisyah dan semua pengikut Perang Jamal dari kedua belah pihak. Dalam hal ini dia berkata, "Andaikan Ali dan Thalhah bersaksi di hadapanku tentang satu buket sayuran, aku tidak akan menerima kesaksian keduanya, karena aku meyakini kefasikan salah satunya, tetapi aku tidak mengetahui secara pasti siapa diantara keduanya yang fasik." Berangkat dari pandangan Washil bin Atha' tersebut, boleh jadi Ali dan pengikutnya adalah orang-orang yang fasik yang kekal di neraka. Dan boleh jadi pihak lain, yaitu Aisyah, Thalhah, Zubair dan pengikut mereka dalam Perang Jamal adalah orang-orang yang fasik yang kekal di neraka. Washil meragukan keadilan Ali, Thalhah dan Zubair, padahal Nabi J telah menyaksikan mereka sebagai penduduk surga, disamping mereka juga ikut dalam bai'at al-ridhwan yang dipuji oleh Allah dalam al-Qur'an:
                    
"Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)." (QS. al-Fath : 18).
Sedangkan Amr bin Ubaid (80-144 H/699-761 M), pemimpin Mu'tazilah, mengikuti pendapat Washil bin Atha' mengenai para sahabat yang terlibat dalam Perang Jamal, dan menambahnya dengan pendapat bahwa kelompok Ali dan kelompok Aisyah sama-sama fasik. Berbeda dengan Washil, yang menganggap fasik salah satunya. Berangkat dari pendapat Amr bin Ubaid tersebut yang menilai fasik kedua kelompok itu, membawa pada kesimpulan bahwa Ali, Hasan, Husain, Ibn Abbas, Ammar, Abu Ayyub al-Anshari, Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari [yang kesaksiannya oleh Nabi J disamakan dengan kesaksian dua orang laki-laki yang adil], semua pengikut Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan semua pengikut Perang Jamal –yang diantara mereka terdapat ribuan sahabat-, adalah orang-orang fasik yang akan kekal di neraka.
Sedangkan Abu al-Hudzail al-'Allaf (135-235 H/753-850 M), al-Jahizh (163-255 H/780-869 M) dan mayoritas Mu'tazilah, dalam menyikapi sahabat yang terlibat dalam Perang Jamal, mengikuti pendapat Washil bin Atha'. Dengan demikian, golongan Mu'tazilah tidak dapat dikatakan pengikut sahabat Nabi J, karena mereka menilai sebagian besar sahabat itu fasik dan akan menghuni neraka. Kaum Mu'tazilah juga menolak kesaksian sebagian besar sahabat, sehingga sudah barang tentu mereka akan menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sahabat. Oleh karena itu, tidak mungkin mereka dikatakan mengikuti jejak dan ajaran sahabat.
Sedangkan golongan Khawarij, juga tidak bisa dikatakan mengikuti ajaran sahabat, karena mereka mengkafirkan para sahabat seperti Ali, Hasan, Husain, Ibn Abbas, Abu Ayyub al-Anshari, Utsman bin Affan, Aisyah, Thalhah dan Zubair. Mereka juga mengkafirkan semua pengikut Ali dan Muawiyah yang masih setia setelah terjadinya tahkim (arbitrase). Mereka juga mengkafirkan orang yang melakukan perbuatan dosa. Oleh karena itu, tidak mungkin, Khawarij dikatakan mengikuti ajaran sahabat, karena mereka mengkafirkan sebagian besar sahabat.
Sedangkan golongan Syi'ah Imamiyah, juga tidak mungkin dikatakan mengikuti ajaran sahabat. Karena mereka mengkafirkan mayoritas sahabat setelah Nabi J wafat. Menurut mereka, setelah Nabi J wafat, mayoritas sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang.
Sedangkan golongan Syi'ah Zaidiyah, yang mengikuti aliran Jarudiyah, mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Utsman dan mayoritas sahabat. Sehingga tidak mungkin mereka mengikuti ajaran sahabat, karena mereka sendiri mengkafirkan mayoritas sahabat. Sedangkan golongan Zaidiyah yang beraliran Sulaimaniyah dan Butriyah, mengkafirkan Utsman, menilai fasik orang-orang yang membela Utsman, dan mengkafirkan mayoritas pengikut Perang Jamal.
Dewasa ini juga berkembang aliran Wahhabi yang menamakan dirinya aliran Salafi (pengikut Salaf). Mereka juga memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dengan ajaran sahabat dan salaf yang saleh, sehingga mereka tidak dapat dikatakan mengikuti ajaran sahabat dan salaf, dan sudah barang tentu bukan aliran Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah.

3. Pengayom Umat dan Pengemban Ilmu Agama dalam Setiap Masa
Ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang keempat, adalah ulama-ulama mereka selalu tampil menjadi pengemban ilmu agama dan rujukan kaum Muslimin dalam setiap generasi. Hal tersebut seperti ditegaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari berikut ini:
قَالَ الشِّهَابُ الْخَفَاجِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى فِي نَسِيْمِ الرِيَاضِ: وَالْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَفِيْ حَاشِيَةِ الشَّنَوَانِيِّ عَلىَ مُخْتَصَرِ ابْنِ أَبِيْ جَمْرَةَ: هُمْ أَبُو الْحَسَنِ اْلأَشْعَرِيُّ وَجَمَاعَتُهُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَأَئِمَّةُ الْعُلَمَاءِ، لأَنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَهُمْ حُجَّةً عَلىَ خَلْقِهِ، وَإِلَيْهِمْ تَفْزَعُ الْعَامَّةُ فِيْ دِيْنِهِمْ، وَهُمُ الْمَعْنِيُّوْنَ بِقَوْلِهِ J: إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ. (الشيخ محمد هاشم أشعري، رسالة أهل السنة والجماعة ص/23).
"Al-Syihab al-Khafaji berkata dalam kitab Nasim al-Riyadh, "Golongan yang selamat adalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah." Dalam catatan pinggir al-Syanawai atas Mukhtashar Ibn Abi Jamrah terdapat keterangan, "Mereka [Ahlussunnah Wal-Jama'ah] adalah Abu al-Hasan al-Asy'ari dan pengikutnya yang merupakan Ahlussunnah dan pemimpin para ulama. Karena Allah SWT menjadikan mereka sebagai hujjah atas makhluk-Nya dan hanya mereka yang menjadi rujukan kaum Muslimin dalam urusan agama. Mereka yang dimaksud dengan sabda Nabi J: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan."
Penjelasan Hadlratusysyaikh tersebut sesuai dengan hadits shahih berikut ini:
عَنْ إِبْرَاهِيْمَ الْعُذْرِيِّ  قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ. (رواه ابن عدي في الكامل (1/118)، والبيهقي في السنن الكبرى (10/209)، وابن بطة في الابانة (34)، وأبو نعيم في معرفة الصحابة (694)، وابن عساكر في تاريخ دمشق (7/38-39) وغيرهم. قال الخطيب سئل أحمد بن حنبل عن هذا الحديث، فقال هو صحيح سمعته من غير واحد. وانظر مشكاة المصابيح (248)، وكنـز العمال 10/176).
"Dari Ibrahim al-'Udzri , dia berkata: "Rasulullah  bersabda: "Ilmu agama ini akan dibawa/disampaikan oleh orang-orang yang adil (dipercaya) dalam setiap generasi. Mereka akan membersihkan ilmu agama tersebut dari distorsi (pemalsuan) kelompok yang ekstrem, kebohongan mereka yang bermaksud jahat dan penafsiran mereka yang bodoh."
Hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa ajaran agama Islam ini akan selalu disampaikan oleh para ulama yang dapat dipercaya dari generasi ke generasi, yang selalu berperan membersihkan ajaran agama dari pemalsuan kelompok yang ekstrem, membersihkan dari kebohongan kelompok yang bermaksud jahat dan penafsiran orang-orang yang bodoh. Menurut al-Imam Ibn Rusyd al-Qurthubi (450-520 H/1058-1126 M) dalam kitab al-Fatawa-nya, yang dimaksud dengan orang-orang yang adil dalam hadits tersebut adalah para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari seperti al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, Abu Ishaq al-Asfarayini, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Furak, Abu al-Ma'ali Imam al-Haramain, al-Ghazali dan lain-lain.
Berkaitan dengan substansi hadits tersebut, apabila kita mengkaji sejarah peradaban Islam, akan dijumpai bahwa para pakar terkemuka dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam dalam setiap generasi, adalah para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Terkait dengan hal tersebut, marilah kita mencoba menyimak nama-nama para pakar dalam berbagai ilmu pengetahuan Islam yang menjadi rujukam umat dalam setiap masa.

a. Tafsir al-Qur'an
Para pakar terkemuka dalam bidang tafsir al-Qur'an, dalam setiap masa terdiri dari para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Karya-karya mereka dalam bidang tafsir al-Qur'an, menjadi materi kajian kaum Muslimin seluruh dunia. Mereka diantaranya adalah:
° Al-Imam Abu al-Laits Nashr bin Muhammad al-Samarqandi (w. 393 H/1003 M), pengarang tafsir Bahr al-'Ulum (4 jilid)
° Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi al-Syafi'i (w. 468 H/1076 M) pengarang tafsir al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan kitab Asbab al-Nuzul.
° Al-Imam al-Hafizh Muhyissunnah Abu Muhammad al-Husan bin Mas'ud al-Baghawi al-Syafi'i (433-516 H/1041-1122 M) pengarang tafsir Ma'alim al-Tanzil (4 jilid).
° Al-Imam Abu Muhammad Abdul Haqq bin Ghalib bin Abdurrahman bin Athiyyah al-Gharnathi al-Andalusi (481-542 H/1088-1148 M), pengarang al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-'Aziz (8 jilid).
° Al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Zad al-Masir fi 'Ilm al-Tafsir (8 jilid).
° Al-Imam Fakhruddin al-Razi, pengarang al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib (32 juz).
° Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Maliki al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M), pengarang tafsir al-Jami' li-Ahkam al-Qur'an (20 jilid).
° Al-Imam Nashiruddin Abu Sa'ad Abdullah bin Umar al-Syirazi al-Baidhawi al-Syafi'i (w. 685 H/1286 M) pengarang tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil.
° Al-Imam Hafizhuddin Abu al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasafi al-Hanafi (w. 710 H/1310 M) pengarang tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta'wil (4 jilid).
° Al-Imam 'Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Khazin al-Baghdadi al-Syafi'i (678-741 H/1279-1340 M) pengarang tafsir Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani al-Tanzil (4 jilid).
° Al-Imam Abu Hayyan Muhammad bin Hayyan al-Andalusi (654-745 H/1256-1344 M), pengarang tafsir al-Bahr al-Muhith (8 jilid) dan tafsir al-Nahr al-Mad (4 jilid).
° Al-Imam Ahmad bin Yusuf al-Samin al-Halabi (w. 756 H/1355 M), pengarang tafsir al-Durr al-Mashun fi 'Ilm al-Kitab al-Maknun.
° Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fida' Ismail bin Katsir al-Dimasyqi al-Syafi'i (700-774 H/1301-1373 M), pengarang Tafsir al-Qur'an al-'Azhim (4 jilid), tafsir al-Qur'an terbaik dalam metodologi ma'tsur.
° Al-Imam Burhanuddin Abu al-Hasan Ibrahim bin Umar al-Biqa'i al-Syafi'i (809-885 H/1406-1480 M), pengarang tafsir Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar (8 jilid), karya terbaik dalam memaparkan korelasi antar ayat-ayat al-Qur'an.
° Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Tafsir al-Jalalain, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma'tsur dan lain-lain.
° Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syirbini al-Syafi'i (w. 977 H/1570 M) pengarang tafsir al-Siraj al-Munir (4 jilid).
° Al-Imam Abu al-Su'ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-'Imadi al-Hanafi (898-982 H/1493-1574 M) pengarang tafsir Irsyad al-'Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim (6 jilid).
° Al-Imam Isma'il Haqqi bin Musthafa al-Burusawi al-Hanafi (1063-1138 H/1653-1725 M) pengarag Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an (10 jilid).
° Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Umar al-Jamal al-'Ujaili al-Syafi'i (w. 1204 H/1790 M) pengarang a-Futuhat al-Ilahiyyah bi-Taudhih Tafsir al-Jalalain bi al-Daqaiq al-Khafiyyah (4 jilid).
° Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki (1175-1241 H/1761-1825 M) pengarang Hasyiyah 'ala Tafsir al-Jalalain (4 jilid).
° Al-Imam Syihabuddin Abu al-Tsana' Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi (1217-1270 H/1802-1854 M) pengarang tafsir Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa al-Sab'i al-Matsani (30 jilid).
° Al-Imam Muhammad al-Thahir bin 'Asyur al-Tunisi al-Maliki (1296-1393 H/1879-1973 M) pengarang tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.
° Syaikh Sa'id Hawwa, pengarang al-Asas fi al-Tafsir.
° Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, pengarang Shafwat al-Tafasir, Rawai'u al-Bayan, Tanwir al-Adzhan dan lain-lain.
° Syaikh Wahbah al-Zuhaili al-Syafi'i, pengarang al-Tafsir al-Munir fi al-'Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhaj (16 jilid).

b. Ilmu Hadits
Dalam bidang ilmu hadits, baik dari aspek dirayah (analisa dan pemahaman substansi hadits) maupun dari aspek riwayah (analisa dan struktur genealogi hadits), pengikut madzhab al-Asy'ari ada di barisan terdepan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa hal; pertama, mayoritas ahli hadits, dalam bidang ideologi mengikuti madzhab al-Asy'ari; kedua, komentator (penuliss syarh) terhadap Shahih al-Bukhari hanya dilakukan oleh para ulama madzhab al-Asy'ari; dan ketiga, sanad-sanad hadits [dan ilmu pengetahuan Islam yang lain] yang ada sekarang hanya melalui para ulama madzhab al-Asy'ari. Berikut ini akan dijelaskan beberapa ulama madzhab al-Asy'ari yang menulis komentar (syarh) terhadap kitab-kitab hadits yang populer.
° Al-Hafizh Abu Sulaiman al-Khaththabi al-Busti al-Syafi'i, pengarang Ma'alim al-Sunan [Syarh Sunan Abi Dawud].
° Al-Hafizh Abu al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-Maliki, pengarang kitab al-Muntaqa fi Syarh al-Muwaththa'.
° Al-Hafizh Ibn Abdil Barr al-Qurthubi al-Maliki, pengarang al-Istidzkar [Syarh al-Muwaththa'] dan lain-lain.
° Al-Hafizh Ibn al-'Arabi al-Isybili al-Maliki, pengarang 'Aridhat al-Ahwadzi fi Syarh Jami' al-Tirmidzi (8 jilid), al-Qabas fi Syarh Muwaththa' Malik bin Anas (4 jilid) dan lain-lain.
° Al-Hafizh Muhammad bin Ali al-Mazari al-Maliki (453-536 H/1061-1141 M), pengarang al-Mu'allim bi-Fawaid Muslim.
° Al-Hafizh al-Qadhi Iyadh al-Maliki, pengarang Ikmal al-Mu'allim bi-Fawaid Muslim.
° Al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi'i, pengarang Syarh Shahih Muslim.
° Al-Hafizh Waliyyuddin Abu Zur'ah Ahmad bin Abdirrahim al-'Iraqi al-Syafi'i (762-826 H/1361-1423 M) pengarang Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib (8 juz) dan lain-lain.
° Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani al-Syafi'i, pengarang Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari.
° Al-Hafizh Badruddin Mahmud bin Ahmad al-'Aini al-Hanafi (762-855 H/1361-1451 M), pengarang 'Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari.
° Al-Imam Muhammad bin Khalifah al-Ubbi al-Wasytani al-Maliki (w. 827 H/1424 M) pengarang kitab Ikmal Ikmal al-Mu'aliim [Syarh Shahih Muslim].
° Al-Imam Muhammad bin Yusuf al-Sanusi al-Maliki, pengarang Mukammil Ikmal al-Ikmal [Syarh Shahih Muslim] dan Syarh Shahih al-Bukhari.
° Al-Imam Syihabuddin Abu al-'Abbas Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani al-Syafi'i (851-923 H/1448-1517 M) pengarang kitab Irsyad al-Sari li-Syarh Shahih al-Bukhari.
° Al-Hafizh Syaikh al-Islam Abu Yahya Zakariya bin Muhammad al-Anshari al-Syafi'i (826-926 H/1423-1420 M), pengarang kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Syarh Shahih Muslim dan lain-lain.
° Al-Imam Mulla Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari al-Harawi al-Hanafi (w. 1014 H/1606 M)), pengarang kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih.
° Al-Hafizh Muhammad Abdurrauf bin Tajul 'Arifin al-Munawi al-Syafi'i (952-1031 H/1545-1622 M), pengarang kitab Faidh al-Qadir (6 jilid), al-Taisir [keduanya Syarh al-Jami' al-Shaghir] dan lain-lain.

c. Ilmu Fiqih
Dalam paparan sebelumnya telah dijelaskan, bahwa para ulama fiqih madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan ulama terkemuka madzhab Hanbali (fudhala' al-hanabilah), dalam bidang ideologi mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Sehingga sudah barang tentu, para ulama fuqaha yang menjadi rujukan mayoritas kaum Muslimin di dunia, adalah pengikut madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi.

d. Ilmu Ushul Fiqih
Dalam paparan sebelumnya juga telah dijelaskan, bahwa para ulama fiqih madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan ulama terkemuka madzhab Hanbali (fudhala' al-hanabilah), dalam bidang ideologi mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Sehingga sudah barang tentu, para ulama ushul fiqih terkemuka dalam setiap masa adalah para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Berikut ini akan dikemukakan beberapa ulama ushul fiqih dan karya-karya penting mereka dalam bidang ushul fiqih yang populer dan menjadi kajian kaum pelajar dan intelektual dunia Islam dari berbagai madzhab.
° Imam al-Haramain Abu al-Ma'ali, pengarang al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, al-Waraqat dan lain-lain.
° Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi, al-Luma' fi Ushul al-Fiqh, al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh, Syarh al-Luma' dan lain-lain.
° Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, pengarang al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul, al-Mankhul min Ta'liqat al-Ushul, al-Asas fi al-Qiyas, Syifa' al-'Alil dan lain-lain.
° Saifuddin al-Amidi, pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
° Al-Imam Fakhruddin al-Razi, pengarang al-Mahshul fi 'Ilm al-Ushul, al-Muhashshal dan al-Arba'in.
° Al-Imam Nashiruddin al-Baidhawi, pengarang kitab Minhaj al-Wushul ila 'Ilm al-Ushul.
° Al-Imam Jamaluddin Abu Amr Utsman bin Umar al-Maliki, dikenal dengan Ibn al-Hajib (570-646 H/1174-1249 M), pengarang kitab Muntaha al-Sul wa al-Amal fi 'Ilmay al-Ushul wa al-Jadal dan Mukhtashar Muntaha al-Sul wa al-Amal.
° Al-Imam al-Syarif Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Idrisi al-Hasani al-Tilimsani (710-771 H/1310-1370 M), pengarang kitab Miftah al-Wushul ila Bina' al-Furu' 'ala al-Ushul.
° Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali al-Subki al-Syafi'i (728-771 H/1327-1370 M), pengarang kitab Jam'u al-Jawami', Man'u al-Mawani' 'an Jam'i al-Jawami', Syarh Mukhtashar Ibn al-Hajib dan lain-lain.
° Al-Imam Jamaluddin Abu Muhammad Abdurrahim bin al-Hasan al-Isnawi (704-772 H/1305-1370 M), pengarang kitab Nihayat al-Sul Syarh Minhaj al-Wushul, al-Tamhid fi Takhrij al-Furu' 'ala al-Ushul, al-Kaukab al-Durri dan lain-lain.
° Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syathibi (w. 790 H/1388 M), pengarang kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam.
° Al-Imam Badruddin Abu Abdillah Muhammad bin Bahadir al-Zarkasyi al-Syafi'i (745-794 H/1344-1392 M), pengarang kitab Tasynif al-Masami' Syarh Jam'i al-Jawami' dan al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh (8 jilid).
° Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari, pengarang kitab Ghayat al-Wushul Syarh Lubb al-Ushul.
° Al-Imam Syamsuddin Ahmad bin Qasim al-Shabbagh al-'Ubbadi (w. 992 H/1584 M), pengarang kitab al-Ayat al-Bayyinat [Hasyiyah 'ala Syarh Jam'u al-Jawami'], Syarh al-Waraqat dan lain-lain.
° Al-Imam Abdurrahman bin Jadullah al-Bannani al-Maliki (w. 1198 H/1784 M), pengarang kitab Hasyiyah al-Bannani 'ala Syarh Jam'i al-Jawami'.
° Al-Imam Muhammad Bakhit bin Husain al-Muthi'i al-Hanafi (1271-1354 H/1854-1935 M), pengarang kitab Sullam al-Wushul li-Syarh Nihayat al-Sul.
° Al-Imam Muhammad Abu Zahrah bin Ahmad (1316-1394 H/1898-1974 M), pengarang kitab Ushul al-Fiqh.
° Syaikh Wahbah al-Zuhaili, pengarang kitab Ushul al-Fiqh al-Islami.

e. Sirah Nabi J dan Maghazi
Dalam bidang ilmu sirah (sejarah kehidupan dan perjalanan Nabi J) dan maghazi (sejarah peperangan Nabi J), para ulama madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi memiliki peran terbesar di dalamnya. Menurut al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Asfarayini, ilmu sirah dan maghazi adalah ilmu yang khusus dimiliki ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa ulama madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi serta karya-karya mereka dalam bidang sirah dan maghazi yang populer dan menjadi rujukan para pakar dan intelektual.
° Al-Imam al-Hafizh Abu Nu'aim al-Ashbihani, pengarang kitab Dalail al-Nubuwwah.
° Al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi, pengarang kitab Dalail al-Nubuwwah wa Ahwal Shahib al-Syari'ah.
° Al-Imam al-Hafizh al-Qadhi Iyadh, pengarang al-Syifa fi Syamail wa Ahwal al-Mushthafa.
° Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali, pengarang kitab al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa.
° Al-Hafizh Abdurrahman bin Abdullah al-Suhaili (508-581 H/1114-1185 M) pengarang kitab al-Raudh al-Unuf.
° Al-Hafizh Fathuddin Abu al-Fath Muhammad Ibn Sayyid al-Nas al-Ya'muri (671-734 H/1273-1334 M), pengarang kitab 'Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa al-Syamail wa al-Siyar.
° Al-Imam Taqiyyuddin Abu al-'Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir al-Maqrizi (768-845 H/1367-1441 M), pengarang kitab Imta' al-Asma' bima lil-Rasul mina al-Abna' wa al-Ahwal wa al-Hafadah wa al-Mata'.
° Al-Imam Nuruddin Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Halabi al-Syafi'i (975-1044 H/1567-1635 M), pengarang kitab Insan al-'Uyun fi Sirah al-Amin al-Ma'mun yang dikenal dengan al-Sirah al-Halabiyyah.
° Al-Imam Syihabuddin al-Qasthalani, pengarang kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah.
° Al-Imam al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf al-Syami al-Shalihi (w. 942 H/1536 M), pengarang kitab Subul al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khair al-'Ibad.
° Al-Imam al-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, pengarang kitab al-Sirah al-Nabawiyyah.

f. Sejarah Islam
Dalam bidang sejarah Islam, karya-karya terbaik dalam bidang tersebut, ditulis oleh para ulama yang bermadzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Diantara mereka adalah:
° Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi, pengarang Tarikh Baghdad.
° Al-Hafizh al-Hakim, pengarang Tarikh Naisabur.
° Al-Hafizh Abu Nu'aim, pengarang Dzikr Akhbar Ashbihan.
° Al-Hafizh Ibn Asakir, pengarang Tarikh Madinah Dimasyq.
° Al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali, pengarang al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam.
° Al-Imam Izzuddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad, yang dikenal dengan Ibn al-Atsir al-Jazari (555-630 H/1160-1233 M), pengarang al-Kamil fi al-Tarikh.
° Al-Imam Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad al-Rafi'i (557-623 H/1162-1226 M), pengarang al-Tadwin fi Dzikr Akhbar Qazwin.
° Al-Imam Waliyyuddin Abu Zaid Abdurrahman Ibn Khaldun al-Hadhrami (732-808 H/1332-1406 M), pengarang al-'Ibar wa Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar fi Tarikh al-'Arab wa al-'Ajam wa al-Barbar yang dikenal dengan Tarikh Ibn Khaldun (7 jilid).

g. Biografi Para Ulama dan Tokoh
Dalam bidang biografi para ulama dan tokoh-tokoh Islam, karya-karya terbaik selalu ditulis oleh para ulama bermadzhab al-Asy'ari. Misalnya, para ulama yang menulis biografi para sahabat Nabi J, seperti:
° Al-Hafizh Abu Nu'aim, pengarang Ma'rifat al-Shahabah.
° Al-Hafizh Ibn Abdil Barr, pengarang al-Isti'ab fi Asma' al-Ashhab.
° Al-Imam Ibn al-Atsir al-Jazari, pengarang Usd al-Ghabah fi Ma'rifat al-Shahabah.
° Al-Hafizh Ibn Hajar, pengarang al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah.

Para ulama yang menulis biografi para zahid dan kaum shufi, juga pengikut madzhab al-Asy'ari seperti:
° Al-Hafizh Abu Abdirrahman Muhammad bin al-Husain al-Sulami al-Shufi (325-412 H/937-1021 M), pengarang Thabaqat al-Shufiyyah.
° Al-Hafizh Abu Nu'aim, pengarang Hilyah al-Auliya' wa Thabaqat al-Ashfiya'.
° Al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Shifat al-Shafawah
° Al-Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali al-Anshari al-Wadiyasyi, yang dikenal dengan Ibn al-Mulaqqin (723-804 H/1323-1401 M), pengarang Thabaqat al-Auliya'.
° Al-Imam Abu al-Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad al-Sya'rani (898-973 H/1493-1565 M), pengarang Lawaqih al-Anwar fi Thabaqat al-Akhyar dan al-Thabaqat al-Shughra.
° Al-Hafizh Abdurrauf al-Munawi, pengarang al-Kawakib al-Durriyyah fi Tarajim al-Sadah al-Shufiyyah dan Irgham Auliya' al-Syaithan bi-Dzikr Manaqib Auliya' al-Rahman.

Biografi para ulama dan tokoh yang bersifat umum, juga ditulis oleh para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Diantara mereka adalah:
° Al-Imam al-Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi, pengarang Thabaqat al-Fuqaha'.
° Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin al-Hasan al-Bakharzi (w. 467 H/1075 M), pengarang Dumyat al-Qashr wa 'Ushrat Ahl al-'Ashr.
° Al-Imam al-Qadhi Syamsuddin Abu al-'Abbas Ahmad bin Muhammad, dikenal dengan Ibn Khallikan al-Barmaki (608-681 H/1211-1282 M), pengarang Wafayat al-A'yan wa Anba' Abna' al-Zaman.
° Al-Imam Shalahuddin Khalil bin Aibak al-Shafadi (696-764 H/1296-1363 M), pengarang al-Wafi fi al-Wafayat.
° Al-Imam Shalahuddin Muhammad bin Syakir al-Kutbi (w. 764 H/1363 M), pengarang Fawat al-Wafayat dan 'Uyun al-Tawarikh.

Penulisan biografi para ulama dan tokoh sesuai dengan abad mereka, juga ditulis oleh para ulama yang bermadzhab al-Asy'ari. Diantara mereka adalah:
° Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani, pengarang Inba' al-Ghamr bi-Abna' al-'Umr dan al-Durar al-Kaminah fi A'yan al-Miah al-Tsaminah [biografi ulama abad ke 8 H].
° Al-Hafizh al-Sakhawi, pengarang al-Dhaw'u al-Lami' li-Ahl al-Qarn al-Tasi' [biografi ulama abad ke 9 H].
° Al-Imam al-Sayyid Abdul Qadir bin Syaikh bin Abdullah al-'Aidarus (978-1038 H/1570-1628 M), pengarang al-Nur al-Safir 'an Akhbar al-Qarn al-'Asyir [biografi ulama abad ke 10 H].
° Al-Imam Najmuddin Abu al-Makarim Muhammad bin Muhammad al-Ghazzi al-Amiri (977-1061 H/1570-1651 M), pengarang al-Kawakib al-Sairah bi-A'yan al-Miah al-'Asyirah [biografi ulama abad ke 10 H].
° Al-Imam Muhammad Amin bin Fadhlullah al-Muhibbi (1061-1111 H/1651-1699 M), pengarang Khulashat al-Atsar fi A'yan al-Qarn al-Hadi 'Asyar [biografi ulama abad ke 11 H].
° Al-Imam al-Sayyid Abu al-Fadhl Muhammad Khalil bin Ali al-Muradi al-Husaini (1173-1206 H/1760-1791 M), pengarang Silk al-Durar fi A'yan al-Qarn al-Tsani 'Asyar [biografi ulama abad ke 12 H].
° Al-Syaikh Abdurrazzaq bin Ibrahim bin Hasan al-Baithar (1253-1335 H/1837-1916 M), pengarang Hilyat al-Basyar fi Tarikh al-Qarn al-Stalits 'Asyar [biografi ulama abad ke 13 H].
° Al-Syaikh Abu al-Khair Abdullah bin Mirdad (w. 1343 H/1924 M), pengarang Nasyr al-Nur wa al-Zahar fi Tarajim 'Ulama' Makkah wa Afadhiliha min al-Qarn al-'Asyir ila al-Qarn al-Rabi' 'Asyar [biografi ulama abad ke 10-14 H yang tinggal di Mekkah].

Penulisan biografi para ulama berdasarkan afiliasi (nisbat) dan geneologi (nasab) juga ditulis oleh para ulama yang bermadzhab al-Asy'ari. Diantara mereka adalah:
° Al-Hafizh Ibn al-Sam'ani, pengarang al-Ansab.
° Al-Hafizh Ibn al-Atsir al-Jazari, pengarang al-Lubab fi Tahdzib al-Ansab.
° Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Lubb al-Lubab fi Tahrir al-Ansab.

h. Ilmu Gramatika dan Bahasa Arab
Dalam bidang gramatika Arab [ilmu nahwu dan sharaf], karya-karya terbaik yang menjadi materi kajian kaum pelajar dan intelektual dunia Islam, juga ditulis oleh para ulama yang bermadzhab al-Asy'ari. Menurut al-Ustadz Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq bayna al-Firaq, mayoritas pakar gramatika, bahasa dan sastra Arab pada masa salaf mengikuti madzhab Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Dari kalangan ulama Kufah misalnya seperti al-Mufadhdhal al-Dhabbi, Ibn al-A'rabi, al-Ruwwasi, al-Kisa'i, al-Farra', Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Ali bin Mubarak al-Lahyani, Abu Amr al-Syaibani, Ibrahim al-Harbi, Tsa'lab, Ibn al-Anbari, Ibn Miqsam, Ahmad bin Faris dan lain-lain adalah pakar gramatika dari Kufah yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama'ah.
Dari kalangan ulama Basrah, juga tampil misalnya seperti Abu al-Aswad al-Du'ali, Yahya bin Ya'mar, Isa bin Umar al-Tsaqafi, Abu Amr bin al-'Ala', al-Khalil bin Ahmad, Khalaf al-Ahmar, Yunus bin Habib, Sibawaih, al-Akhfasy, al-Ashma'i, Abu Zaid al-Anshari, al-Zajjaj, al-Mazini, al-Mubarrid, Ibn Duraid, al-Azhari dan lain-lain juga mengikuti haluan Ahlussunnah Wal-Jama'ah.
Pada abad pertengahan, para pakar gramatika yang populer dan karya-karya mereka menjadi materi kajian kaum pelajar dan intelektual dunia Islam, juga berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama'ah dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Diantara mereka adalah:
° Al-Imam Jamaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Malik al-Tha'i al-Jayyani al-Syafi'i, yang populer dengan Ibn Malik (600-672 H/1203-1274), pengarang kitab Alfiyah Ibn Malik, Tashil al-Fawaid dan lain-lain.
° Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud al-Shanhaji, yang populer dengan Ibn Ajurrum (672-723 H/1273-123 M), pengarang kitab al-Muqaddimah al-Ajurrumiyyah yang sangat populer.
° Al-Imam Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam al-Anshari, yang populer dengan Ibn Hisyam (708-761 H/1309-1360 M) pengarang kitab Mughni al-Labib 'an Kutub al-A'arib, Qathr al-Nada wa Ball al-Shada, Syudzur al-Dzahab dan lain-lain.
° Al-Imam Qadhi al-Qudhat Bahauddin Abdullah bin Abdurrahman al-'Aqili al-Qurasyi, yang dikenal dengan Ibn 'Aqil (694-769 H/1294-1367 M), pengarang Syarh Ibn 'Aqil 'ala Alfiyah Ibn Malik.
° Al-Imam Syarafuddin Yahya bin Musa bin Ramadhan al-'Imrithi al-Syafi'i (w. 890 H/1485 M), pengarang kitab Nazhm al-Ajurrumiyyah.
° Al-Imam Zainuddin Khalid bin Abdullah al-Jurjawi al-Azhari (838-905 H/1434-1499 M), pengarang al-Muqaddimah al-Azhariyyah fi 'Ilm al-'Arabiyyah, Mushil al-Thullab ila Qawa'id al-I'rab, Syarh al-Ajurrumiyyah, al-Tashrih 'ala al-Taudhih dan lain-lain.

Dalam bidang bahasa Arab, karya-karya terbaik yang menjadi rujukan kaum pelajar dan intelektual adalah tulisan para madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Diantara mereka adalah:
° Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Andalusi al-Mursi, yang dikenal dengan Ibn Sidah (398-458 H/1007-1066 M) pengarang kitab al-Muhkam wa al-Muhith al-A'zham, al-Mukhashshish dan lain-lain.
° Al-Imam Majduddin Abu al-Sa'adat al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari, yang dikenal dengan Ibn al-Atsir (544-606 H/1149-1210 M), pengarang al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar.
° Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar al-Razi al-Hanafi (hidup tahun 666 H/1268 M), pengarang kitab Mukhtar al-Shihah.
° Al-Imam Jamaluddin Abu al-Fadhl Muhammad bin Mukarram al-Ifriqi, yang dikenal dengan Ibn Manzhur (630-711 H/1232-1311 M), pengarang Lisan al-'Arab.
° Al-Imam Abu al-'Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumi (w. setelah 770 H/1368 M), pengarang al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir.
° Al-Imam Majduddin Abu Thahir Muhammad al-Ya'qub al-Fairuzabadi al-Syirazi (729-817 H/1329-1414 M), pengarang al-Qamus al-Muhith.
° Al-Imam al-Hafizh Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad, yang dikenal dengan Sayid Murtadha al-Zabidi (1145-1205 H/1732-1791 M), pengarang Taj al-'Arus fi Syarh al-Qamus.

Demikianlah, dengan pengamatan sekilas terhadap berbagai literatur keilmuan dalam bidang hadits, tafsir, biografi, sejarah, sirah, ushul fiqih dan ilmu pengetahuan Islam yang lain, akan cukup memberikan kesimpulan kepada orang yang sadar serta tidak terbawa taklid dan fanatisme buta, bahwa para ulama madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi memiliki peranan terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Dalam setiap bidang ilmu pengetahuan keislaman, para ulama madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi selalu menjadi pioner terdepan, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Dalam hal ini, al-Ustadz Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam bukunya, al-Farq baina al-Firaq:
"Dari kalangan Khawarij, Rawafidh (Syi'ah), Jahmiyah, Qadariyah, [Mu'tazilah], Mujassimah, dan golongan-golongan sesat yang lain –alhamdulillah-, belum pernah ada seorang ulama terkemuka yang layak menjadi panutan dalam bidang fiqih, periwayatan hadits, ilmu bahasa dan gramatika. Di kalangan mereka belum pernah ada orang yang dapat dipercaya dalam mengutip maghazi, sirah dan sejarah. Belum pernah ada, imam dalam mau'izhah dan peringatan. Imam dalam bidang ta'wil dan tafsir. Para imam dalam semua bidang ilmu pengetahuan tersebut, baik secara spesifik maupun secara umum, adalah dari kalangan Ahlussunnah Wal-Jama'ah."

4. Golongan Yang Mendapat Hidayah
Golongan yang selamat adalah golongan yang mendapat hidayah dari Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an berikut ini:
   •   •    
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-'Ankabut : 69).
Ayat di atas memberikan penegasan, bahwa orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Allah, maka Allah akan memberikan hidayah dan petunjuk kepada mereka, dan Allah akan selalu memberikan pertolongan dan ma'unah kepada mereka di dunia serta pahala dan ampunan di akhirat. Jihad dalam agama adakalanya dengan cara menyampaikan hujjah dan argumentasi kebenaran kepada orang yang belum mengetahuinya atau mengingkarinya, dan adakalanya dengan mengorbankan jiwa dan raga di medan peperangan menghadapi musuh yang berbeda agama.
Berkaitan dengan jihad dengan mengorbankan jiwa dan raga menghadapi musuh yang berbeda agama, pengikut madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi berada di barisan terdepan. Sebelum abad pertengahan, daerah-daerah perbatasan (tsughur) dengan Romawi, Jazirah, Syam, Azerbaijan, Armenia dan Babul Abwab (Kaukasus) dijaga oleh kaum Muslimin ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Sedangkan perbatasan Afrika, Andalusia, lautan Atlantik dan Yaman, juga dijaga oleh kaum Muslimin ahli hadits. Sedangkan perbatasan seberang Sungai Amudaria, yang menghadang Bangsa Turki dan Cina, terdiri dari dua golongan yaitu pengikut madzhab al-Syafi'i dan madzhab Hanafi. Sedangkan pengikut aliran-aliran sempalan seperti Syi'ah, Mu'tazilah, Khawarij dan lain-lain, tidak memiliki peran dalam jihad menghadang serangan musuh yang berbeda agama.
Setelah abad pertengahan, jihad dalam penyebaran Islam di wilayah Eropa Timur dilakukan oleh kaum Muslimin yang bermadzhab Asy'ari dan Maturidi dibawah komando Dinasti Utsmaniyah di Turki. Penyebaran Islam di daerah-daerah Timur seperti Daratan India hingga Asia Tenggara yang meliputi Indonesia, dilakukan oleh para dai yang mengikuti madzhab al-Syafi'i dan al-Asy'ari. Sedangkan penyebaran Islam di daerah-daerah pedalaman Afrika, dilakukan oleh kaum shufi yang bermadzhab al-Asy'ari. Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengikut madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi adalah golongan yang mendapat hidayah, karena mereka yang melakukan jihad dalam rangka penyebaran Islam.
Hal tersebut berbeda dengan aliran-aliran selain Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Pada saat kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah dibawah komando Dinasti Utsmaniyah di Turki, bahu membahu dalam menyebarkan Islam di daerah Eropa Timur hingga mencapai perbatasan Wina, pengikut Syi'ah Imamiyah di Iran, dibawah komando Dinasti Shafawi, justru membunuh lebih dari satu juta kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah di daerah-daerah yang ditaklukkannya, hingga akhirnya memaksa Sultan Salim di Turki untuk memerangi mereka. Setelah Dinasti Shafawi menderita kekalahan menghadapi Dinasti Utsmani, Shafawi akhirnya berkoalisi dengan Negara Portugal -yang telah mengusir kaum Muslimin dari Andalusia-, dalam menghadapi Dinasti Utsmani.
Selanjutnya kejadian serupa juga terjadi pada gerakan Wahhabi yang lahir di Najd pada abad ke 12 Hijriah. Apabila kita membaca sejarah para penguasa yang beraliran Ahlussunnah Wal-Jama'ah, seperti Sultan Mahmud bin Zanki, Shalahuddin al-Ayyubi, Dinasti Muwahhidi, Amir Abdul Qadir al-Jazairi dan lain-lain yang mengikuti madzhab al-Asy'ari, perjalanan mereka dipenuhi dengan beragam peristiwa heroik mengagumkan dalam berjihad di jalan Allah menghadapi orang-orang Kristen. Hal ini akan berbeda apabila kita membaca sejarah lahirnya gerakan Wahhabi di Najd, yang diwarnai dengan pembantaian secara sadis terhadap kaum Muslimin pengikut madzhab Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hanbali di Najd, Mekkah, Madinah, Thaif dan lain-lain karena mereka telah dianggap kafir. Pengkafiran gerakan Wahhabi terhadap seluruh kaum Muslimin pada saat itu dapat dibaca dalam pernyataan Muhammad bin Nashir al-Syatsri –ulama Wahhabi kontemporer-, dalam pengantar kitab 'Unwan al-Majd fi Tarikh Najd karya Ibn Basyar,
"Muhammad bin Abdul Wahhab tumbuh pada masa di mana bekas-bekas ajaran Muhammad telah terhapus, rambu-rambu Islam telah musnah, sehingga yang tegak hanya bendera syirik dan bid'ah."
Pernyataan al-Syatsri yang sangat ekstrim tersebut menggambarkan bagaimana situasi Jazirah Arab dan sekitarnya pada saat lahirnya Muhammad bin Abdul Wahhab, telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan bid'ah, sehingga darah dan harta benda mereka halal untuk dibantai dan dirampas. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa gerakan Wahhabi yang mengkafirkan dan membantai kaum Muslimin, bukanlah gerakan yang mendapat hidayah dari Allah. Gerakan mereka persis dengan gerakan Khawarij pada awal berdirinya Islam, yang dikatakan dalam hadits shahih riwayat al-Bukhari melalui jalur Abu Sa'id al-Khudri, bahwa orang-orang Khawarij itu, "akan membantai orang-orang Islam, tetapi enggan memerangi orang-orang penyembah berhala."


Keutamaan Madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi
Ada dalil-dalil agama dalam al-Qur'an dan hadits yang menjelaskan keutamaan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Diantaranya adalah ayat berikut ini:
                 •                       (المائدة : 54).
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang yang kafir, yang berjihad di jalan Allah, yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Ma'idah : 54).
Nabi J yang bertugas sebagai mubayyin (penjelas) al-Quran pernah memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…”, dalam ayat di atas, adalah kaum Abu Musa Al-Asy’ari, berdasarkan hadits:
عَنْ عِيَاضْ اْلأَشْعَرِيِّ قَالَ : لَمَّا نَزَلَتْ (فَسَوْفَ يَأتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ ويحبونه...(المائدة : 54) قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: هُمْ قَوْمُ هَذَا، وَأَشَارَ إِلَى أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ . (رواه الحاكم في المستدرك (3177).
“Dari Iyadh al-Asy'ari , dia berkata: "Ketika ayat, "Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya", maka Rasulullah J bersabda sambil menunjuk kepada Abu Musa al-Asy'ari: "Mereka adalah kaumnya laki-laki ini."
Pernyataan Nabi J, bahwa kaum Abu Musa al-Asy'ari adalah kaum yang dicintai Allah dan juga kaum yang mencintai Allah, dapat mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pengikut madzhab al-Asy'ari adalah kaum yang dicintai Allah dan mereka pun juga mencintai-Nya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap terjadi penisbahan kata kaum kepada seorang nabi di dalam al-Qur'an, maka yang dimaksudkan adalah pengikut nabi tersebut. Dan sudah barang tentu, Abu al-Hasan al-Asy'ari dan pengikut madzhabnya termasuk kaum Abu Musa al-Asy'ari, sehingga secara tersirat masuk dalam konteks ayat di atas. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Jami' li-Ahkam al-Qur'an berikut ini:
قَالَ الْقُشَيْرِيُّ: فَأَتْبَاعُ أَبِي الْحَسَنِ مِنْ قَوْمِهِ، ِلأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ أُضِيْفَ فِيْهِ قَوْمٌ إِلَى نَبِيٍّ أرِيْدَ بِهِ اْلاَتْبَاعُ. (القرطبي، الجامع لأحكام القرآن 6/220).
"Al-Qusyairi berkata: "Pengikut madzhab Abi al-Hasan al-Asy'ari termasuk kaum Abu Musa al-Asy'ari, karena setiap terjadi penisbahan kata kaum terhadap seorang nabi di dalam al-Qur'an, maka yang dimaksudkan adalah pengikutnya."
Disamping ayat al-Qur'an di atas yang secara tersirat menjelaskan keutamaan madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi, Rasulullah J juga mengisyaratkan terhadap keutamaan pengikut madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Hal tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan hadits shahih berikut ini:
عن بِشْرٍ الْخَثْعَمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ J يَقُولُ لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ اْلأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ. (رواه أحمد (18189)، والطبراني في الكبير (1200) وأبو نعيم في معرفة الصحابة (1101) والحاكم في المستدرك (8413) وقال: صحيح الإسناد.
"Dari Bisyr al-Khats'ami , bahwa dia mendengar Nabi J bersabda: "Kelak umatku akan benar-benar menaklukkan kota Konstantinopel. Sebaik-baik pemimpin, adalah pemimpin penaklukan itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan penakluk tersebut."
Hadits ini secara tegas menjadi dasar bagi rekomendasi terhadap mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Karena secara faktual, Konstantinopel (yang kini menjadi Negara Turki) baru dapat ditaklukkan pada Selasa 20 Jumadal Ula 857 H/29 Mei 1453 M oleh Sultan Muhammad al-Fatih bin Sultan Murad Khan al-'Utsmani (835-886 H/1432-1481 M). Beliau bersama pasukannya, adalah pengikut setia Ahlussunnah Wal-Jama’ah, mazhab al-Asy’ari, mencintai kaum shufi, bertawasul dengan para nabi dan para wali, mengikuti thariqat shufi dengan pembimbing spiritual (mursyid thariqat) seorang ulama shufi terkemuka pada saat itu, yaitu Maulana al-Syaikh Aqa Syamsuddin. Mereka juga tekun merayakan maulid Nabi J, dan tradisi-tradisi shufi lainnya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons